Monday, April 25, 2011

Study Tour Jakarta-Bali-Lombok Hari pertama

Hari Kamis, 10 Desember 2009


Kami sudah dijadwalkan akan berangkat pukul 6 pagi dari sekolah. Tapi kemudian, dua orang teman kami telat datang, sehingga bus 1 yang kami tumpangi berangkat belakangan. Tepatnya setengah jam kemudian kami baru berangkat. Tidak masalah bagiku, menurutku meninggalkan teman yang juga akan ikut study tour sungguh tidak berperasaan. Seharusnya kita maklum, rumah mereka jauh, coba kalau kita yang berada di posisi mereka. Pastinya juga merasa bersalah kan? Tapi mau diapakan lagi, memang sudah takdir mereka.

Selama di bus sambil menunggu mereka, beberapa temanku sibuk main rubiks, begitu juga saya. Saya sangat senang sekali memiliki rubiks yang baru, sebelumnya saya sudah menitip kepada teman saya untuk membelikannya, selagi ia sedang berada di Departement Store untuk berbelanja keperluan study tour-nya. Sedangkan beberapa lainnya sedang sibuk mengoceh akibat dua orang teman kami itu yang tidak kunjung tiba, mereka tidak sabar untuk segera berangkat. Setelah mereka datang, barulah kami berangkat. Duh senangnya, kita akan ke Bali dan Lombok!

Belum juga jauh bus-nya berjalan, teman-temanku sudah merasa bosan duduk di bangku, kebetulan salah satu temanku menyempatkan membawa kaset DVD, lumayan bagus filmnya. Film yang pertama kali di putar adalah film animasi, saya tidak tahu judulnya, yang jelas itu adalah sebuah animasi yang bercerita kehidupan manusia dan semua makanan yang besar-besar, donat juga ada, yang saya heran kok bisa terjadi hujan makanan? Sudahlah, lagi pula selama filmnya diputar, saya tidak menontonnya dengan serius, sesekali mendengarkan musik yang ada di handphone saya.

Kukira selama kami tidak berbuat hal-hal yang tidak melelahkan, kami tidak akan lapar. Ketika belum saatnya makan siang, semua sudah merasa lapar. Banyak yang sudah membuka makanan yang dibawanya. Kalau saya hanya membuka satu atau dua. Menurutku, perjalanan kita masih jauh, jadi jangan dibuka dulu semuanya, nanti kalau sudah habis kan jadi sengsara. Walaupun saya hanya membuka sedikit. Kurasa saya sudah merasa kenyang, karena bukan hanya memakan makanan dari bawaan sendiri, tapi juga diberikan oleh teman-teman yang lain. Sungguh baik mereka.

Sekitar pukul 12.00 kami berhenti sebentar di Rumah Makan Aroma Cirebon, untuk makan siang. Kemudian melanjutkan perjalanan. Beberapa temanku sudah tidur di dalam bus. Sedangkan yang lain sibuk dengan kegiatan mereka sendiri, motifnya sama, yaitu menghilangkan rasa bosan. Tak begitu lama kami berhenti lagi di Rumah Makan Sari Rasa Kendal untuk sholat zuhur dan ashar, pada saat itu waktu menunjukkan pukul 16.00.

Seperti biasa, setelah dari rumah makan kami melanjutkan perjalanan, tak terasa kami sudah memutar banyak film, tak terasa pula ternyata sudah larut malam. Hampir seluruh isi bus tertidur. Terkecuali pak sopir. Bisa bahaya kalau sopirnya tertidur. Untungnya pihak travel memberikan kenyamanan yang sangat baik bagi pesertanya. Terbukti dengan tersedianya fasilitas-fasilitas untuk memenuhi kebutuhan kami. Kata pihak travel, bus 1, bus kami merupakan bus yang paling eksklusif dibandingkan dengan bus yang lainnya. Lihat saja AC-nya, tersusun dengan baik dan ada pengaturannya. Kemudian bangkunya yang memiliki bentuk sedemikian rupa sehingga perjalanan kami nyaman, dan juga tersedia banyak stop kontak kira –kira ada 12 untuk kebutuhan kami mengisi ulang baterai. Serta dilengkapi dengan 2 LCD yang modern. Coba badingkan dengan bus yang lain. Mereka memiliki AC namun mereka tidak bisa mengaturnya sendiri, kemudian bentuk bangkunya pun datar, stop kontaknya hanya beberapa, kira-kira cuma ada 4. Dan juga untuk menonton film, mereka masih menggunakan televisi biasa. Saya sangat bersyukur berada di dalam bus 1.

Ketika tertidur lelap, kami dibangunkan. Kurasa waktu itu menunjukkan pukul 23.00. Kami bergegas turun dari bus dan segera mengerjakan ibadah sholat magrib dan isya. Ada juga beberapa yang menyempatkan untuk buang air kecil. Tour leader-nya sangat baik, mereka tidak menjadwalkan kita kapan kita harus berhenti untuk buang air kecil. Setiap ada teman kami yang ingin buang air, selalu saja tour leader-nya mengintruksikan sopirnya untuk berhenti sebentar di pom bensin terdekat. Walaupun cuma 5 menit. Itu adalah waktu yang amat penting. Tak tahulah apa jadinya kalau-kalau kami mengompol.

Setelah selesai sholat, kami kembali lagi ke dalam bus. Kami sudah sangat mengantuk. Ingin rasanya sudah sampai di hotel dan merebahkan kepala kami di atas tempat tidur yang empuk. Tapi apa daya, perjalanan masih jauh. Jadi kami terpaksa harus tidur di dalam bus, tidur dalam posisi duduk itu kurang menyenangkan. Untungnya, besok malam kami akan sudah tiba di hotel, jadi tidak perlu lagi tidur di bangku. Ada hal lain yang membuat saya kurang nyaman selama di dalam bus, yaitu teman-temanku yang senang sekali menonton film horor, tidak tahukah mereka kalau mereka menonton film horor malah jadi tidak bisa tidur? Ditambah lagi setelah selesai menonton film, beberapa temanku yang duduk di belakang bercerita tentang pengalaman mereka yang menyeramkan. Mereka tidak tahu bahwa suara mereka yang kecil itu juga terdengar ke dalam seisi bus, dan hal itu sangat menggangu saya. Saya akui saya termasuk orang yang penakut, saya tidak senang menonton film horor, apalagi mendengar cerita-cerita mereka yang menyeramkan. Pada saat mereka menonton film horror, saya masih bisa mengalihkan suasana dengan pura-pura tidur. Ya.. walaupun percakapan dalam film horornya tetap terdengar ke telinga saya, saya tidak akan merasa takut, karena saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Mendapatkan nilai jelek setiap listening ternyata berguna juga pada saat seperti ini. Tapi pembicaraan mereka tentang cerita yang menyeramkan setelah filmnya usai tetap saja terdengar walau saya menutup kedua telinga saya. Saya sangat sibuk pada saat itu, mencari cara bagaimana agar tidak mendengarnya. Akhirnya saya baru menyadari kenapa tidak dari tadi saya mendengarkan musik dengan volume yang paling tinggi. Syukurlah akhirnya tidak kedengaran. Saya bisa tidur nyenyak sekarang.

Study Tour Jakarta-Bali-Lombok Hari kedua

Hari Jumat, 11 Desember 2009


Sedang asik tidur nyenyak, kami dibangunkan untuk segera sholat subuh. Bus kami berhenti di salah satu pom bensin. Saya tidak melihat pukul berapa sekarang. Langsung saja saya bergegas untuk sholat subuh. Selesai sholat, sebenarnya saya tidak yakin apakah sekarang masih waktu subuh atau belum. Karena saya lihat, matahari sudah terbit. Mungkin saya salah lihat, mungkin karena keadaan saya juga yang masih mengantuk. Di dalam rundown, seharusnya kami sudah sampai di Rumah Makan Puritama untuk sholat subuh dan juga sarapan pagi. Jadi, setelah selesai sholat subuh di pom bensin tersebut, kami menuju Rumah Makan Puritama hanya untuk sarapan pagi. Saya juga diberitahukan, kalau tadi kira-kira pukul 2 pagi, kami melintasi lumpur Lapindo. Saya sangat menyesal tidak dapat melihatnya secara langsung. Sudah terlambat, saya hanya bisa menggigit jari.

Selesai sarapan pagi, perjalanan dilanjutkan menuju Pelabuhan Ketapang. Kira-kira pukul 12.00, kami baru sampai di sana. Alangkah tidak nyamannya kapal tersebut, baru masuk saja sudah tercium bau yang tidak sedap dari kamar mandi. Tapi kami tidak mempedulikannya. Di sana, kami terlihat seperti orang yang belum pernah naik kapal. Benar-benar heboh. Hampir semuanya tidak ada yang duduk, mereka menyempatkan untuk berfoto-foto di atas kapal.

Tidak sampai satu jam kami sudah sampai di Bali. Ketika sudah sampai di Bali, kami diperintahkan untuk mengatur waktu, sesuai dengan keadaan wilayah tersebut, yaitu dengan waktu WITA. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Lombok. Kira-kira pukul 15.00, kami berhenti di Rumah Makan Soka Indah. Sekaligus untuk sholat Zuhur dan Ashar. Sesampainya di sana, kami bertemu dengan siswa-siswi dari SMAN *** Jakarta. Tidak kusangka, pakaian para siswinya sangat minim. Apa mereka tidak diajarkan mengenai batasan? Temanku yang lain juga tidak menyangka, kami sangat bersyukur bahwa di antara kami tidak ada yang seperti itu.

