Saturday, December 14, 2013

Catatan OGSO #8

Pada kesempatan kali ini saya akan berbagi catatan mata kuliah Obat Gangguan Otot dan Saraf dengan materi penyakit parkinson. Di kelas, materi ini disampaikan oleh kelompok 6 yang terdiri dari Sri Puji Astuti, Tazkia Khairina Fathin, Titi Afriyanti, Novia Ayu Fajarningrum, Natasya Linsie C. D., dan Muhammad Ikhsan. Di akhir kelompok ini mendapatkan apresiasi dari Ibu Fadlina karena telah menyampaikannya dengan sangat detail dan lengkap.Materi yang disampaikan terkait dengan patofisiolog i, penyebab, dampak, faktor terapi farmakologi, terapi nonfarmakologi, dan perhatian khusus.

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa pada tahun 1817, Dr. James Parkinson mempublikasikan kasus pasien yang mengalami "shaking palsy" (shake artinya gemetar, sementara palsy artinya kelumpuhan). Sejak saat itulah penyakit yang demikian diberi nama penyakit parkinson. 


Penyakit parkinson adalah penyakit gangguan saraf kronis dan bersifat progresif yang menyebabkan gangguan pada sistem motorik yang ditandai dengan gemetar, kekakuan, berkurangnya kecepatan gerakan, dan ekspresi wajah yang kosong.

Terkait dengan epidemoiologinya, kejadian ini meningkat dengan meningkatnya usia. Biasanya dimulai sekitar usia 60 tahun. Prevalensinya sekitar 160 per 100.000 orang per tahun. Untuk penderita yang berusia kurang dari 50 tahun kemungkinan mendapatkannya akibat faktor genentik.

Gejala terkena penyakit parkinson antara lain tremor pada saat istirahat, mengeluarkan air liur, disfagia (kesulitan menelan), rigiditas otot (seperti ekspresi wajah kaku, gerakan putar siku dan pergelangan tangan berkurang), melemahnya gerakan (disebut akinesia ta bradikinesia), dan hilangnya refluks postural (sehingga kehilangan keseimbangan dan kecenderungan untuk membungkuk dan sering jatuh).


Selain gejala yang telah disebutkan di atas yang mana merupakan gejala motorik, terdapat pula gejala non-motoriknya antara lain inkontinensia (tidak dapat menahan buang air kecil, demensia, depresi, disfagia, gangguan tidur, konstipasi, berkeringan, dan sebagainya.

Penyakit parkinson ini diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu parkinsonisme primer/idiopatik/paralysis agitans, parkinsonisme sekunder/simtomatik, dan sindrom paraparkinson (parkinson plus). Parkinsonisme primer merupakan jenis parkinson yang sering dijumpai dalam praktik sehari-hari dan kronis, tetapi penyebabnya belum jelas, kira-kira 7 dari 8 kasus parkinson termasuk ke dalam jenis ini. Sementara parkinsonisme sekunder merupakan jenis parkinson yang dapat disebabkan oleh penyakit lain misalnya pasca terkena virus ensefalitis, tuberkulosis, ataupun sifilis meningovaskuler. Obat-obatan tertentu juga dapat menyebabkan parkinson seperti obat golongan fenotiazin, reserpin, dan tetrabenazin. Dalam hal ini, perdarahan serebral petekial pasca trauma yang berulang pada petinju; infark lakuner (jenis stroke yang dihasilkan dari kematian jaringan dari salah satu arteri penetrasi yang menyediakan darah ke struktur-struktur dalam otak; tumor serebri; hipoparatiroid; dan kalsifikasi juga dapat menyebabkan penyakit parkinson jenis ini. Pada kelompok sindrom paraparkinson ini, gejalanya hanya merupakan sebagian dari gambaran penyakit keseluruhan, jenis ini bisa didapat pada penyakit Wilson (degenerasi hepato-lentikularis), hidrosefalus normotensif, sindrom Shy-drager, degenerasi striatonigral, dan atropi palidal.

Patofisiologi dari penyakit parkinson utamanya adalah akibat adanya degenerasi sel dengan hilangnya neuron dopaminerik yang terpigmentasi di pars compacta substansia nigra (area otak tengah) di otak dan ketidakseimbangan sikuit motor ekstrapiramidal (pengatur gerakan otak). Pada orang normal, neurotransmitter dopamin berkurang 5% per dekade, sementara pada penderita parkinson berkurangnya 45% selama dekade pertama setelah didiagnosis.

