Monday, April 25, 2011

Study Tour Jakarta-Bali-Lombok Hari keempat

Hari Minggu, 13 Desember 2009


Kira-kira pukul lima pagi kami dibangunkan oleh Bu Parmi lewat telepon, mengingatkan kami bahwa pagi ini kita akan segera check out. Sayalah yang mengangkat telepon tersebut. Pada saat itu Leista juga bangun, tapi kedua temanku Amel dan Resti belum juga bangun, sulit sekali membangunkannya. Tadinya kami berempat merencanakan pergi ke pantai untuk melihat matahari terbit pada pukul lima pagi. Tapi nyatanya, kami semua masih merasa mengantuk. Kira-kira pukul delapan, sambil menuju ruang makan, kami mengambil jalan lain yang melewati pantai, baru setelah ke ruang makan tersebut. Sampai di pantai, kami menyempatkan untuk berfoto-foto terlebih dahulu. Dari sana juga terlihat ada kolam renang, kulihat juga ada beberapa temanku yang berenang. Andai saja kolam renang laki-laki dipisah dengan perempuan, saya mau berenang.

Sesampainya di tempat makan, saya tidak ingin mengulang kesalahan yang sama, saya tidak mengambil makanan yang diracik sesuai selera, nanti jadinya malah tidak enak. Kebetulan hari ini tersedia nasi goreng. Jadi cukup simpel. Sedangkan temanku yang lain ada yang mengambil roti dengan selai di atasnya, ada juga yang mengambil muffin. Saya agak tertarik dengan yang dimakan oleh teman saya, jadi setelah menghabiskan nasi goreng, saya mengambil kue-kue lain yang tersedia. Setelah cukup kenyang, saya mengambil buah-buahan sebagai penutup.





Selesai makan, kami disuruh untuk segera check out dari hotel dan melanjutkan perjalanan. Lantas kami berempat menuju kamar hotel. Untungnya kami sudah mengepakkan barang dari tadi malam. Jadi, kami hanya tinggal membawa koper menuju lobi. Yang saya tidak mengerti, kenapa masih ada teman-teman kami yang masih santai. Kulihat mereka masih belum mandi dan merapikan barang. Kami berempat serasa paling rajin. Melihat akan hal itu, kami membatalkan untuk segera ke lobi. Mungkin juga belum ada orang di sana. Karena sudah tidak ada kegiatan yang lain, kami berempat berencana untuk mengunjungi teman kami yang lain, yang kamarnya berada diseberang. Ternyata itu adalah kamar Kalika, Hanan, Hilya, dan Putri. Sebelumnya kami tidak tahu itu kamar siapa. Kalau begitu, kemarin malam seharusnya saya tidak usah repot-repot kembali ke kamar lewat pintu depan. Lebih baik juga lewat balkon belakang kamarnya, padahal tinggal menyeberang. Jadi saya tidak perlu melewati jalan yang berkelok-kelok dan berputar serta dikelilingi oleh pepohonan di tengah malam. Sudahlah, sudah berlalu. Di sana saya ingin menunjukkan ke Amel, Leista, dan Resti kamar mandi mereka. Ternyata lebih baik kamar mandi kami. Kamar mandi mereka begitu seram jika sudah malam hari. Tanaman-tanaman yang ada di sekitarnya, membuat seakan-akan kita mandi di tengah hutan dan di bawah gelapnya malam, karena atapnya yang sedikit transparan. Sedangkan kamar mandi kami tidak ada tamanan-tanamannya. Jadi, kami tidak begitu takut mandi sendiri. Mereka bilang, kalau akan mandi, biasanya mereka saling menemani. Yang satu mandi di bathtub ditutupi oleh tirai, sedangkan yang lainnya asik mengobrol di depan cermin, sesekali juga yang sedang mandi ikut mengobrol. Bayangkan saja, pukul berapa kemarin kita sampai di hotel. Sepertinya tidak akan enak tidur kalau tidak mandi. Begitulah mereka pastinya akan merasa takut kalau mandi sendiri. Di sana juga kami sibuk berfoto-foto. Sambil menunggu teman yang lain siap.