Untuk bisa buang air kecil di Rumah Makan Soka Indah, kami harus membayar tiket terlebih dahulu seharga dua ribu rupiah. Tiket itu bukan hanya untuk ke kamar kecil, tapi juga untuk menikmati suasana pantainya yang indah. Sayangnya kami diburu waktu, sehingga kami tidak sempat ke pantainya. Sehabis sholat, kami langsung bergegas makan siang dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju Lombok. Walau kami sudah di Bali, tapi tujuan pertama kami adalah Lombok. Kami hanya sekedar melewatinya saja, dan melihat kota Bali dari jendela bus.

Kira-kira pukul 17.00, kami sudah berada di Pelabuhan Padang Bay, untuk menyeberang menuju Lombok. Kapalnya sangat berbeda dengan kapal yang kami tumpangi menuju Bali. Sangat mewah, bahkan disediakan dengan AC dan juga televisi serta kursinya yang nyaman. Saya baru tahu kenapa kualitasnya jauh berbeda. Karena bisa rugi kalau kita menaiki kapal mewah menuju Bali yang memakan waktu tidak sampai satu jam. Sedangkan kapal yang kami tumpangi sekarang wajar kalau sangat modern, karena kita akan menghabiskan waktu sekitar 4 jam di sini. Coba bayangkan kalau kita menaiki kapal yang tidak nyaman itu selama perjalanan menuju Lombok, merupakan pengalaman yang sungguh tidak menyenangkan bukan?







Tapi setelah kami menaiki kapal tersebut, kami tidak langsung berangkat. Menunggu semuanya penuh, menghabiskan waktu sekitar satu jam. Seharusnya kami akan sampai pukul sembilan malam, jadi tertunda akibat hal tersebut. Dan yang disayangkan pula yaitu, kami terpisah dengan teman-teman kami dari bus 2 dan 4. Karena bus 1 dan bus 3 yang sampai duluan, maka kami yang menaiki kapalnya terlebih dahulu. Saya tidak mengerti kenapa kami dipisah, apakah kapasitasnya yang tidak mencukupi? Atau keduluan dengan truk-truk yang juga ingin menuju Lombok? Tak tahulah, yang jelas kami tidak ingin dipisah.







Karena waktu yang dibutuhkan untuk menuju Lombok cukup lama, maka kami diberikan makan malam berupa dinner box. Jujur, saya lebih senang makan malam dengan prasmanan. Tapi... ya sudahlah, daripada tidak makan malam sama sekali. Ketika sudah memasuki waktu Magrib, suasana di sekitar kapal, sangat indah. Apalagi pada saat sudah hilang mega merah, langit dipenuhi dengan bintang. Sungguh indah. Sayang, saya lupa dengan nama-nama rasi bintang. Waktu di Jakarta, saya tidak begitu tertarik dengan rasi bintang. Karena yang saya lihat di sana, rasi bintangnya itu-itu saja. Seperti scorpion. Jadi, rasi bintang yang lainnya saya tidak tahu, karena saya belum pernah melihat langsung. Dan dari sini, kita bisa lihat langit seperti lautan bintang, berbagai macam rasi bintang ada di sini. Sekali lagi saya katakan, “Sungguh amat indah!” Sayang, saya tidak bisa mendokumentasikannya, hasilnya jadi kurang bagus, tidak tampak asli. Sepertinya, ini merupakan pengalaman indah yang tidak akan saya lupakan.

Di dalam kapal, di tengah lautan, kami menyempatkan untuk sholat magrib dan isya. Setelah itu, beberapa temanku ada yang ke ruang tv, dan ada juga yang lebih memilih menikmati pemandangan di atas kapal. Kalau saya termasuk beberapa orang yang menonton televisi. Karena di luar sangat dingin dan berangin. Di dalam, kami dimanjakan dengan kursinya yang empuk, sehingga ada juga dari temanku yang tertidur lelap. Sedangkan saya menghabiskan waktu dengan menonton televisi, dan sesekali menanyakan kabar dari teman saya yang kapalnya terpisah dengan kami. Ternyata setelah satu jam kami berlayar, mereka baru mulai berangkat. Itu berarti, kami akan sampai di hotel lebih dulu dari mereka. Sebenarnya, sejak masih di rumah, saya agak takut menaiki kapal. Karena baru-baru saja, terdengar berita tenggelamnya kapal laut akibat gelombang tinggi. Dan saya takut, hal itu akan terjadi di dalam perjalanan kami, apalagi perjalanannya itu memakan waktu yang cukup lama. Saya juga sedikit takut ketika berada di tengah laut. Benar-benar tidak nampak sebuah pulau pun. Saya sempat berpikir, bagaimana kalau memang hal itu benar terjadi. Saya bersyukur bisa berenang, tapi sampai kapan akan berenang kalau tidak juga menepi, akhir-akhirnya juga akan mati. Apalagi saat saya melihat betapa birunya warna laut, bukankah itu menandakan bahwa lautnya sangat dalam. Saya juga sempat melihat adanya pusaran kecil di laut. Sesekali saya juga meperhatikan jam, sudah berapa lama saya di sini? Saya hanya bisa pasrah dan memohon pertolongan Allah, serta yakin bahwa apapun yang terjadi itu sudah ditakdirkan.

Akhirnya, empat jam itu pun berlalu, dan kami sudah sampai di Lombok. Kira-kira pukul 23.30, kami sudah berada hotel, “Holiday inn” namanya. Sebelumnya, di dalam bus, kami sudah diberi tahu nomor kamarnya. Nomor kamar saya adalah 545. Untungnya ada teman sekamar saya yang juga sekapal dengan saya, Resti namanya. Kalau dia naik bus 2 atau 4, bisa-bisa saya sampai di hotel sendirian. Sebelumnya sudah saya katakan, kalau saya ini penakut. Bagaimana jadinya saya, jika saya berada di kamar sendirian di tengah malam dan tidak ada teman yang menemani, tamatlah riwayat saya.



Letak kamar kami dari lobi hotel lumayan jauh, kami mesti melewati pepohonan di samping kiri kanan jalan, walaupun pepohonan itu ditata dengan rapi tetap saja menyeramkan, ditambah lagi suasana malamnya yang gelap dan sedikit menyeramkan, serta suara-suara serangga yang kecil pun terdengar membuat saya makin merinding. Jalan setapak menuju kamarnya itu bercabang-cabang, awalnya kami bersama-sama dari lobi hotel menuju kamar, satu persatu dari teman saya melewati jalan setapak yang berbeda agar dapat sampai di kamarnya, dan akhirnya tinggal saya berdua dengan teman sekamar saya, jantung saya makin berdegup kencang. Tak lama akhirnya sampai juga di depan kamar.



Selama di perjalanan menuju kamar, saya baru mengerti, kamar-kamarnya diletakkan terpisah dengan yang lain, misalnya dalam satu rumah ada 4 kamar, dua di atas dan dua di bawah. Tapi antara kamar yang satu dengan yang lainnya tidak berhubungan, kamar yang di atas dihubungkan dengan tangga. Saya dan teman sekamar saya kedapatan kamar yang di atas. Kami agak kebingungan bagaimana caranya menaikkan koper kami yang berat itu ke atas, untungnya ada petugas hotel yang langsung sigap membantu kami menaikkan kopernya.





Setibanya di kamar, Resti begitu sibuk merapikan barang-barangnya. Sedangkan saya hanya mengambil beberapa pakaian yang akan saya gunakan untuk malam ini. Resti mandi duluan, saya rasa dia pasti bercanda, kalau dia berada di kamar mandi, berarti saya sendirian di kamar. Perasaan paranoid di setiap tengah malam itu sering menghantui saya, tirai yang belum tertutup saja membuat saya ketakutan. Di dalam pikiran saya hanya ada sugesti bahwa hantu datangnya pada saat tengah malam. Saya harus bisa menghilangkan itu, siapa juga yang mau jadi orang yang penakut, tapi untuk mulai memberanikan diri itu perlu tahapan. Kemudian Resti menutup tirainya dan mencoba menenangkan saya dan juga memberitahukan saya bahwa tidak akan terjadi apa-apa, serta dia juga menyarankan saya supaya menyalakan televisi, agar tidak terlalu hening.

Jendela besar itu terletak di sebelah kanan tempat tidur. Ada dua tempat tidur ukuran orang dewasa sehingga cukup untuk 4 orang. Saya lebih memilih tempat tidur yang dekat dinding kamar mandi dibandingkan dengan yang dekat jendela. Segera saya menyalakan televisi sambil berbaring di atas tempat tidur dan juga menutupi bagian kanan kepala saya agar pandangan saya ke jendela terhalangi.

Setelah Resti selesai mandi, saya memberanikan diri ke kamar mandi untuk membersihkan diri juga, awalnya saya berpikiran untuk tidak mandi, tapi daripada tidurnya nanti tidak nyaman, terpaksa saya mandi juga.

Sekitar satu jam kemudian, dua teman sekamar saya dari bus 2 datang, mereka adalah Leista dan Amel. Rasa takut di suasana tengah malam itu mulai hilang, dengan adanya mereka suasana kamar menjadi hangat, dan saya mulai menikmati fasilitas kamar hotel dengan tenang. Sesekali saya memberanikan diri untuk turun dari tempat tidur dan merapikan pakaian, mengganti channel televisi, mengobrol dengan yang lain, mengisi ulang baterai, dan sebagainya. Dan baru sekitar pukul 02.00, kami tidur.