Biasanya gejala baru muncul ketika dopamin di striatal sudah berkurang sampai 80%. Degenerasi saraf dopamin pada nigrostriatal menyebabkan peningkatan aktivitas kolinergik sriatal yang menyebabkan efek tremor. Seorang dokter bernama dr. Lewy pada tahun 1912 menemukan bahwa penyakit parkinson terjadi akibat adanya kerusakan pada substantia nigra dan terdapat lewy bodies (eosinofil yang terkurung) di substantia nigra.


Kelainan pada sistem ekstrapiramidal paling sering ditemukan pada penyakit parkinson. Sebagian kasus ini dianggap tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik. Selain itu, penyebab lain penyakit parkinson adlaah seperti yang disebutkan sebelumnya yaitu adanya induksi dari penggunaan obat-obatan tertentu. Obat-obatan seperti fenotiazin, haloperidol, dan jenis butiofenon dapat menghambat reseptor dopamin post-sinaptik. Penyakit ini lebih sering dijumpai apda pasien yang menderita psikiatris yang mungkin menggunakan obat-obatan neuroleptik dosis tinggi untuk jangka waktu yang lama. Penyakit parkinson yang diinduksi oleh obat, biasanya bersifat reversiberl sehingga dapat sembuh ketka penggunaan obatnya dihentikan. Penggunaan obat yang lain contohnya MPTP (1-metil-4-fenil-1,2,3,6-tetrahidropiron) dapat menyebabkan penyakit parkinson dengan merusak neuron dopaminergik secara selektif pada substantia nigra.

Keracunan logam berat (timah, mangan, dan merkuri) serta zat-zat polutan lainnya seperti karbon monoksida, sianida disulfida, pestisida, dan berbisida juga dapat menyebabkan penyakit parkinson ini. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor pemicu penyakit parkinson atnara lain toksin atau racun, kepala terluka atau mengalami trauma akibat kecelakan benturan di kepala, efek samping dari penggunaan obat-obatan yang dikonsumsi dalam jangka waktu yagn lama, serta faktor keturunan.

Mengenai diagnosisnya, pada tahap awal, penyakit ini akan sangat sulit untuk didiagnosis karena simptomnya yang belum jelas terlihat. Pada penderita parkinson yang berusia lanjut, penyakit ini juga sulit didiagnosis karena penuaan juga dapat menyebabkan gejala-gejala yan gsama dengan gejala yang ditimbulkan oleh penyakit parkinson.

Pemeriksaan fisik pasien dapat dilakukan melalui anamnesis dengan wawancara bersama keluarga atau teman pasien. Dokter biasanya akan meminta pasien untuk melakukan beberapa kegiatan seperti berjalan, duduk, dan berputar. Kemudian dilakukan pula tes penciuman. Kurangnya daya penciuman dapat dihubungkan dengan kurangnya dopamin di sistem saraf pusat. Pemeriksaan ini dapat membantu dokter membedakan penyakit parkinson dengan penyakit yang lain.

Diagonisnya biasa melihat pada gejala-gejala yang tampak, misalnya pada gejala awal akan terlihat gangguan pada fungsi sensoriknya, selain itu pada gejala lainnya yaitu primer yang mana juga sebelumnya telah dijelaskan biasanya pasien akan mengalami tremor saat istirahat, kekakuan, bradikinesia, dan postur tubuh berubah. Tremor yang terjadi pada saat istirahapt merupakan gejala atau ciri khas pada penderita penyakit parkinson dan sering menjadi keluhan pasien. Tremor akan tampak terutama pada tangan dan kadang-kadang seperti gerakan memelintir pil. Kekakuan otot berkaitan dengan adanya peningkatan resistensi otot terhadap gerakan pasid dan dapat menyerupai putaran roda gigi. Adanya ketidakseimbangan postur tubuh dapat mengakibatkan pasien terjatuh. Karakteristik lain yang dapat diperlihatkan antara lain mikrografia (tulisan tangan yang kecil), hipomimia (hilangnya ekspresi wajah atau mimik muka berkurang), kesulitan dalam melangkah, dan ketrampilan tangan berkurang. Berhubung terjadi gangguan pada sistem sarafnya, namun adanya gangguan pada intelektualitasnya tidak nyata, meskipun demikian beberapa pasien menunjukkan gangguan yang sifatnya tidak dapat dibedakan dari penyakit Alzheimer. Manifestasi yang lebih lengkap dapat dilihat pada gambar berikut.