Sudah cukup lama kami di sana, akhirnya kami memutuskan untuk segera ke lobi hotel dan membawa koper. Temanku yang lain sudah keluar dari kamar, saya adalah orang yang terakhir di antara kami berempat. Saking terburu-burunya, saya lupa mengambil kuncinya dan langsung menutup pintunya. Saya lupa kalau pintu kamar tersebut bisa terkunci secara otomatis, jadinya saya panik karena pintunya sudah terkunci, tapi kuncinya masih di dalam. Kebetulan ada petugasnya yang lewat, dia membantu kami membuka pintunya. Syukurlah pintunya dapat dibuka. dan kami dapat mengambil kuncinya untuk diberikan ke resepsionis. Tapi kalau tidak salah, kami tidak jadi memberikannya, karena petugas tersebut yang langsung memegang kunci tersebut.

Setelah tiba di lobi, kulihat teman-teman sudah berkumpul semua, lantas satu-persatu koper dimasukkan ke dalam bagasi bus yang ada di depan hotel, tapi dari tadi saya tidak melihat bus 1. Rupanya bus 1 tidak berhenti di depan hotel, melainkan di seberang hotel, jadi kami yang dari bus 1 mesti membawa koper kami menyeberang jalan, baru kemudian memasukkan kopernya ke dalam bagasi. Kami sangat senang berada di hotel ini. Semoga kami bisa ke sini lagi. Amin.

Di bus, kembali tour guide-nya membimbing kami selama di perjalanan. Sekarang dia mulai bercerita tentang Desa Sekar Bela, yang terkenal dengan kerajinan mutiaranya. Semakin berat mutiara tersebut semakin baik. Walaupun kecil, tapi berat itu juga baik, daripada besar tapi ringan atau ada rongganya, kemungkinan mutiara tersebut akan meletus. Tapi kami tidak langsung ke Desa Sekar Bela, melainkan berhenti sebentar di sebuah toko yang menjual oleh-oleh khas Lombok. Beberapa ada yang menuju tempat penjualan pakaian, beberapa yang lain ke penjualan mutiara, walaupun bukan di tempat asalnya yaitu Desa Sekar Bela, dan juga ada beberapa yang membeli makan khas Lombok mulai dari dodol hingga manisannya. Saya pertama kali menuju tempat penjualan pakaiannya. Saya tidak menyangka, kaos putih dan ada bacaan lomboknya harganya mencapai 65 ribu rupiah, kupikir tidak akan lebih dari 50 ribu. Di sana saya hanya membeli satu kaos, bergambar peta Lombok dan berwarna merah muda. Terlalu banyak berpikir mencari kaos yang bagus, akhirnya saya kehabisan dodol khas lomboknya, diborong oleh Bu Endang. Sebenarnya masih ada manisan, tapi keluargaku kurang suka dengan manisan. Kulihat semua sedang bergegas segera naik bus, jadi saya tidak sempat ke tempat mutira tersebut.

Setibanya di Desa Sekar Bela, saya tidak begitu tertarik. Tadinya saya hanya berniat untuk menemani Amel membeli kalung emas yang ada mutiaranya. Katanya, ibunya yang menyuruhnya untuk membelinya. Saya lihat ternyata ada banyak sekali bros-bros cantik yang dijualnya. Saya jadi ingin membelinya, ternyata harganya tidak begitu mahal dan terjangkau serta lebih murah dibandingkan kita membelinya di Jakarta. Harganya hanya sepuluh ribu rupiah. Langsung dari asalnya. Kukira harganya akan semahal dengan cincin yang Leista beli tadi di tempat kami berhenti pertama kali. Ternyata mutiara di sini jauh lebih murah dibandingkan harga cincin tersebut, bahkan bisa membeli empat bros di sini. Tapi temanku Amel belum juga menemukan kalung yang ia cari. Setelah begitu banyak toko disinggahi, akhirnya ketemu juga di salah satu toko di ujung jalan. Transaksi itu berjalan cukup lama, saya khawatir kalau busnya akan segera berangkat. Saya tahu kalau mereka pasti tidak akan meninggalkan kami, tapi kaminya yang merasa tidak enak, gara-gara kamilah mereka harus menunggu lama untuk tujuan berikutnya.

Benar, ternyata apa yang saya khawatirkan terjadi. Setelah menaiki bus, semua temanku mengeluh akibat keterlambatan kami. Saya jadi merasa bersalah. Untungnya Amel dan Leista berbeda bus dengan saya. Kalau tidak, bisa-bisa cuma bus satu yang belum berangkat. Tapi kulihat, masih ada bus lain yang belum berangkat selain bus satu dan bus dua. Mungkin menunggu bus kami berangkat, agar bisa berangkat bersama-sama.