Study Tour Jakarta-Bali-Lombok Hari ketiga

Hari Sabtu, 12 Desember 2009


Sekitar pukul 05.30 kami baru bangun. Kami langsung bergegas untuk sholat subuh, kami takut kehabisan waktu subuh. Sesudah sholat subuh kira-kira pukul enam pagi kami melanjutkan tidur kami dan bangun kembali pukul tujuh. Ketika sudah saatnya bangun, segera kami membersihkan diri. Untuk urusan mandi, Resti selalu mandi yang paling pertama. Sebenarnya tidak adil. Tapi, tak apalah, biarkan saja. Lagipula saya juga masih malas beranjak dari tempat tidur. Sambil menunggu Resti, temanku Leista sibuk membagi-bagikan makanan. Katanya banyak makanan yang tidak termakan. Bahkan ia sangat senang kalau kami mau menghabiskan makanannya.

Yang saya tidak senang dengan kamar hotelnya adalah bahwa toiletnya tidak dilengkapi dengan selang air, malahan dengan tisu. Seharusnya pihak hotel tahu bahwa turis tidak hanya dari luar negeri, tapi juga ada yang dari lokal, mereka seharusnya juga memperhatikan kebiasaan orang lokal, kami tidak terbiasa menggunakan tisu. Teman sekamarku juga setuju. Akhirnya kami mengatasinya dengan mengisi bathtub terlebih dahulu dan memanfaatkan gelas sebagai pengganti fungsi gayung. Selebihnya, hotel ini benar-benar nyaman, rasanya tidak ingin keluar dari hotel.

Akhirnya waktu untuk sarapan pagi tiba, kami berempat bersiap-siap menuju tempat makan. Pelayan di sana sangat baik dan ramah, bahkan ketika kami baru keluar sebentar dari kamar, mereka mengucapkan selamat pagi kepada kami. Dan kami juga membalas sapaan mereka dengan senyuman.

Makanan yang dihidangkan sangat banyak, saya lebih memilih bubur sebagai sarapan. Tetapi bahan-bahannya belum diracik, jadi kami harus mencampurnya sendiri sesuai selera. Biasanya saya makan bubur yang sudah diracik oleh tukang buburnya sendiri. Jadi, pada saat sarapan itu, saya asal mencampur semua bahan yang ada. Dan hasilnya sangat asin, jadi tidak nafsu makan. Akhirnya saya hanya minum segelas jus.



Kami baru melanjutkan perjalanan kira-kira pukul sepuluh pagi, seharusnya kami berangkat lebih awal. Tapi ada satu temanku yang belum juga siap. Dia telat bangun. Katanya teman-temannya tidak ada yang membangunkannya. Kasihan sekali dia. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Desa Banyumulek. Saya tidak tahu kenapa tidak sesuai dengan rundown yang diberikan. Seharusnya kami mengunjungi Pura Candi Narmada. Tapi, tak apalah, yang penting kami senang.

Selama kami di perjalanan kami dipandu oleh seorang tour guide, sayang saya lupa namanya. Sesuai dengan profesinya, saat busnya baru berjalan, dia sudah mulai mengoceh. Pertama dia menceritakan kami tentang Lombok. Katanya Lombok artinya lurus. Jumlah penduduk Lombok sekitar 3.020.000, dan sekitar 85% penduduknya beragama Islam. Lombok merupakan salah satu pulau terbesar yang ada di NTB. Katanya juga Lombok berasal dari Kerajaan Karang Asem yang ada di Bali, orang Bali yang ada di Lombok memiliki status lebih tinggi dibandingkan dengan suku asli Lombok, yaitu suku Sasak.

Sebelum sampai di Desa Banyumulek, tour guide-nya menceritakan tentang desa tersebut. Desa Banyumulek terkenal dengan kerajinan gerabahnya. Katanya, tanah liat yang ada di gunung diambil oleh anak lelaki, sedangkan yang membuat gerabahnya adalah anak perempuan.

Sesampainya kami di Desa Banyumulek, kami diperlihatkan bagaimana cara membuat gerabah. Melihatnya mudah, tapi saya tidak mau mencoba. Saya lebih tertarik dengan gerabah-gerabah yang sudah jadi. Sayang, harganya sangat mahal. Saya hanya membeli sebuah gerabah. Daripada tidak ada kenang-kenangan sama sekali. Katanya, harganya mahal karena sesuai dengan pembuatannya, membakarnya saja butuh suhu yang tinggi dan waktu yang lama. Di sana kami tidak terlalu lama, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Desa Suka Rare.







Seperti biasa, sebelum sampai di tempat tujuan, tour guide-nya menceritakan tentang desa tersebut terlebih dahulu. Katanya, Desa Suka Rare berasal dari dua kata Suka dan Rare. Suka artinya ikhlas dan Rare artinya sederhana. Suka Rare terkenal dengan kerajinan songketnya. Katanya, materialnya diikat terlebih dahulu sebelum diberi warna.

Setibanya di Desa Suka Rare, saya kira kami akan dibawa melihat-lihat desa tersebut. Namun kami dibawa ke sebuah galeri atau tepatnya mungkin seperti sebuah museum, yang tersedia banyak sekali koleksi kain songket, berbagai lukisan, dan yang sangat menarik adalah terdapat tempat pembuatan kain songket, di sana kami diperlihatkan betapa sulitnya membuat kain songket. Pertama, kita perlu mengikat satu persatu benang yang ada dengan kekencangan yang berbeda, ini dimaksudkan agar setelah diberi warna menghasilkan gradasi warna yang bagus. Bayangkan saja ada beribu atau mungkin ratusan ribu helai benang yang harus diikat sampai tidak ada sedikit pun rongga yang terlihat, pokoknya semua benang harus tertutupi. Baru kemudian diberi warna. Belum sampai di situ kesulitan yang ditunjukkan, kita masih harus menenunnya menjadi kain, butuh waktu yang sangat lama baru bisa menjadi kain songket. Mahal, sudah pasti karena pembuatannya sangat sulit. Saya tidak membeli satu pun di sini, saya hanya menyempatkan untuk berfoto-foto. Oh iya, kata tour guide-nya, gadis seumuran kami, kalau belum bisa menyongket, belum bisa menikah. Karena anggapan mereka gadis yang tidak bisa menyongket dan belum memiliki desain kainnya sendiri berarti dia adalah gadis yang malas, dan tidak patut dinikahi.













Setelah berkunjung ke desa Suka Rare kami akan melanjutkan tour ke Desa Sade, kata tour guide-nya di sana kita akan melihat cara hidup mereka sehari-hari. Sebelum bercerita tentang desa tersebut, dia mengatakan bahwa kita melewati sebuah makam batu layar, katanya, penduduk datang berziarah ke sana, ingin meminta sehat, rezeki, dan sebagainya. Makam tersebut merupakan makam keramat, makam seorang penyebar agama Islam di sana. Katanya juga sebelum sampai di Lombok, kapalnya hancur, dan yang ditemukan hanya serpihan kayu kapal tersebut, dan yang dikuburkan di makam tersebut adalah serpihan kapal tersebut.

Dia juga bercerita tentang penduduk Lombok yang beragama Islam wetu telu. Mereka adalah orang-orang yang baru diajarkan tiga perkara oleh seorang sunan, yaitu syahadat, sholat, dan puasa. Dan untuk menyempurnakannya menjadi lima, sunan tersebut harus kembali dulu ke daerah asalnya, di Jawa. Sunan tersebut tak kunjung kembali ke Lombok. Sampai akhirnya datang orang Bali yang membawa misi keagamaan. Dan penduduk tersebut mengira bahwa itu adalah ajaran yang akan dilengkapkan oleh sunan. Sehingga peribadatan mereka tercampur dengan ajaran Hindu. Jadilah mereka biasa sholat di Pure. Bahkan bila ada salah seorang yang sedang sibuk dengan pekerjaannya, boleh menitip sholat dengan seorang kyai. Agak aneh memang, tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.

Rumah adat Desa Sade, atapnya terbuat dari alang-alang, sedangkan lantainya terbuat dari kotoran kerbau. Suku sasak memiliki banyak sekali kegiatan ritual. Contohnya ketika seorang ibu sedang hamil, pada usia tiga bulan, mereka melakukan acara cuci perut, kemudian ketika usia sudah enam bulan, mereka melakukan cuci perut lagi untuk yang kedua kalinya. Setelah bayinya lahir, mereka melakukan potong tali pusat, dan setelah sudah bisa berjalan, dilakukan ritual turun tanah. Kalau anak belum melakukan ritual turun tanah ini, maka anak tersebut tidak diizinkan untuk menginjak bumi. Suku sasak juga memiliki kebiasaan yang unik. Antara suami dan isri tidur terpisah. Anak yang berusia delapan tahun ke atas tidak boleh tidur di rumah. Mereka tidur dengan sebayanya, di sebuah rumah yang juga merupakan kumpulan anak-anak yang sebayanya.



Tour guide-nya juga bercerita bahwa di Lombok juga terdapat kasta-kasta yang ada di Bali namun tidak begitu detail. Kalau wanita yang berstatus rendah menikah dengan pria yang berada dalam status tinggi, status wanita tersebut tetap tidak berubah. Sedangkan anaknya ikut dengan ayahnya yang berstatus tinggi. Lain dengan seorang wanita yang berstatus tinggi menikah dengan pria yang berada dalam status rendah. Anaknya dibuang, tidak boleh bertemu dengan orang tuanya. Kalau ingin bertemu harus di jalan. Dan tidak ada pesta pernikahan dalam kondisi seperti ini.

