Saturday, September 26, 2015

Catatan Rancangan dan Pengembangan Formula #1

Sumber Gambar: www.pacificfertilitycenter.com

Mata kuliah RPF ini, diajari oleh Bu Silvi dan Pak Sutriyo, namun pada catatan ini, saya akan menuliskan apa saja yang saya catat ketika kelas yang berlangsung adalah ketika Pak Sutriyo yang mengajar. Kata beliau, pada dasarnya, sebagian besar materi telah dipelajari di S1, di program profesi ini, beliau diminta untuk memastikan dan menjelaskan bagaiamana caranya mencapai kompetensi-kompetensi apoteker yang telah ditentukan oleh IAI terkait sains dan teknologi. Selain itu, pada pertemuan pertama ini, dilanjutkan dengan membahas studi praformulasi.

Mengenai kompetensi ini, apoteker harus mampu memformulasikan sediaan farmasi sesuai standar yang berlaku mulai dari persiapan pembuatan obat (standar formulasi, jaminan mutu, ketersediaan peralatan, dan penilaian ulang formulasi) hingga membuat formulasi (mempertimbangkan persyaratan untuk memenuhi spesifikasi yang ada dalam farmakope, persiapan dan menjaga dokumentasi obat "melakukan yang ditulis dan menulis apa yang dilakukan", pencampuran zat aktif dengan zat tambahan, menerapkan prinsip teknik pembuatan steril dan non steril, pengemasan, serta pengawasan mutu).

Di industri, seorang apoteker paling tidak berkarir di bidang RnD (research and development), formulasi, serta regulatori. Di samping itu juga tentu dapat berkarir di 3 posisi kunci yang bahkan telah dilindungi peraturan pemerintah no.51 tahun 2009 yaitu kepala bagian produksi, pengawasan mutu (QC), dan pemastian mutu (QA). 