Algoritma terapi pada tahap awal dapat dilihat pada gambar berikut dan penjelasannya terdapat di bagian berikutnya.


Pada tahap awal, pengobatan dapat digunakan dengan atau tanpa obat. Tanpa obat dapat dilakukan dengan melakukan aktivitas pendukung seperti latihan gerak, mengikuti kegiatan penyuluhan, dan memperhatikan gizi. Sementara dengan obat, jika berusia kurang dari 60 tahun dengan fungsi kognitif yang utuh maka dapat mempertimbangkan Selegilin, jika fungsi kognitifnya masih terganggu maka dapat digunakan karbidopa/L-Dopa atau agonis dopa, kemudian jika mengalami tremor yang sangat menonjol maka dapat digunakan Amantadin atau Antikolinergik. Jika fungsi kognitif tidak utuh maka perlu melihat apakah fungsinya terganggu atau tidak, jika fungsinya mengalami gangguan maka dapat digunakan Karbidopa/L-Dopa secara inservatif. Kembali pada bagan yang atas, algoritme terapi untuk yang berusia lebih dari 60 tahun, perlu juga diketahui apakah fungsi kognitifnya utuh atau tidak. Jika utuh, maka dapat dipertimbangkan penggunaan Selegilin, dan terkait dengan hal itu, apakah fungsinya terganggu atau tidak, jika iya, sedikit berbeda dengan yang usia kurang dari 60 tahun, obat yang dapat dipertimbangkan hanya Karbidopa/L-Dopa, Amantadin, dan Agonis Dopamin saja, jadi tidak dapat menggunakan Antikolinergik.

Pada tahap lanjutannya, dapat dilihat pada gambar di bawah ini.


Jika penyakit berlanjut, evaluasi dapat dilakukan secara menyeluruh meliputi evaluasi fisik, pekerjaan, terapi, dan bicara. Jika masih menggunakan obat golongan Agonis Dopamin, maka perlu ditingkatkan dosisnya, jika tidak berhasil kemudian ditambahkan Karbidopa/L-dopa. Jika tidak mempan juga dapat ditingkatkan dosis dan atau frekuensinya. Dalam hal ini, jika masih tidak ada perkembangan, dapat dipertimbangkan beberapa hal berikut, yaitu dengan menggantinya dnegan Karbidopa/L-dopa CR dan/atau ditambahkan Seleginin dan/atau ditambahkan penghambat COMT dan/atau ditambahkan Amantadin dan/atau mempertimbangkan untuk dioperasi. Sementara jika masih menggunakan Karbidopa/L-dopa, jika tidak berhasil, dapat diganti dengan Karbidopa/L-dopa CR dan/atau ditambahkan Seleginin dan/atau ditambahkan penghambat COMT dan/atau ditambahkan obat golongan Agonis Dopamin, ditambahkan Amantadin dan/atau dipertimbangkan untuk dioperasi. Dengan demikian, obatan-obatan yang biasa digunakan dalam terapi farmakologi antara lain Karbidopa/Levodopa (L-dopa), obat golongan antikolinergik, Amantadin, penghambat COMT, dan obat golongan Agonis Dopamin. Selain itu ada juga obat golongan Monoamin Oksidase B Inhibitor yang sebelumnya belum disebutkan dalam algoritme terapi tetapi ada peranannya dalam hal ini.