Sampailah akhirnya kami di desa Sade. Hampir setiap penghuni rumah menjajakan hasil kerajinan tangannya di depan rumah. Kerajinan tangan tersebut berupa pahatan dari gading gajah dan juga ada yang dari kayu, rupanya pun beragam, ada yang berbentuk cicak, kadal, katak. Ada juga yang menjajakan kain buatannya. Saya hanya membeli tiga buah gantungan kunci, pahatan dari kayu dan berbentuk cicak. Di dalam bertransaksi kami agak sedikit kesulitan, karena umumnya penduduk desa Sade belum bisa membaca dan hanya bisa berbicara bahasa Indonesia sedikit-sedikit. Kata tour guide-nya, kalau kita sudah menanyakan harga berarti kita pasti akan membeli, tidak boleh dibatalkan jual beli tersebut, kalau kita tidak bisa bayar sekarang, maka ia akan tetap menunggu, sampai dibayar juga. Saya turut prihatin dengan para penduduk desa Sade, menurut saya mereka memiliki potensi yang sangat besar dalam meningkatkan kehidupan ekonomi mereka. Salah satunya yaitu pariwisata. Hanya beberapa saja yang tahu keberadaan mereka.









Tidak terasa sudah lama berjalan-jalan menyusuri desa tersebut tahu-tahunya sampai di tempat semula lagi, di mana kami tadi baru akan melakukan perjalanan menyusuri desa Sade.

Selanjutnya kami melanjutkan tour menuju Pantai Kute, seperti biasa tour guide-nya mulai bercerita. Kali ini dia becerita tentang kebiasaan lainnya dari penduduk Pulau Lombok, yaitu di dalam setiap pernikahan pasti dimulai dengan kawin lari. Jadi prosesnya begini, dua orang pasang yang sudah sepakat untuk menikah, kemudian memutuskan untuk kawin lari, yang gadis dibawa ke rumah prianya. Keluarga si gadis kemudian melapor kepada kepala desa. Akhirnya dipanggillah keluarga pria tersebut. Kemudian mereka membicarakan mengenai gantiran (ganti rugi) akibat perbuatan anak laki-lakinya itu. Dan akhirnya kedua pasang sejoli itu pun dinikahi.

Tour guide-nya juga bercerita tentang sebuah legenda asal mulanya cacing Nyale. Jadi, dahulu ada seorang putri yang dihadapkan dengan tiga orang putra mahkota yang ingin menikahinya. Putri tersebut tidak ingin ada yang sakit hati. Untuk menjawab persoalan tersebut, sang putri memutuskan untuk bersemedi. Dalam mimpinya, ia terjun ke laut. Dan keesokan harinya, ia mengajak ayahnya beserta ketiga putra mahkota dan juga rakyatnya ke tepi pantai yang curam, ia menjanjikan akan menjawab persoalannya tersebut. Akhirnya ia memutuskan bahwa dirinya bukan untuk satu orang, tapi untuk semua. Akhirnya ia terjun dari tebing pantai dan dipercaya bahwa cacing nyale merupakan perwujudan rambut putri tersebut. Oleh karena itu di setiap bulan januari, terdapat pesta bau nyale. Bau artinya mencari, disebut nyale karena warnanya yang beragam, jadi bau nyale artinya mencari cacing nyale. Karena pada bulan tersebutlah cacing-cacing tersebut keluar dari karang meninggalkan telur nyale. Kemudian cacing nyale tersebut dipepes dan diletakkan di sawah.

Tapi kami tidak langsung ke Pantai Kute, melainkan berhenti sebentar di sebuah rumah makan, yang juga tidak jauh dari Pantai Kute. Di rumah makan tersebut dindingnya bergambarkan seorang putri yang akan terjun ke laut dan dibelakangnya terdapat tiga putra mahkota, sama seperti legenda yang diceritakan oleh tour guide sebelumnya. Di sana kami juga diberi kesempatan untuk sholat Zuhur dan Ashar terlebih dahulu baru, melanjutkan perjalanana ke pantai Kute. Sebelumnya kita mengenal pantai Kute yang ada di Bali, ternyata di Lombok juga ada sebuah pantai yang namanya pantai Kute.

Sebelum sampai di Pantai Kute atau Tanjung A’an, kami di dalam bus sibuk dengan pemakaian sunblok. Semua tidak ingin jika nanti kulitnya menjadi gosong. Memang pada saat itu suasananya sangat panas dan menyengat.

Sampai di sana semuanya terpesona dengan pantainya yang begitu alami, seperti belum tersentuh oleh tangan manusia. Menurutku lebih baik kita tidak ke sana, takut kalau kedatangan kami akan merusak keasrian pantai tersebut. Tapi kalau dipikir-pikir, kapan lagi kita menikmati pantai yang begitu indah, pantai yang tidak akan kita bisa lihat di Jakarta.

Di tepi pantai terdapat batu besar. Batu tersebut memisahkan area pantai menjadi dua, yaitu pantai yang berpasir sebesar garam yang berwarna putih dan yang sebesar merica yang berwarna sedikit abu-abu. Walaupun di area pantai yang pasirnya sebesar garam, namun isinya sangat padat, jadi sangat mudah kaki ini melangkah. Berbeda dengan yang sebesar merica, hanya bentuknya saja yang besar namun isinya kurang padat, jadi agak sulit untuk melangkah. Teman sekamarku Amel sempat membawa dua botol, lalu mengisinya dengan kedua pasir tersebut, untuk kenang-kenangan katanya. Saya tidak sempat memikirkan untuk hal itu, tour guide bus 1 kami tidak memberitahukan kalau ternyata pantai kute ini terdiri dari dua pasir yang berbeda. Di sana kami sangat puas berfoto-foto. Apalagi pada saat di atas batu besar itu. Anginnya sepoi-sepoi.

Sayang sekali, ketika kami sudah harus kembali ke hotel dan membersihkan pasir-pasir yang melekat di pakaian kami di toilet, dua botol temanku yang berisi pasir itu diambil orang lain, sangat sedih rasanya, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya kira dia pasrah sampai di situ. Ternyata ketika bus sudah akan berangkat, dia menyempatkan diri berlari untuk mengambil lagi pasir tersebut, padahal lumayan jauh jarak bus ke laut. Syukurlah, saya turut senang mendengarnya.





Kami makan malam tidak di hotel, melainkan di sebuah rumah makan yang luar biasa enak ikan bakarnya. Lezat sekali, rasanya ingin menambah. Rumah makan tersebut terbagi menjadi beberapa bagian, yang saya duduki adalah bagian yang menggunakan meja dan kursi sedangkan beberapa temanku ada yang lesehan. Sama saja nyamannya, cuma kalau yang lesehan, kita mesti lepas alas kaki terlebih dahulu.

Kira-kira pukul 23.00 kami baru sampai di hotel. Lantas kami sholat Magrib dan Isya. Kemudian membersihkan diri dan juga bersiap-siap untuk segera check out esoknya. Kali ini kami memutuskan untuk mengundi siapa saja yang akan mandi terlebih dahulu. Agar terasa adil, karena Amel temanku dari tadi mengeluh karena selalu kebagian waktu mandi yang terakhir.

Di sela-sela kesibukan kami membereskan barang-barang untuk check out besok, sering
terdengar telepon iseng, kadang salah sambung, kadang pula terdengar suara aneh terus menerus. Lantas kami tutup telepon tersebut. Haha, ternyata mereka itu teman-temanku dari kamar lain yang iseng menelpon. Karena untuk saling berhubungan dengan yang lain kita hanya perlu menekan nomor kamarnya saja.

Selesai beres-beres dan juga membersihkan diri, kami langsung tidur, agar besok bisa bangun lebih pagi.




Study Tour Jakarta-Bali-Lombok Hari keempat

Hari Minggu, 13 Desember 2009


Kira-kira pukul lima pagi kami dibangunkan oleh Bu Parmi lewat telepon, mengingatkan kami bahwa pagi ini kita akan segera check out. Sayalah yang mengangkat telepon tersebut. Pada saat itu Leista juga bangun, tapi kedua temanku Amel dan Resti belum juga bangun, sulit sekali membangunkannya. Tadinya kami berempat merencanakan pergi ke pantai untuk melihat matahari terbit pada pukul lima pagi. Tapi nyatanya, kami semua masih merasa mengantuk. Kira-kira pukul delapan, sambil menuju ruang makan, kami mengambil jalan lain yang melewati pantai, baru setelah ke ruang makan tersebut. Sampai di pantai, kami menyempatkan untuk berfoto-foto terlebih dahulu. Dari sana juga terlihat ada kolam renang, kulihat juga ada beberapa temanku yang berenang. Andai saja kolam renang laki-laki dipisah dengan perempuan, saya mau berenang.

Sesampainya di tempat makan, saya tidak ingin mengulang kesalahan yang sama, saya tidak mengambil makanan yang diracik sesuai selera, nanti jadinya malah tidak enak. Kebetulan hari ini tersedia nasi goreng. Jadi cukup simpel. Sedangkan temanku yang lain ada yang mengambil roti dengan selai di atasnya, ada juga yang mengambil muffin. Saya agak tertarik dengan yang dimakan oleh teman saya, jadi setelah menghabiskan nasi goreng, saya mengambil kue-kue lain yang tersedia. Setelah cukup kenyang, saya mengambil buah-buahan sebagai penutup.