Sudah siang dan sudah waktunya makan siang. Kami mampir kembali di rumah makan yang ikan bakarnya enak. Karena bus satu dan bus tiga yang sampai duluan, jadinya kami kebagian tempat makan yang lesehan. Kami mesti membuka alas kaki kami dulu sebelum masuk ke dalam saung tersebut. Tak apalah, yang penting kami merasakan ikan bakar yang enak itu lagi. Kukira, ikan bakar yang disediakan tidak akan cukup untuk satu orang satu, ternyata ada banyak. Lantas saya ambil satu untuk saya sendiri, seharusnya waktu pertama kali ke sini, saya ambil satu juga, tidak perlu ambil setengah. Lagipula ikan yang disediakan cukup banyak.

Dari sini, kami disuruh untuk segera naik ke bus. Katanya, sholatnya nanti saja di kapal. Tapi kulihat ada beberapa temanku yang sudah menyempatkan diri untuk sholat Zuhur di sini. Sedangkan saya termasuk yang belum. Daripada nanti saya lagi yang merasa bersalah akibat telat naik busnya, lebih baik saya cepat-cepat naik ke bus. Tapi kulihat, ternyata masih banyak temanku yang belum naik bus, mereka mengerumuni penjual kaos murah, ternyata harganya lebih murah dibandingkan tempat pertama yang kami kunjungi. Lagi-lagi jauh lebih murah dari tempat itu. Saya merasa tertipu. Lebih baik saya beli disini, setidaknya dengan uang 50 ribu bisa beli empat, di sana cuma bisa beli satu.

Sudah cukup berbelanja. Akhirnya saya dan yang lainnya kembali ke bus dan melanjutkan perjalanan menuju Pelabuhan Lembar untuk menyeberang menuju Bali. Saya harap kami tidak dipisah lagi, agar kami bisa sampai di hotel bersama-sama. Sesampainya di pelabuhan, kami tidak langsung masuk ke kapal, kami harus menunggu kendaraan lain yang juga akan masuk kapal. Setelah menunggu lama akhirnya giliran bus kami juga yang akan memasuki kapal. Saya dari tadi panik, takut bus dua akan beda kapal dengan bus satu. Karena di dalam sana ada temanku Amel dan Leista, kalau misalnya memang dipisah, saya lebih suka sekapal dengan bus dua, karena dengan begitu yang akan sampai duluan adalah kami bertiga. Daripada jika yang sampai duluan adalah bus satu dan bus tiga, itu berarti yang terjadi akan sama seperti di hotel Holiday inn, hanya saya berdua dengan Resti. Atau akan lebih parah lagi kalau misalnya yang sampai duluan adalah bus satu dan bus empat, bisa-bisa saya sendiri yang akan sampai duluan.

Alhamdulillah, ternyata tidak ada bus yang terpisah, semuanya berada dalam satu kapal menuju Bali. Saya turut bergembira akan hal itu. Di kapal, temanku Amel dan Leista mengajakku untuk pergi ke atas kapal, tadinya saya menolak. Tapi akhirnya saya memutuskan untuk ikut dengan mereka, di atas kapal kami sempat ikut berfoto dengan nakhodanya, kesempatan itu merupakan sebuah pengalaman yang sangat menyenangkan, tidak semua anak bisa melakukan hal ini. Setelah cukup lelah berdiri di atas kapal, kami memutuskan untuk segera mecari tempat duduk di dalam kapal yang ber-AC itu. Tapi keinginan kami itu telah sirna, karena sesampainya kami di sana, semua kursi telah diisi, walau ada beberapa kursi yang tidak ada orangnya, tapi sayangnya mereka meninggalkan barang-barang mereka, menandakan bahwa kursi itu telah ditempati, itu berarti juga melarang kami untuk duduk di kursi tersebut. Begitulah tingkah laku setiap orang yang egois, mereka tidak memperhatikan ada teman mereka lainnya yang juga butuh tempat duduk untuk menghilangkan rasa lelah mereka. Lagipula bukankah mereka sudah beristirahat cukup lama, dan juga nyatanya banyak kursi yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Tapi kami akan merasa tidak enak kalau menduduki kursi tersebut dan kemudian pemiliknya datang, mau berkata apa kita. Kami cuma ingin melepas lelah. Daripada pusing memikirkan hal itu dan nantinya juga akan membuat kami semakin lelah, kami memutuskan untuk beristirahat di lesehan depan mushola. Kebetulan penumpang lain yang sedang beristirahat di sana mempersilakan kami. Dengan senang hati kami menerimanya. Walau tidak ber-AC, tapi kami cukup senang, sudah bisa melepas lelah dengan tenang tanpa harus khawatir pemiliknya akan datang.