Levodopa, merupakan obat pada terapi parkinson yang paling efektif, namun memiliki dampak lanjut berupa fluktuasi motorik pada hampir sebagian penderita. Levodopa ini efektif, salah satunya karena dapat menembus sawar darah otak atau disebut blood brain barrier (BBB). Di dalam otak, senyawa ini akan diubah menjadi dopamin setelah mengalami metabolisme melalui reaksi dekarboksilasi. Berhubung adanya perubahan menjadi dopamin ini maka mekanisme kerja dari levodopa adalah berupa pengisian kekurangan dopamin pada korpus striatum sehingga jumlah neurotransmitter dopaminnya dapat bertambah. Perlu diketahui bahwa Levodopa ini diindikasikannya untuk penyakit parkinson yang jenisnya bukan disebabkan oleh obat. Terdapat kontraindikasi apabila pasien menderita narrow-angle glaucoma, melanoma, dan penggunaan obat MAO inhibitor. Terdapat efek samping pada penggunaan obat ini, pada sistem cerna, 80% pasien akan merasakan mual, muntah, tidak nafsu makan akibat adanya perangsangan CTZ (Chemoreceptor Trigger Zone) oleh dopamin yang mana efek samping ini dapat diatasi dengan penggunaan Domperidon. Efek samping yang lain terkait dengan adanya pembekuan gerakan, tidak bisa melangkah atau langkahnya pendek sekali. Efek samping yang lainnya lagi bisa berupa diskinesia dan gerakan spontan abnormal, perpendekan masa kerja Levodopa, fenomena pasang surut (on/off), efek samping pada sistem kardiovaskular (Levodopa dapat menyebabkan hipotensi ortostatik, takikardi, dan aritmia serta peningaktan kontraktilitas jantung yang mana dalam hal ini dapat diatasi dengan penggunaan propanolol), dan pengaruhnya terhadap efek metabolik dan endokrin (penggunaan Levodopa dan dopaminergik dapat menghambat sekresi prolaktin). Berikut merupakan mekanisme yang menggambarkan adanya perubahan levodopa menjadi dopamin dengan adanya enzim L-AAD (L-Aromatic Amine Decarboxylase).


Penjelasannya adalah sebagai berikut, sebelum adanya tambahan levodopa dari luar (asupan obat), levodopa pada keadaan normalnya sudah ada, adanya levodopa terjadi ketika di neuron presinaptik terjadi perubahan senyawa fenilalanin yang masuk ke ujung saraf menjadi L-tirosin dan selanjutnya diubah menjadi Levodopa yang berdasarkan hal inilah ketika terjadi kekurangan produksi dopamin, levodopa secara langsung dapat diperoleh dari luar (eksogen menggunakan obat) sehingga kebutuhan dopaminnya terpenuhi yang mana Levodopa akan segera diubah menjadi dopamin dengan bantuan L-AAD yang telah disebutkan sebelumnya.

Sebagai salah satu neurotransmitter, dopamin dilepas dari ujung saraf dan akan berinteraksi dengan reseptor dopamin (D1, D2, dan D3). Dopamin yang dilepas dari ujung saraf dapat ditarik kembali (reuptake) melalui adanya transporter dopamin (DAT). Dopamin kemudian juga dapat dimetabolisme melalui jalur MAO (Monoamin Oksidase) B oleh aldehid dehidrogenase menjadi DOPAC (asam 3,4-dihidroksifenilasetat). DOPAC kemudian diubah lebih lanjut menjadi HVA (asam homovanilat). Bentuk levodopa dapat dimetabolisme dalam jalur metabolisme COMT (katekol-O-metil transferase) melalui 3)MD (3-O-Metildopa). Hal inilah yang menyebabkan kadar dopamin dapat rendah meski sudah diberi prekursor levodopa.

Untuk informasi saja, berdasarkan suatu penelitian, sebaiknya pemberian kombinasi karbidopa/levodopa diberikan dalam bentuk sediaan lepas lambat.

Karbidopa berbeda dengan levodopa. Karbidopa bekerja dengan cara menghambat enzim L-AAD. Levodopa dapat dikombinasi dengan Karbidopa untuk mengurangi efek samping seperti mual, muntah, aritmia kardiak, dan hipotensi postural.

Obat golongan Agonis Dopamin berinteraksi secara spesifik terhadap reseptor baik reseptor D1 atau D2 dengan memberikan efek yang searah dengan dopamin. Beberapa agonis yang dapat digunakan antara lain: (1) agonis selektif reseptor D2 yaitu Bromokriptin dan (2) agonis reseptor D1 dan D2 yaitu Apomorfin. Penggunaan kombinasi levodopa dengan agonis dopamin dpat menurunkan risiko terjadinya fluktuasi respon. Obat-obatan tertentu seperti pergolida, pramipeksol, dan ropinirol lebih efektif digunakan sebagai terapi tunggal, tetapi dalam hal ini hanya pramipeksol dan ropinirol yang diizinkan digunakan sebagai terapi tunggal.