Selesai makan, kami disuruh untuk segera check out dari hotel dan melanjutkan perjalanan. Lantas kami berempat menuju kamar hotel. Untungnya kami sudah mengepakkan barang dari tadi malam. Jadi, kami hanya tinggal membawa koper menuju lobi. Yang saya tidak mengerti, kenapa masih ada teman-teman kami yang masih santai. Kulihat mereka masih belum mandi dan merapikan barang. Kami berempat serasa paling rajin. Melihat akan hal itu, kami membatalkan untuk segera ke lobi. Mungkin juga belum ada orang di sana. Karena sudah tidak ada kegiatan yang lain, kami berempat berencana untuk mengunjungi teman kami yang lain, yang kamarnya berada diseberang. Ternyata itu adalah kamar Kalika, Hanan, Hilya, dan Putri. Sebelumnya kami tidak tahu itu kamar siapa. Kalau begitu, kemarin malam seharusnya saya tidak usah repot-repot kembali ke kamar lewat pintu depan. Lebih baik juga lewat balkon belakang kamarnya, padahal tinggal menyeberang. Jadi saya tidak perlu melewati jalan yang berkelok-kelok dan berputar serta dikelilingi oleh pepohonan di tengah malam. Sudahlah, sudah berlalu. Di sana saya ingin menunjukkan ke Amel, Leista, dan Resti kamar mandi mereka. Ternyata lebih baik kamar mandi kami. Kamar mandi mereka begitu seram jika sudah malam hari. Tanaman-tanaman yang ada di sekitarnya, membuat seakan-akan kita mandi di tengah hutan dan di bawah gelapnya malam, karena atapnya yang sedikit transparan. Sedangkan kamar mandi kami tidak ada tamanan-tanamannya. Jadi, kami tidak begitu takut mandi sendiri. Mereka bilang, kalau akan mandi, biasanya mereka saling menemani. Yang satu mandi di bathtub ditutupi oleh tirai, sedangkan yang lainnya asik mengobrol di depan cermin, sesekali juga yang sedang mandi ikut mengobrol. Bayangkan saja, pukul berapa kemarin kita sampai di hotel. Sepertinya tidak akan enak tidur kalau tidak mandi. Begitulah mereka pastinya akan merasa takut kalau mandi sendiri. Di sana juga kami sibuk berfoto-foto. Sambil menunggu teman yang lain siap.



Sudah cukup lama kami di sana, akhirnya kami memutuskan untuk segera ke lobi hotel dan membawa koper. Temanku yang lain sudah keluar dari kamar, saya adalah orang yang terakhir di antara kami berempat. Saking terburu-burunya, saya lupa mengambil kuncinya dan langsung menutup pintunya. Saya lupa kalau pintu kamar tersebut bisa terkunci secara otomatis, jadinya saya panik karena pintunya sudah terkunci, tapi kuncinya masih di dalam. Kebetulan ada petugasnya yang lewat, dia membantu kami membuka pintunya. Syukurlah pintunya dapat dibuka. dan kami dapat mengambil kuncinya untuk diberikan ke resepsionis. Tapi kalau tidak salah, kami tidak jadi memberikannya, karena petugas tersebut yang langsung memegang kunci tersebut.

Setelah tiba di lobi, kulihat teman-teman sudah berkumpul semua, lantas satu-persatu koper dimasukkan ke dalam bagasi bus yang ada di depan hotel, tapi dari tadi saya tidak melihat bus 1. Rupanya bus 1 tidak berhenti di depan hotel, melainkan di seberang hotel, jadi kami yang dari bus 1 mesti membawa koper kami menyeberang jalan, baru kemudian memasukkan kopernya ke dalam bagasi. Kami sangat senang berada di hotel ini. Semoga kami bisa ke sini lagi. Amin.

Di bus, kembali tour guide-nya membimbing kami selama di perjalanan. Sekarang dia mulai bercerita tentang Desa Sekar Bela, yang terkenal dengan kerajinan mutiaranya. Semakin berat mutiara tersebut semakin baik. Walaupun kecil, tapi berat itu juga baik, daripada besar tapi ringan atau ada rongganya, kemungkinan mutiara tersebut akan meletus. Tapi kami tidak langsung ke Desa Sekar Bela, melainkan berhenti sebentar di sebuah toko yang menjual oleh-oleh khas Lombok. Beberapa ada yang menuju tempat penjualan pakaian, beberapa yang lain ke penjualan mutiara, walaupun bukan di tempat asalnya yaitu Desa Sekar Bela, dan juga ada beberapa yang membeli makan khas Lombok mulai dari dodol hingga manisannya. Saya pertama kali menuju tempat penjualan pakaiannya. Saya tidak menyangka, kaos putih dan ada bacaan lomboknya harganya mencapai 65 ribu rupiah, kupikir tidak akan lebih dari 50 ribu. Di sana saya hanya membeli satu kaos, bergambar peta Lombok dan berwarna merah muda. Terlalu banyak berpikir mencari kaos yang bagus, akhirnya saya kehabisan dodol khas lomboknya, diborong oleh Bu Endang. Sebenarnya masih ada manisan, tapi keluargaku kurang suka dengan manisan. Kulihat semua sedang bergegas segera naik bus, jadi saya tidak sempat ke tempat mutira tersebut.

Setibanya di Desa Sekar Bela, saya tidak begitu tertarik. Tadinya saya hanya berniat untuk menemani Amel membeli kalung emas yang ada mutiaranya. Katanya, ibunya yang menyuruhnya untuk membelinya. Saya lihat ternyata ada banyak sekali bros-bros cantik yang dijualnya. Saya jadi ingin membelinya, ternyata harganya tidak begitu mahal dan terjangkau serta lebih murah dibandingkan kita membelinya di Jakarta. Harganya hanya sepuluh ribu rupiah. Langsung dari asalnya. Kukira harganya akan semahal dengan cincin yang Leista beli tadi di tempat kami berhenti pertama kali. Ternyata mutiara di sini jauh lebih murah dibandingkan harga cincin tersebut, bahkan bisa membeli empat bros di sini. Tapi temanku Amel belum juga menemukan kalung yang ia cari. Setelah begitu banyak toko disinggahi, akhirnya ketemu juga di salah satu toko di ujung jalan. Transaksi itu berjalan cukup lama, saya khawatir kalau busnya akan segera berangkat. Saya tahu kalau mereka pasti tidak akan meninggalkan kami, tapi kaminya yang merasa tidak enak, gara-gara kamilah mereka harus menunggu lama untuk tujuan berikutnya.

Benar, ternyata apa yang saya khawatirkan terjadi. Setelah menaiki bus, semua temanku mengeluh akibat keterlambatan kami. Saya jadi merasa bersalah. Untungnya Amel dan Leista berbeda bus dengan saya. Kalau tidak, bisa-bisa cuma bus satu yang belum berangkat. Tapi kulihat, masih ada bus lain yang belum berangkat selain bus satu dan bus dua. Mungkin menunggu bus kami berangkat, agar bisa berangkat bersama-sama.

Sudah siang dan sudah waktunya makan siang. Kami mampir kembali di rumah makan yang ikan bakarnya enak. Karena bus satu dan bus tiga yang sampai duluan, jadinya kami kebagian tempat makan yang lesehan. Kami mesti membuka alas kaki kami dulu sebelum masuk ke dalam saung tersebut. Tak apalah, yang penting kami merasakan ikan bakar yang enak itu lagi. Kukira, ikan bakar yang disediakan tidak akan cukup untuk satu orang satu, ternyata ada banyak. Lantas saya ambil satu untuk saya sendiri, seharusnya waktu pertama kali ke sini, saya ambil satu juga, tidak perlu ambil setengah. Lagipula ikan yang disediakan cukup banyak.

Dari sini, kami disuruh untuk segera naik ke bus. Katanya, sholatnya nanti saja di kapal. Tapi kulihat ada beberapa temanku yang sudah menyempatkan diri untuk sholat Zuhur di sini. Sedangkan saya termasuk yang belum. Daripada nanti saya lagi yang merasa bersalah akibat telat naik busnya, lebih baik saya cepat-cepat naik ke bus. Tapi kulihat, ternyata masih banyak temanku yang belum naik bus, mereka mengerumuni penjual kaos murah, ternyata harganya lebih murah dibandingkan tempat pertama yang kami kunjungi. Lagi-lagi jauh lebih murah dari tempat itu. Saya merasa tertipu. Lebih baik saya beli disini, setidaknya dengan uang 50 ribu bisa beli empat, di sana cuma bisa beli satu.

Sudah cukup berbelanja. Akhirnya saya dan yang lainnya kembali ke bus dan melanjutkan perjalanan menuju Pelabuhan Lembar untuk menyeberang menuju Bali. Saya harap kami tidak dipisah lagi, agar kami bisa sampai di hotel bersama-sama. Sesampainya di pelabuhan, kami tidak langsung masuk ke kapal, kami harus menunggu kendaraan lain yang juga akan masuk kapal. Setelah menunggu lama akhirnya giliran bus kami juga yang akan memasuki kapal. Saya dari tadi panik, takut bus dua akan beda kapal dengan bus satu. Karena di dalam sana ada temanku Amel dan Leista, kalau misalnya memang dipisah, saya lebih suka sekapal dengan bus dua, karena dengan begitu yang akan sampai duluan adalah kami bertiga. Daripada jika yang sampai duluan adalah bus satu dan bus tiga, itu berarti yang terjadi akan sama seperti di hotel Holiday inn, hanya saya berdua dengan Resti. Atau akan lebih parah lagi kalau misalnya yang sampai duluan adalah bus satu dan bus empat, bisa-bisa saya sendiri yang akan sampai duluan.