Pada pengembangan produk, kompetensi yang dituntut antara lain:
  1. Formulasi. Apoteker dapat membuat sediaan obat jadi yang aman, berefikasi, bermanfaat, bermutu, stabil dan efektif.
  2. Pharmaceutical technology. Mampu mengaplikasikan formula pada fasilitas produksi serta transfer energi, tidak hanya memiliki formula tetapi tidakdapat mengaplikasikannya.
  3. Packaging  material development. Mampu mendesain dan menentukan kemasan yang sesuai dengan fungsi kemasan utama yaitu sebagai protektif.
  4. Data registrasi. Mampu melakukan registrasi dan menyiapkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan.
Selain itu, apoteker juga dituntut untuk dapat memanajemen bahan terkait dengan:
  1. Pengadaan. Ketika PKPA, mahasiswa harus benar-benar memanfaatkan waktunya untuk mempelajari seluruh aktivitas berkaitan dengan  pengadaan, bagaimana melakukan pengadaan yang sesuai agar tidak pernah kosong dan bagaimana caranya agar bahan-bahan tidak menumpul. Hal ini kaitannya dengan persoalan tempat dan investasi.
  2. Gudang. Mampu mengetahui proses mulai dari penerimaan, penyimpanan, dan pengeluaran serta cara bagaimana menjaga keamanan dan kuantitas.
  3. PPIC. Terkait dengan perencanaan bahan baku, produksi, monitor jadwal poduksi. Misalnya pada bulan ke berapa berencana untuk produksi, dan mengenai ini harus direncanakan pengadaan bahan bakunya jauh-jauh hari. Ini merupakan hal yang tidak mudah karena biasanya memakan waktu lama dan harus dipastikan memenuhi spesifikasi.
Sementara terkait manajemen mutu, berikut kompotensi yang harus dimiliki:
  1. Mampu menyusun memodifikasi, menggunakan metode analisis untuk pemeriksaan semua bahan (bahan baku, bahan pengemas, produk antara, dan produk jadi), serta ruahan. Terkait dengan bahan pengemas yang digunakan, alat ujinya masih terbatas misalnya uji kualitas alumunium foil. Masih terkait ini, produk antara adalah produk yang masih memerlukan beberapa langkah dalam produksi untuk mejadi produk jadi, sementara produk ruahan merupakan produk yang tinggal 1 langkah lagi untuk menjadi produk jadi, yaitu pengemasan.
  2. Mampu melakukan studi stabilitas. Hal ini suda ada formatnya, misalnya untuk negara ASEAN, uji stabilitas dipercepat, dilakukan selama 6 bulan, sampling dilakukan minimal 3 kali, dan sebagainya. Lalu terkait pengujian apa saja yang harus dilakukan untuk sediaan farmasi tertentu, misalnya tablat, semua evaluasi harus dilakukan seperti keragaman bobot, keseragaman kandungan, kekerasan, keregasan, karena hal ini juga terkait dengan stabilitas kaitannya dengan pada proses penyimpanan, dapat mengalami perubahan. Hal ini juga tidak jauh dari definisi stabil, yaitu dikatakan stabil apabila mutunya tidak berubah atau dapat mempertahankan mutunya. Jadi, yang diuji adalah seluruh karakteristik mutunya. 
  3. Mampu menyelidiki kegagalan, penyimpangan bets, prosedur pengolahan, dan pengemasan ulang.
  4. Memahami rancang bangun fasilitas dan sertifikasi CPOB.
  5. Mampu menangani keluhan, obat kembalian, dan penarikan obat jadi. di ISO ada caranya bagaimana menangani keluhan. Misalnya dilakukan simulasi, berapa lama harus melakukan penarikan obat jadi sehingga kalau ada masalah terkait ini,sudah tahu bagaimana menanganinya. 
  6. Mampu melakukan penilaian pemasok. Misalnya membeli bahan baku, tidak hanya sekedar menganalisis spesifikasi bahan, tetapi juga menilai pemasok, semacam audit pemasok. Sedapat mungkin menghindari pemasok yang melakukan packing ulang, karena kegiatan tersebut dapat meningkatkan risiko kontaminasi.
  7. Mampu melakukan kalibrasi, kualifikasi, dan validasi. Kalibrasi bisa dilakukan secara internal (lebih murah) atau eksternal. Kalau internal, harus ada personil dalam pabrik yang mampu melakukannya, misalnya karena telah mengikuti pelatihan.
  8. Mampu mengendalikan perubahan.
  9. Mampu melakukan dokumentasi.
Kompetensi terkait manajemen produk antara lain:
  1. Melakukan formulasi desain.
  2. Mengenai material, mampu menangani bahan.
  3. Terkait processing, mampu membuat sesuai jumlah dan spesifikasi, misalnya kalau produksi 1 juta, ya harus 1 juta jangan sampai loss atau kurang, loss itu maksimal 5% dari yang ditentukan. Ketika PKPA, banyak kesalahan dari industri terkait dengan loss yaitu mengenai jumlah yang diproduksi tidak sesuai dengan yang ditetapkan. Dosen bertanya, "Susut itu biasanya kan negatif ya, artinya terjadi kekurangan. Apakah susut bisa positif?" Kalau produknya liquid hal tersebut mungkin terjadi. Loss yang positif juga tidak bagus. 
  4. Mampu mempertimbangkan terkait etis (environment, health, safety).
Apoteker juga harus memiliki kompetensi seputar regulasi seperti bagaimana melakukan regulsi, seperti apa prosesnya, bagaimana caranya mendapatkan sertifikasi, informasi apa saja yang harus ada pada produk, bagaimana memohon izin edar, serta bagaimana pelaporan hasil uji klinik.

Pada program profesi, seluruh kompetensi tersebut harus dapat tercapai. Kesempatan yang paling mungkin mencapainya adalah pada saat PKPA, jadi mahasiswa harus benar-benar memanfaatkan kesempatan tersebut untuk belajar.

Sampai di situ pembahasan mengenai kompetensi yang harus dicapai apoteker mengenai sains dan teknologi. Selanjutnya yang  dibahas adalah mengenai perancangan dan pengembangan formula terkait dengan studi praformulasinya. Tentunya, sebelum formulasi, harus ada pengkajian, atau studi literatur dulu terhadap seluruh hal yang ada pada kegiatan formulasi termasuk bahan-bahan yang digunakan.

Studi praformulasi bertujuan untuk membuat sediaan yang stabil, efektif, dan aman. Untuk mengetahui stabil atau tidak harus mengetahui sifat-sifat dari bahan baku yang digunakan. Jadi kalau saat proses tidak stabil, akan mengetahui apa yang harus dilakukan. Praformulasi merupakan cabang pharmaceutical science yang menggunakan prinsip biofarmasetik, berupa tahap pengembangan dan mempertimbangkan sifat fisikokimia, serta fase penelitian dan pengembangan obat yang  stabil, efektif, dan aman.

Terkait dengan mengatasi masalah saat proses, apabila kita sudah melakukan identifikasi sebelumnya saat praformulasi, maka sekitar 50% kita sudah mampu mengatasi masalah saat proses tersebut. Misalnya, bagaimana cara mengatasi obat yang tidak stabil terhadap hidrolisis? Kalau kita sudah mengumpulkan banyak data mengenai bahan-bahan itu, maka kemungkinan kita bisa mengatasinya. Jika informasi tidak dapat diperoleh dari literatur, artinya harus melakukan penelitian.