Amantadin, merupakan obat yang dapat meningkatkan pelepasan dopamin dan memblok reseptor muskarinik atau aktivitas kolinergik di korpus striatum. Amantadin dapat menekan levodopa dan menginduksi diskinesia pada dosis di atasu 400 mg per hari. Dibandingkan dengan levodopa, efektifitasnya lebih kecil tetapi bekerjanya lebih cepat yaitu 2-5 hari.

Antikolinergik digunakan sebagai penghambat asetilkolin. Obat golongan antikolinergik ini dapat memacu perubahan pikiran dan menghasilkan serostomia (mulut kering) dan masalah visual. Contoh obat yang termasuk ke dalam golongan ini antara lain benzotropin, triheksilfenidil, dan biperidin.

Obat golongan MAO B Inhibitor, contohnya Selegilin (Deprenil) secara selektif dapat menghambat MAO B secara irreversibel tetapi tidak menghambat MAO A yang memetabolisme norepinefrin dan serotonin sehingga bermanfaat dalam menurunkan metabolisme dopamin. Jika Selegilin diberikan pada dosis yang tinggi, selektivitas obat hilang dan pasien dalam keadaan bahaya untuk hipertensi hebat.

Penghambat COMT digunakan sebagai terapi tambahan, contohnya adalah Tolkapon dan Entakapon.

Terapi nonfarmakologinya bertujuan untuk meningkatkan kemandirian, aktivitas harian, dan mengurangi efek samping obat. Selain terapi farmakologi dan nonfarmakologi, pada pasien parkinson ini juga dapat dilakukan penyembuhan yang mana tingkat kesembuhannya 70-80%.

Mengenai terapi nonfarmakologinya dapat dilakukan modifikasi nutrisi, terapi bicara, kegiatan olahraga, terapi occupational, dan melakukan interaksi sosial.

Dengan memodifikasi nutrisi dapat mengurangi efek samping obat seperti mual, muntah, konstipasi, dan kekurangan berat badan. Caranya adalah dengan mengkonsumsi gizi seimbang dan banyak serat (untuk mencegah konstipasi), mengkonsumsi makanan lunak, multivitamin, dan makanan berkalori tinggi protein dan lemak (untuk mencegah kehilangan berat badan).

Terapi bicara bertujuan untuk mengurangi risiko aspirasi (masuknya zat padat atau sekresi saluran gastroesophagus ke dalam saluran trakeobronkial) dan untuk meningkatkan kemampuan berbicara. Caranya dengan latihan menelan, latihan artikulasi, dan memaksa bicara.

Kegiatan olahraga dilakukan dengan meningkatkan aktivitas siang hari dan tidur nyenyak di malam hari, kemudian mempertahankan rutinitas harian, berlatih fisik seperti peregangan, strengthening, balance training (untuk memperbaiki gerakan dan mencegah risiko jatuh), dapat juga dilakukan latihan fitnes kario, dan senam parkinson.

Terapi occupational bertujuan untuk meningkatkan rasa percaya diri dan keyakikan bisa mandiri, caranya dengan memberikan peraltan adaptif yang aman dan bisa dilakukan setiap hari seperti menggunakan pakaian berkancing, mengikat tali, dan menggunakan kursi roda, lalu bisa juga dengan latihan menulis, serta menggunakan program khusus komputer.

Melakukan interaksi sosial penting agaar dapat mencegah konflik dan mendapatkankan dukungan serta semangat dari keluarga, teman, dan orang-orang di sekitar.

Demikian yang dapat saya sampaikan. Mohon maaf apabila terdapat penjelasan yang masih kurang jelas. Sepertinya terlalu banyak kekurangan, setidaknya masih dapat bermanfaat. Silakan merujuk pada literatur yang reliabel, manfaatkan catatan ini hanya untuk sekedar meningkatkan pemahaman. Terima kasih banyak sudah berkunjung :)

0 comments:

Post a Comment

If you want to be notified that I've answered your comment, please leave your email address. Your comment will be moderated, it will appear after being approved. Thanks.
(Jika Anda ingin diberitahu bahwa saya telah menjawab komentar Anda, tolong berikan alamat email Anda. Komentar anda akan dimoderasi, akan muncul setelah disetujui. Terima kasih.)