Alhamdulillah, ternyata tidak ada bus yang terpisah, semuanya berada dalam satu kapal menuju Bali. Saya turut bergembira akan hal itu. Di kapal, temanku Amel dan Leista mengajakku untuk pergi ke atas kapal, tadinya saya menolak. Tapi akhirnya saya memutuskan untuk ikut dengan mereka, di atas kapal kami sempat ikut berfoto dengan nakhodanya, kesempatan itu merupakan sebuah pengalaman yang sangat menyenangkan, tidak semua anak bisa melakukan hal ini. Setelah cukup lelah berdiri di atas kapal, kami memutuskan untuk segera mecari tempat duduk di dalam kapal yang ber-AC itu. Tapi keinginan kami itu telah sirna, karena sesampainya kami di sana, semua kursi telah diisi, walau ada beberapa kursi yang tidak ada orangnya, tapi sayangnya mereka meninggalkan barang-barang mereka, menandakan bahwa kursi itu telah ditempati, itu berarti juga melarang kami untuk duduk di kursi tersebut. Begitulah tingkah laku setiap orang yang egois, mereka tidak memperhatikan ada teman mereka lainnya yang juga butuh tempat duduk untuk menghilangkan rasa lelah mereka. Lagipula bukankah mereka sudah beristirahat cukup lama, dan juga nyatanya banyak kursi yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Tapi kami akan merasa tidak enak kalau menduduki kursi tersebut dan kemudian pemiliknya datang, mau berkata apa kita. Kami cuma ingin melepas lelah. Daripada pusing memikirkan hal itu dan nantinya juga akan membuat kami semakin lelah, kami memutuskan untuk beristirahat di lesehan depan mushola. Kebetulan penumpang lain yang sedang beristirahat di sana mempersilakan kami. Dengan senang hati kami menerimanya. Walau tidak ber-AC, tapi kami cukup senang, sudah bisa melepas lelah dengan tenang tanpa harus khawatir pemiliknya akan datang.

Sudah pukul sembilan malam lebih tapi kami belum juga mendapatkan makan malam, padahal perutku sudah keroncongan. Seharusnya kami sudah makan malam pukul tujuh malam sesuai dengan rundown yang ada. Tadinya saya tidak ingin membeli pop mie di sana yang harganya menjadi lebih dua kali lipat dibandingkan dengan biasanya. Tapi karena saya merasa begitu lapar, dan saya juga berprinsip bahwa kesehatan itu lebih penting, jadi saya memutuskan untuk membelinya. Daripada nanti saya masuk angin akibat perut kosong. Padahal juga tidak akan lama lagi kami mendarat. Saya sangat tidak bisa menahan rasa lapar tersebut. Dan ternyata benar, belum sampai habis pop mie tersebut, kapalnya sudah mendarat. Di dalam bus, saya masih memegang pop mie tersebut. Akhirnya kenyang juga. Tidak begitu lama, sekitar pukul 23.00 kami tiba di Central Park di Bali untuk makan malam, kami tidak langsung menuju hotel. Saya sudah kenyang, jadi saya hanya mengambil sedikit nasi. Saya benar-benar tidak nafsu makan, bahkan dengan porsi yang sedikit itu saja saya tidak habis, entah kenapa saya benar-benar tidak mood makan malam kali ini.

Akhirnya selesai juga acara makan malam kali ini, saya sudah tidak sabar untuk segera beristirahat di dalam hotel. Karena waktu juga sudah larut malam, saya pun tertidur selama di perjalanan. Tanpa terasa saya sudah tiba di hotel. Saya lihat semua juga sudah ingin segera beristirahat. Bukankah seharusnya tour leader-nya memberitahu nomor kamar kami. Tapi kata Fitri dia sudah memberitahukannya selama saya tidur di dalam bus, kenapa tidak ada yang memberitahu saya. Kami juga khususnya yang perempuan tidak juga diizinkan untuk segera turun dari bus oleh tour leader-nya. Tetapi kenapa teman kami yang perempuan yang berbeda bus dengan kami sudah boleh turun dari bus. Ada apa sebenarnya? Bu Endang juga tidak tahu, tapi beliau menyuruh kami untuk tetap berada di dalam bus. Karena kita harus menaati setiap yang diperintahkan oleh tour leader-nya. Mengingat akan yang telah diceritakan sebelumnya. Jadi, suatu hari ada seorang yang sudah diperingatkan untuk tidak buang air kecil sembarangan, peringatan itu sebenarnya bukan hal sepele, tetapi ia tetap melakukannya. Hingga ia pulang sampai di rumahnya, keesokan harinya ia meninggal, karena suatu hal yang aneh.

Keadaan benar-benar simpang siur, beberapa temanku nekat untuk segera turun, sedang beberapa yang lainnya tetap di dalam bus mematuhi apa yang disuruh oleh tour leader. Termasuk saya yang ada di dalamnya. Kami yang di dalam semakin tidak sabar, waktu sudah larut malam, tapi belum juga segera disuruh turun. Akhirnya tour leader kami datang juga. Dan menyuruh kami turun. Tadinya kami mau dibawa ke depan kamar-kamar anak perempuan yang letaknya diseberang, tetapi akhirnya, kami turun juga dan menyeberang sendiri. Saya dari tadi belum tahu nomor kamarnya. Akhirnya saya menghubungi teman sekamar saya, dan dia bilang nomor kamar kami adalah nomor lima. Teman sekamarku sudah berada di sana. Bukankah itu nomor kamar anak laki-laki. Saya masih belum percaya. Mungkin mereka salah ucap. Akhirnya saya menanyakan kebenaran tersebut kepada Pak Maryono, tapi beliau malah menyuruh saya untuk menanyakan hal itu kepada teman sekamar saya yang lain. Padahal saya sudah menanyakan akan hal itu sebelumnya, saya hanya ingin memastikan. Kemudian saya bilang kepadanya, apa benar kamar saya adalah nomor lima. Kamar yang khusus disediakan untuk anak laki-laki? Bukankah kamar untuk anak perempuan ada di seberang? Ada apa ini? Saya tidak ingin berada di wilayah kamar anak laki-laki. Sungguh tidak adil kalau benar begitu. Saya rasanya mau menangis. Dari tadi yang saya inginkan adalah istirahat. Saya sudah sangat lelah hari ini. Teman-temanku yang lain sudah masuk kamar, saya belum, saya masih berada di depan lobi bersama dengan guru-guru. Saya sudah beberapa kali menanyakan hal tersebut kepada guru-guru. Tapi mereka juga bingung. Akhirnya pelayan hotel mengantarkan saya ke kamar nomor lima, bersama dengan teman-teman sekamarku. Sampai di sana, mereka juga terlihat bersedih, mereka juga merasa tidak adil. Biasanya teman-temanku sudah merapikan barang-barang dan segera mandi. Tapi mereka terlihat masih berdiam duduk di atas tempat tidur dan dengan koper disampingnya. Mereka mengatakan kepadaku bahwa sesekali mereka melihat tikus keluar dari lemari, AC-nya pun tidak nyala, kamarnya sempit, sungguh berbeda dengan hotel yang ada di Lombok. Bagaimana kami bisa istirahat dengan ketidaknyamanan ini. Sementara teman-teman perempuanku yang lain sedang asik istirahat di kamar seberang, di kamar khusus untuk perempuan. Amel menyarankan agar kami menerima apa yang sudah diberikan, tapi tampaknya Resti tidak mau menerima kenyataan ini. Dia terus berjuang agar bisa mendapatkan kamar yang layak, sama seperti teman perempuan kami yang lainnya. Dia menghubungi Bu Ai, dia meminta akan keadilan. Dan akhirnya pun kami baru pindah. Sebenarnya ada satu kelompok pula yang bernasib sama seperti kami. Tapi mereka sudah diberi kamar yang baru semenjak mereka tahu kalau mereka juga tidak diberi keadilan, sama seperti kami. Mereka bahkan belum sempat ke kamar sebelumnya. Sedangkan kami sudah merasakan, dan tidak begitu nyaman. Sekali lagi ini benar-benar tidak adil. Kami baru bisa istirahat setelah teman-temanku yang lain sudah asik di kamarnya masing-masing.

Segera kami diantar menuju kamar yang baru, terletak dipojok. Kamar yang berbeda dengan yang lain, lebih luas, diapit oleh kamar temanku yang lain. Apa ini sengaja tidak dihuni? Kami merasa bahwa kami akan tinggal di sebuah kamar yang keramat. Kalau tidak begitu, kenapa mesti dilewati, tidak dihuni oleh temanku yang lain. Kamar-kamar sebelumnya sudah dihuni oleh teman-temanku, dan kamar setelahnya pun juga sudah dihuni. Tapi kamar yang ini kenapa dilewati dan dibiarkan kosong tidak berpenghuni? Jika kami memang mendapatkan kamar yang baru, bukankah semestinya kamar yang paling akhir. Tapi ini sungguh aneh. Sekali lagi saya katakan sangat berbeda dengan kamar yang lain. Sampai kapan kami begini? Sudahlah, toh kami disini cuma dua malam. Di dalam sana, kami merasa kurang nyaman dan seperti ada suasana mistis. Sesekali temanku Leista terlihat panik dan keluar dari kamar. Dia merasa takut kalau ada sesuatu yang aneh muncul. Agar kami berempat tenang, kami mencoba duduk melingkar dan berdo’a. agar selama kami di kamar ini, kami dilindungi oleh Allah. Saya mencoba untuk menghilangkan rasa takut itu. Dan segera sholat magrib dan isya, karena dari tadi saya belum sholat. Untuk ke kamar mandi, saya menyuruh ketiga temanku untuk menemaniku, begitu juga yang lain. Saya yang pertama kali sholat, baru disusul oleh kedua temanku Amel dan Resti. Leista masih terdiam, dia terus mengamati keadaan di sekitar. Dia bilang AC-nya terlihat aneh, suhunya tiba-tiba naik dan turun. Amel mencoba untuk menenangkannya, mungkin saja itu reaksi yang baru terjadi setelah sebelumnya ia mengatur suhu tersebut menggunakan remote. Agar kami bisa tidur dengan tenang, kami memutuskan untuk menyalakan televisi sampai pagi. Di sana tersedia empat tempat tidur. Tapi Resti tidak ingin tidur sendiri, akhirnya dia tidur satu tempat tidur denganku. Jadi, tersisa satu tempat tidur yang tidak digunakan.