Ada beberapa tahapan pada studi praformulasi, antara lain:
  1. Menentukan sifat fisikokimia dari zat aktif.
  2. Melakukan studi secara makroskopis dan mikroskopis. terkait ini, suatu bahan padat itu bisa berbentuk amorf atau kristal. Apabila bentuknya kristal, ada banyak lagi macamnya. Bentuk inilah yang harus diidentfikasi. Nantinya akan bermanfaat saat poduksi, yaitu terkait dengan laju alir, beda bentuk akan beda laju alirnya. 
  3. Melakukan studi bentuk polimorfisme. Polimorfisme juga mempengaruhi hasil. Polimorfisme artinya suatu zat bisa berada dalam berbagai bentuk lebih dari satu bentuk kristal. Contohnya kloramfenikol, tersedia dalam tiga bentuk, masing-masing bentuk memiliki sifat solubilitas yang berbeda. Ada juga akibat polimorfisme yang mempengaruhi efikasinya juga. Mengenai ini, ada kaitannya dengan kompetensi apoteker, seorang apoteker harus mampu mengendalikan bagaimana menangani suatu bahan yang mengalami perubahan bentuknya. 
  4. Mengidentifikasi bentuk hidrat dan solvat. Bentuk hidrat merupakan bentuk yang paling umum, definisi dari hidrat artinya suatu molekul air terjerap dalam bahan tersebut, jumlahnya sesuai dengan stoikiometri. Sementara kalau solvat, yang terjebak adalah pelarut non air. Jadi harus tercatat pelarut apa yang terakhir digunakan, karena ada kemungkinan solvatasi. 
  5. Menganalisis solubilitas, pKa, dan partisi. Hal ini penting terkait dengan pencapaian efek terapetiknya.
  6. Uji stabilitas. Oleh karena  itu, perlu dipilih zat dalam bentuk yang paling stabil. Selanjutnya jika sudah bagus, dilanjutkan dengan membuat laporan dan desain formula zat aktif.
Jadi, kalau tidak melakukan serangkaian tahapan di atas, akan sulit memperoleh sediaan yang stabil, aman, dan efektif.
 
Kalau pada sediaan steril yang sebagaian besar berupa sediaan liquid, stabilitasnya tentu lebih rendah dibandingkan sediaan padat. Hal ini terkait dengan wujud zat. Pada sedian liquid, jarak antar partikel agak renggang dibandingkan zat padat, sehingga memungkinkan adanya gerakan acak. Jika dikaitkan dengan reaksi kimia maka tumbukkan yang terjadi dapat menghasilkan reaksi kimia dan mengancam stabilitas. Jadi, pada sediaan liquid, uji stabilitas menjadi sangat penting. 

Masih terkait produk steril, harus diketahui stabilitasnya terhadap panas, berhubung salah satu metode sterilisasi yaitu dengan cara panas sehingga dengan mengetahui hal itu, bisa dipilih metode sterilisasi mana yang lebih tepat.

Pada penyusunan formula, selain stabilitas, inkompatibilitas terhadap eksipien juga harus diperhatikan. Jika inkompatibel, maka eksipien tersebut jangan digunakan. Jadi, sebenarnya formula paling baik itu adalah yang  paling simpel komposisinya karena semakin banyak akan semakin besar kemungkinan adanya inkompatibilitas. Apalagi, semakin kompleks akan semakin sulit pula analisisnya. 

Selain itu, cost effective juga harus dipertimbangkan. Misalnya tidak mengapa harga bahan baku mahal, lalu untuk menekan biaya tersebut diimbangi dengan biaya peralatan serta proses yang lebih murah. 

Demikian yang saya catat pada pertemuan pertama mata kuliah ini. Kesalahan dalam penulisan maupun penjelasan bisa terjadi, jadi saya mengharapkan untuk menggali informasi lebih lanjut dari literatur yang lebih tepat. Saya mohon maaf jika ada kesalahan. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung ^^

0 comments:

Post a Comment

If you want to be notified that I've answered your comment, please leave your email address. Your comment will be moderated, it will appear after being approved. Thanks.
(Jika Anda ingin diberitahu bahwa saya telah menjawab komentar Anda, tolong berikan alamat email Anda. Komentar anda akan dimoderasi, akan muncul setelah disetujui. Terima kasih.)