Sudah pukul sembilan malam lebih tapi kami belum juga mendapatkan makan malam, padahal perutku sudah keroncongan. Seharusnya kami sudah makan malam pukul tujuh malam sesuai dengan rundown yang ada. Tadinya saya tidak ingin membeli pop mie di sana yang harganya menjadi lebih dua kali lipat dibandingkan dengan biasanya. Tapi karena saya merasa begitu lapar, dan saya juga berprinsip bahwa kesehatan itu lebih penting, jadi saya memutuskan untuk membelinya. Daripada nanti saya masuk angin akibat perut kosong. Padahal juga tidak akan lama lagi kami mendarat. Saya sangat tidak bisa menahan rasa lapar tersebut. Dan ternyata benar, belum sampai habis pop mie tersebut, kapalnya sudah mendarat. Di dalam bus, saya masih memegang pop mie tersebut. Akhirnya kenyang juga. Tidak begitu lama, sekitar pukul 23.00 kami tiba di Central Park di Bali untuk makan malam, kami tidak langsung menuju hotel. Saya sudah kenyang, jadi saya hanya mengambil sedikit nasi. Saya benar-benar tidak nafsu makan, bahkan dengan porsi yang sedikit itu saja saya tidak habis, entah kenapa saya benar-benar tidak mood makan malam kali ini.

Akhirnya selesai juga acara makan malam kali ini, saya sudah tidak sabar untuk segera beristirahat di dalam hotel. Karena waktu juga sudah larut malam, saya pun tertidur selama di perjalanan. Tanpa terasa saya sudah tiba di hotel. Saya lihat semua juga sudah ingin segera beristirahat. Bukankah seharusnya tour leader-nya memberitahu nomor kamar kami. Tapi kata Fitri dia sudah memberitahukannya selama saya tidur di dalam bus, kenapa tidak ada yang memberitahu saya. Kami juga khususnya yang perempuan tidak juga diizinkan untuk segera turun dari bus oleh tour leader-nya. Tetapi kenapa teman kami yang perempuan yang berbeda bus dengan kami sudah boleh turun dari bus. Ada apa sebenarnya? Bu Endang juga tidak tahu, tapi beliau menyuruh kami untuk tetap berada di dalam bus. Karena kita harus menaati setiap yang diperintahkan oleh tour leader-nya. Mengingat akan yang telah diceritakan sebelumnya. Jadi, suatu hari ada seorang yang sudah diperingatkan untuk tidak buang air kecil sembarangan, peringatan itu sebenarnya bukan hal sepele, tetapi ia tetap melakukannya. Hingga ia pulang sampai di rumahnya, keesokan harinya ia meninggal, karena suatu hal yang aneh.