Study Tour Jakarta-Bali-Lombok Hari kelima

Hari Senin, 14 Desember 2009


Akhirnya pagi datang juga. Kami senang tidak terjadi hal-hal yang aneh semalam. Kami bergegas untuk segera membersihkan diri. Karena kami masih merasa takut berada sendirian di kamar mandi, kami memutuskan untuk saling menemani. Tadinya kami ingin mandi pada waktu yang bersamaan, karena disediakan satu bathtub dengan tirai dan juga ruang shower. Tapi ternyata shower-nya tidak berfungsi. Jadi kami memutuskan agar satu orang mandi di bathtub, dan satu orang lagi menemaninya berada di depan cermin, daripada tidak ada kegiatan, orang yang menemani memanfaatkan waktunya untuk membersihkan wajah dan menggosok gigi. Begitu seterusnya. Padahal, hal ini seharusnya tidak terjadi, kami tidak begitu takut mandi sendirian di kamar mandi saat di hotel Holiday inn. Tapi kenapa disini tidak?

Entah kenapa, selama di Bali, saya tidak menikmati perjalanan. Rasanya ingin segera kembali ke Jakarta dan berkumpul bersama keluarga. Mungkin karena saya merasa di sini tidak bisa bebas, banyak sekali peraturan yang ada, dan penuh suasana mistis. Dan kalau dilanggar, hal aneh mungkin akan terjadi. Karena Bali memang sangat kental dengan hal-hal mistis. Sudah tahu saya ini penakut dengan hal-hal seperti itu. Keadaan seperti ini membuat saya benar-benar tidak nyaman.

Kira-kira pukul delapan pagi, kami sarapan. Tidak begitu lama, kami langsung melanjutkan perjalanan. Di bus, kami diperkenalkan dengan tour guide yang baru, namanya Bli Koman. Katanya, wisata pertama yang akan kita kunjungi terletak di Batu Bulan, di sana kita akan menyaksikan acara Seni Budaya Bali yaitu Tari Barong dan Tari Keris. Dia mengatakan bahwa kita akan melihat leak yang palsu, yang diperankan oleh orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tidak sembarang orang dapat memerankan hal itu. Jadi kalau kita melihat rupa yang mirip dengan yang diperankan itu. Itulah yang disebut dengan leak. Apa maksud dari perkataan tour guide-nya barusan? Apakah kita akan melihat wujud leak yang sebenarnya? Saya tidak ingin sama sekali. Ya Allah.. hal itu semakin membuatku takut.

Pertunjukannya mulai pukul sembilan tepat. Syukurlah kami sampai di sana tepat waktu. Pertama kali masuk, kami diberikan sebuah kertas berisi panduan pertunjukan yang akan diberikan. Jadi, kita akan mengerti apa yang sedang diperlihatkan. Panduan tersebut tersedia dengan banyak bahasa. Karena bukan turis domestik saja yang menyaksikan, tapi juga ada beberapa yang dari mancanegara. Pertunjukkannya sangat spektakuler. Saking dahsyatnya, rasanya mata ini tidak ingin berkedip. Tidak ingin kehilangan satu momen pun yang ditampilkan. Beberapa temanku yang membawa kamera, duduk disamping panggung, agar bisa mendapatkan gambar dari dekat. Sedangkan saya dan teman-teman yang lain duduk di kursi bagian belakang. Terlihat di kursi bagian depan ada sekumpulan turis dari mancanegara.

Pertunjukkan tersebut ingin memberitahukan kita bahwa kita hidup selalu berdampingan dengan kebaikan dan keburukan. Tidak ada yang lebih dominan.







Setelah puas menyaksikan pertunjukan tersebut, kami hanya cukup berjalan sedikit untuk bisa tiba di Galuh, sebuah pusat kerajinan yang ada di Bali. Di sana kami diberi waktu untuk membeli barang-barang yang diinginkan. Bagiku, cukup dengan melihat-lihat saja sudah puas. Karena menurut saya berbelanja yang sebenarnya adalah nanti di Sukowati. Di Galuh ada banyak sekali benda-benda seni, lukisan, pakaian, alat musik, dan pajangan. Ada yang murah dan ada juga yang mahal. Untuk sebuah lukisan yang indah kita perlu menyiapkan uang yang banyak. Teman-temanku banyak yang membeli ikat kepala dari Bali. Tapi tidak untukku, pasti setelah dari Bali sudah tidak digunakan lagi.

Selanjutnya, kami melanjutkan wisata ke Tanjung Benoa. Sebuah tempat yang ada banyak permainan air. Seperti parasailing, banana bout, snorkeling, dan lain sebagainya yang pasti menyenangkan. Dan untuk bisa memainkan permainan tersebut, juga perlu biaya yang besar. Saya dan beberapa temanku yang lain lebih memilih ke Pulau Penyu. Dengan biaya yang cukup terjangkau, yaitu sekitar 50 ribu seorang, kami bisa menyewa perahu pulang pergi. Satu perahu butuh 10 orang, jadi sebelum kami ke sana, kami mencari-cari dulu teman yang berminat ke sana juga, sampai terkumpul menjadi 10 orang.

Perahunya di lengkapi dengan kaca tembus pandang di dasarnya. Sehingga kami bisa melihat keadaan di bawah perahu. Kami melihat tumbuhan air dan juga ikan-ikan di dalamnya, dari sana kita juga bisa lihat kedalaman laut.







Cukup lama juga perjalanan menuju Pulau Penyu. Jadi kami memanfaatkan waktu dengan berfoto-foto. Sampai di sana kami melihat bukan hanya ada penangkaran penyu, tapi hewan lainnya pun ada, seperti elang, ular, iguana, dan hewan-hewan yang dilindungi lainnya. Di sana kami hanya menghabiskan waktu untuk berfoto-foto. Untuk bisa berfoto dengan penyu, kita mesti turun ke dalam air. Untungnya saya sudah mempersiapkan celana ganti. Jadi kami bisa berfoto bergantian dengan penyu-penyu itu di dalam air yang tidak begitu dalam. Penyunya cukup berat, jadi butuh tiga orang agar bisa mengangkatnya.







Kemudian kami berfoto dengan elang. Pada saat temanku yang lain berfoto dengan elang, elang tersebut duduk di bahu mereka, tapi pada saat giliranku tiba, dia memilih untuk duduk di atas kepalaku. Temanku juga sempat berfoto dengan ular. Tapi saya tidak berani. Kegiatan tersebut membuat kami lapar, dan waktu perjalanan ini juga sudah hampir dua jam. Karena, tour leader kami memberikan waktu di Tanjung Benoa ini hanya dua jam. Lantas kami bergegas kembali ke tempat semula. Di sanalah kami mendapatkan makan siang.







Setelah kenyang, kami melanjutkan perjalan menuju Joger. Kalau menurut rundown, seharusnya setelah ini kami mengunjungi GWK, tapi kata guru-guru, kita tidak akan sempat ke sana, jadi kunjungan kita ke sana dibatalkan, lagipula patungnya belum selesai. Padahal saya sangat ingin sekali ke sana. Jadinya kami hanya diberi gambaran apa itu GWK. Kata tour guide-nya GWK adalah singkatan dari Garuda Wisnu Kencana, sebuah patung yang dibuat oleh seorang seniman dari Tabanan, Bali. Dia ingin membuat sebuah patung yang tertinggi di dunia. Kepalanya saja berukuran setinggi 22 meter. Di bagian atas terdapat sebuah air suci, seseorang yang sedang dalam keadaan kotor tidak diperbolehkan memasuki area tersebut.

Akhirnya kami langsung ke Joger tanpa ke GWK terlebih dahulu. Kata tour guide-nya, jika kita tidak membeli barang dari Joger, anggapan orang, kita belum pernah ke Bali. Karena di Bali-lah satu-satunya tempat keberadaan Joger, tidak ada di tempat lain. Padahal pendirinya adalah orang Jawa.

Sebelum sampai di Joger, kami berhenti di Central Park, karena untuk bisa sampai di sana, kita butuh kendaraan lain yang sudah disediakan. Kemudian sebelum menaiki kendaraan tersebut, kami diberikan dua karcis oleh tour leader-nya. Karcis tersebut digunakan agar bisa naik mobil warna merah. Tapi kalau naik mobil warna biru harus bayar sekitar dua ribu rupiah. Sebelum ke Joger, beberapa temanku, saya, dan Bu Ai, menyempatkan waktu sebentar di Central Park untuk kemudian menuju masjid untuk sholat zuhur dan ashar sebentar. Baru kemudian kembali lagi ke Central Park untuk menuju Joger menggunakan mobil yang merah.

Tidak kusangka di dalam mobil kami berdesak-desakkan. Bahkan ada yang duduk di jendela. Untungnya saya dipersilakan duduk oleh seorang ibu agar duduk disampingnya. Katanya, ia bersama suaminya tertinggal dari rombongannya yang berasal dari Kediri. Saya sempat berbincang-bincang sebentar. Sampai akhirnya kami tiba di Joger. Sebelum masuk kami diberi stiker bertuliskan VIP yaitu kepanjangan dari Very Iseng Person.

Cukup lama berbelanja di sana, akhirnya kami sadar bahwa kami hampir saja kehilangan sunset. Kami harus segera tiba di Pantai Kuta. Untuk menuju ke sana, kami menggunakan mobil warna biru. Sama saja seperti mobil yang merah. Selalu berdesak-desakkan. Kalau belum sampai 25 orang, mobil tidak akan berjalan. Jalanan menuju Pantai Kuta sangat macet, jadi kami memutuskan untuk berjalan kaki. Sesampainya di sana, ternyata kita tidak bisa melihat sunset, karena cuacanya sedang berawan, kami cuma bisa melihat langit yang kemerahan. Walau begitu, pemandangan sore harinya sangat bagus. Jadi kami hanya berfoto-foto saja di sana.



Kemudian kami kembali lagi ke Central Park untuk kemudian kembali ke hotel. Untuk ke Central Park saja kita mesti berdesak-desakkan lagi di dalam mobil merah, saya saja sampai tidak kedapatan tempat duduk, jadinya saya dipangku oleh Bu Ai. Saya tidak begitu lama dipangku, karena Bu Ai merasa tidak kuat, jadinya saya jongkok. Ini lebih nyaman daripada duduk di jendela. Kami membayarnya dengan karcis kedua kami.

Di Central Park, kami tidak segera kembali ke hotel, melainkan makan malam sebentar. Kami makan malam di sebuah lapangan yang luas, bersama dengan sekolah lain. Rupanya, sambil menikmati makan malam mereka sekolah lain itu, mereka menyaksikan teman mereka yang sedang beraksi di panggung. Selesai makan, saya, Leista, Amel, dan Hilya memutuskan untuk pergi ke Giant, tidak begitu jauh dari sini, masih di wilayah Central Park. Karena dari kemarin kami kehabisan minuman. Selama di perjalanan kami sering merasa dehidrasi, lantaran tour leader-nya tidak kunjung memberi kami minuman. Hanya pada saat kami berangkat dari Jakarta saja. Ketika kami sudah bersiap untuk kembali ke hotel, ternyata ada beberapa teman kami yang masih ingin berada di sini. Jadi, bus kami terbagi dua, bus dua dan tiga berisi anak-anak yang ingin kembali ke hotel, sedangkan bus satu dan bus empat berisi anak-anak yang masih ingin berada di sini. Kalau saya termasuk yang ingin kembali ke hotel. Menurut saya, di Pantai Kuta terlalu banyak orang, sangat sulit untuk menikmati suasana. Berbeda dengan Pantai Kute yang ada di Lombok. Benar-benar natural, seperti belum terjamah oleh manusia. Teman sekamarku yang lain juga memutuskan hal yang sama, yaitu Amel dan Leista. Kalau misalkan mereka berubah pikiran, bisa bahaya. Nanti saya sendirian di kamar, ke kamar mandi saja saya tidak berani sendiri.

Setibanya di hotel, kami sudah agak terbiasa dengan suasana yang ada di kamar, jadi tidak begitu canggung lagi setiap akan beraktivitas, kadang kami berani mengambil wudhu sendiri di kamar mandi. Tapi kalau urusan mandi, kami masih agak takut, jadi kami masih saling menemani. Setelah kami bertiga sudah selesai mandi dan merapikan barang-barang, kami berencana untuk segera tidur. Tapi, tidak jadi, karena kami tidak enak dengan Resti. Jadi, kami menunggunya sampai ia datang, lagipula dia juga belum mandi, pasti ia minta kami menemaninya. Sambil menunggunya, kami hanya mengobrol.

Setelah ia datang, ia bercerita kalau tadi ia mengunjungi sebuah batu atau seperti prasasti yang mengingatkan kita bahwa pernah terjadi bom meledak di situ. Dan berharap hal yang demikian tidak terjadi lagi. Setelah ia selesai beraktivitas, baru kami tidur, tidak lupa menyalakan televisi sampai pagi, agar kami tidak merasa takut.

Study Tour Jakarta-Bali-Lombok Hari keenam

Hari Selasa, 15 Desember 2009


Paginya, kami segera membersihkan diri kemudian bersiap untuk segera check out dari hotel. Kami baru sarapan sekitar pukul sembilan pagi. Dan berangkat meninggalkan hotel kira-kira pukul sepuluh. Di perjalanan, kami diberitahu oleh tour guide-nya bahwa rumah-rumah di sini, tingginya tidak boleh melebihi tinggi pohon
kelapa. Tapi sesekali saya melihat, masih ada rumah yang melebihi itu.

Sebelum ke Sukowati, kami mampir sebentar di sebuah toko yang menjual makanan khas Bali. Diantaranya adalah kacang bali. Kacang tersebut terkenal akan kelezatannya. Jadi saya tidak melewatkan kesempatan ini. kesempatan kami di sini tidak begitu lama, karena tujuan utama kita adalah ke Pasar Seni Sukowati. Setibanya di sana, teman-temanku langsung menyerbu dagangan yang ada. Harganya benar-benar miring. Sangat murah, sangat disayangkan kalau tidak mampir ke sini. Rata-rata harga bajunya adalah 10-15 ribu. Bed cover-nya juga murah, cuma 50 ribu. Kalau jago menawar, mungkin bisa lebih murah lagi. Karena persaingan dagang di pasar ini benar-benar kuat, jadi mereka menawarkan harga semurah mungkin, agar kita tetap membelinya.

Sudah puas memborong barang-barang di Sukowati, kami melanjutkan perjalan menuju Tanah Lot. Di sana terdapat banyak sekali Pure, tempat ibadah orang Hindu. Orang yang sedang dalam keadaan kotor tidak boleh memasuki Pure tersebut. Kata tour guide-nya dulu pernah ada seorang pengunjung yang sedang haid, tapi dia nekat masuk ke dalam Pure untuk berfoto. Kemudian dia mengalami hal yang aneh. Di sini saya merasa tidak nyaman. Menurut saya, dalam keadaan kotor atau tidak, lebih baik tidak usah masuk ke dalamnya.

Di Tanah Lot juga terdapat ular dan air suci. Sesampainya, di sana Leista dan Amel memaksaku untuk tetap masuk ke sana. Saya tidak mau, takut terjadi apa-apa terhadap saya. Jadinya Amel dan Leista pergi juga ke sana tanpa saya. Saya hanya berfoto-foto saja di dekat karang. Deburan ombaknya sangat menampar, jangan terlalu dekat, karena bisa terseret. Sinar mataharinya juga begitu menyengat. Jadi jangan terlalu lama berdiri di luar.









Selanjutnya kami menuju ke Rumah Makan Soka Indah, yang pernah kita singgahi, dan bertemu dengan anak-anak lain dari SMAN ***. Sebelum makan, saya pergi ke toilet dulu, ternyata saya haid. Untung tadi saya tidak memasuki area-area yang terlarang selama di Tanah Lot, bisa-bisa sesuatu terjadi pada diri saya.

Selesai makan siang, kami melanjutkan perjalanan pulang menuju Jakarta. Sampai di pelabuhan kami menggunakan kapal untuk menyeberang menuju Jawa. Tidak seperti perjalan di kapal sebelumnya, ketika banyak teman-temanku yang berfoto-foto, atau sekedar melihat-lihat pemandangan di laut. Mereka semua terlihat lelah, saat pertama kali tiba, semua langsung mencari tempat duduk untuk beristirahat sambil mengobrol. Saya duduk bersama dengan Hilya, Amel, dan Leista. Saat itu Leista mulai bertanya-tanya mengenai sebuah peristiwa aneh di kamar kami kemarin. Dia bertanya kepada kami bertiga yang sekamar dengannya, siapakah diantara kami yang mematikan televisi. Tentunya bukan saya, saya bahkan tidak menyentuh sedikit pun televisi tersebut paginya. Amel juga tidak, dan Resti juga bilang begitu. Tentunya Leista juga tidak mematikan televisi tersebut. Padahal kami sengaja menyalakannya sampai pagi, tapi ketika kami bangun, televisinya sudah mati. Resti mencoba menenangkan kami dengan mengatakan bahwa mungkin dia yang mematikan televisinya saat dia akan tidur, karena dialah yang tidur belakangan. Mudah-mudahan begitu.

Ketika kami sudah sampai di Jawa, kami sudah merasa lapar, dan kami mampir sebentar di Rumah Makan Puritama untuk makan malam, rumah makan yang pernah kami singgahi sebelumnya. Saat itu kira-kira pukul sebelas malam. Larut sekali. Kami bermalam di dalam bus, melewati hutan jati, suasananya sangat gelap. Sebelumnya kami melewati hutan jati siang hari, tidak begitu menakutkan. Lebih baik saya tidur daripada melihat suasana menyeramkan di tengah hutan jati tengah malam.