Keadaan benar-benar simpang siur, beberapa temanku nekat untuk segera turun, sedang beberapa yang lainnya tetap di dalam bus mematuhi apa yang disuruh oleh tour leader. Termasuk saya yang ada di dalamnya. Kami yang di dalam semakin tidak sabar, waktu sudah larut malam, tapi belum juga segera disuruh turun. Akhirnya tour leader kami datang juga. Dan menyuruh kami turun. Tadinya kami mau dibawa ke depan kamar-kamar anak perempuan yang letaknya diseberang, tetapi akhirnya, kami turun juga dan menyeberang sendiri. Saya dari tadi belum tahu nomor kamarnya. Akhirnya saya menghubungi teman sekamar saya, dan dia bilang nomor kamar kami adalah nomor lima. Teman sekamarku sudah berada di sana. Bukankah itu nomor kamar anak laki-laki. Saya masih belum percaya. Mungkin mereka salah ucap. Akhirnya saya menanyakan kebenaran tersebut kepada Pak Maryono, tapi beliau malah menyuruh saya untuk menanyakan hal itu kepada teman sekamar saya yang lain. Padahal saya sudah menanyakan akan hal itu sebelumnya, saya hanya ingin memastikan. Kemudian saya bilang kepadanya, apa benar kamar saya adalah nomor lima. Kamar yang khusus disediakan untuk anak laki-laki? Bukankah kamar untuk anak perempuan ada di seberang? Ada apa ini? Saya tidak ingin berada di wilayah kamar anak laki-laki. Sungguh tidak adil kalau benar begitu. Saya rasanya mau menangis. Dari tadi yang saya inginkan adalah istirahat. Saya sudah sangat lelah hari ini. Teman-temanku yang lain sudah masuk kamar, saya belum, saya masih berada di depan lobi bersama dengan guru-guru. Saya sudah beberapa kali menanyakan hal tersebut kepada guru-guru. Tapi mereka juga bingung. Akhirnya pelayan hotel mengantarkan saya ke kamar nomor lima, bersama dengan teman-teman sekamarku. Sampai di sana, mereka juga terlihat bersedih, mereka juga merasa tidak adil. Biasanya teman-temanku sudah merapikan barang-barang dan segera mandi. Tapi mereka terlihat masih berdiam duduk di atas tempat tidur dan dengan koper disampingnya. Mereka mengatakan kepadaku bahwa sesekali mereka melihat tikus keluar dari lemari, AC-nya pun tidak nyala, kamarnya sempit, sungguh berbeda dengan hotel yang ada di Lombok. Bagaimana kami bisa istirahat dengan ketidaknyamanan ini. Sementara teman-teman perempuanku yang lain sedang asik istirahat di kamar seberang, di kamar khusus untuk perempuan. Amel menyarankan agar kami menerima apa yang sudah diberikan, tapi tampaknya Resti tidak mau menerima kenyataan ini. Dia terus berjuang agar bisa mendapatkan kamar yang layak, sama seperti teman perempuan kami yang lainnya. Dia menghubungi Bu Ai, dia meminta akan keadilan. Dan akhirnya pun kami baru pindah. Sebenarnya ada satu kelompok pula yang bernasib sama seperti kami. Tapi mereka sudah diberi kamar yang baru semenjak mereka tahu kalau mereka juga tidak diberi keadilan, sama seperti kami. Mereka bahkan belum sempat ke kamar sebelumnya. Sedangkan kami sudah merasakan, dan tidak begitu nyaman. Sekali lagi ini benar-benar tidak adil. Kami baru bisa istirahat setelah teman-temanku yang lain sudah asik di kamarnya masing-masing.

Segera kami diantar menuju kamar yang baru, terletak dipojok. Kamar yang berbeda dengan yang lain, lebih luas, diapit oleh kamar temanku yang lain. Apa ini sengaja tidak dihuni? Kami merasa bahwa kami akan tinggal di sebuah kamar yang keramat. Kalau tidak begitu, kenapa mesti dilewati, tidak dihuni oleh temanku yang lain. Kamar-kamar sebelumnya sudah dihuni oleh teman-temanku, dan kamar setelahnya pun juga sudah dihuni. Tapi kamar yang ini kenapa dilewati dan dibiarkan kosong tidak berpenghuni? Jika kami memang mendapatkan kamar yang baru, bukankah semestinya kamar yang paling akhir. Tapi ini sungguh aneh. Sekali lagi saya katakan sangat berbeda dengan kamar yang lain. Sampai kapan kami begini? Sudahlah, toh kami disini cuma dua malam. Di dalam sana, kami merasa kurang nyaman dan seperti ada suasana mistis. Sesekali temanku Leista terlihat panik dan keluar dari kamar. Dia merasa takut kalau ada sesuatu yang aneh muncul. Agar kami berempat tenang, kami mencoba duduk melingkar dan berdo’a. agar selama kami di kamar ini, kami dilindungi oleh Allah. Saya mencoba untuk menghilangkan rasa takut itu. Dan segera sholat magrib dan isya, karena dari tadi saya belum sholat. Untuk ke kamar mandi, saya menyuruh ketiga temanku untuk menemaniku, begitu juga yang lain. Saya yang pertama kali sholat, baru disusul oleh kedua temanku Amel dan Resti. Leista masih terdiam, dia terus mengamati keadaan di sekitar. Dia bilang AC-nya terlihat aneh, suhunya tiba-tiba naik dan turun. Amel mencoba untuk menenangkannya, mungkin saja itu reaksi yang baru terjadi setelah sebelumnya ia mengatur suhu tersebut menggunakan remote. Agar kami bisa tidur dengan tenang, kami memutuskan untuk menyalakan televisi sampai pagi. Di sana tersedia empat tempat tidur. Tapi Resti tidak ingin tidur sendiri, akhirnya dia tidur satu tempat tidur denganku. Jadi, tersisa satu tempat tidur yang tidak digunakan.



0 comments:

Post a Comment

If you want to be notified that I've answered your comment, please leave your email address. Your comment will be moderated, it will appear after being approved. Thanks.
(Jika Anda ingin diberitahu bahwa saya telah menjawab komentar Anda, tolong berikan alamat email Anda. Komentar anda akan dimoderasi, akan muncul setelah disetujui. Terima kasih.)