Sunday, November 29, 2015

Iseng: Diagnosis Mental Ala Vonvon


"Pasien memiliki karakter yang sangat disukai tapi memiliki masalah romantisme yang sangat parah. Membutuhkan pelatihan khusus."

Entah ini aplikasi tahu dari mana karakteristik mental saya. Kira-kira 80% mirip sih. Ya, jangan percaya begitu saja, berhubung ini alat uji cuma butuh nama lengkap, tanggal lahir, dan tanggal uji, maka jelas di luar saya, ada banyak juga orang iseng seperti saya yang hasil diagnosis mentalnya persis sama nilainya. Di luar soal reliabilitas dan validitas 'alat uji' ini. Menarik untuk membahasnya.

Soal semangat, saya diajarkan untuk selalu semangat sejak SMA, oleh teman-teman di sekitar saya. Bisa dikatakan hampir seluruh teman-teman saya tidak pernah lupa untuk saling menyemangati teman lainnya yang disapa, termasuk jika menyapa saya. Energi positifnya begitu terasa bagi saya, saya menjadi bersemangat, sehingga saya sadar bahwa saya pun harus menyalurkan energi positif ini kepada teman saya yang lainnya. Begitu pun selepas SMA, semangat yang saya peroleh sejak SMA masih ada bahkan terus tumbuh dan selalu siap untuk saya salurkan kepada orang lain. Menyemangati orang lain tidak ada ruginya bahkan membuat saya makin bersemangat. Terima kasih teman-teman SMA, kalian mengajarkan budaya positif yang begitu berharga bagi saya. 

Mengenai kesetiaan, mungkin ini berkaitan dengan MBTI saya yang introvert. Sifat introvert ini bisa jadi diturunkan, ayah saya dan kakak-kakak saya juga introvert. Bagi seorang introvert, mengenal orang baru bukanlah hal yang mudah, tetapi sekalinya kenal dan nyaman, untuk menjadi setia bukanlah hal yang perlu dipikir dua kali. Orang introvert seperti saya, akan dengan mudah setia bahkan tanpa diminta. Tetapi tolong, jangan mempermainkan kesetiaan orang macam saya. Saya akan sangat sedih dan sulit melupakannya. Sulit bagi saya untuk memperoleh teman dekat dan semacamnya. Ibarat membuat istana pasir sampai begitu cantik, datang ombak, hancurlah seketika dan butuh perjuangan lagi untuk membuatnya. Terima kasih untuk kalian yang memang tulus dekat dengan saya. 

Soal kontrol atas emosi. Hmmm, entahlah. Saya masih belum mengerti apa yang dimaksud dengan kontrol atas emosi. Apakah orang yang tidak mudah marah? Apakah orang yang selalu sabar? Apakah itu saya? Saya hanya individu yang sedang belajar untuk mengontrol emosi. Sekali dua kali dalam pembelajaran ini seringkali dilanggar, seringkali saya tidak mampu menahan emosi kemudian sadar, hal itu tidak baik dan berusaha ke depannya tidak lagi seperti itu. Mohon maafkan saya kalau saya pernah tidak dapat mengontrol emosi apalagi sampai melukai perasaan seseorang. Namanya manusia, pasti pernah salah. Saya masih belajar, mohon bantuannya. 

Tapi ini bukan berarti saya pemarah, setiap orang pasti pernah marah karena suatu hal. Saya tahu saya benci pemarah sehingga saya menanamkan pada diri saya sendiri untuk tidak boleh mudah menjadi pemarah. Jika saya tidak ingin dimarahi maka saya tidak boleh memarahi orang lain yang artinya saya harus bisa mengontrol emosi saya. Berbicara mengenai hal ini, saya belajar dari sisi mana saja, misalnya saat berada dalam kemacetan yang bisa dikatakan hampir semua orang yang berada pada kondisi itu berpotensi untuk marah. Saya berusaha untuk tidak pernah mengklakson motor saya sebagaimana saya belajar dari pengendara lain yang dengan sabar menunggu dan cukup memahami kondisi sehingga merasa tidak perlu mengklakson. Namun, tetap saja masih ada satu dua pengendara yang tidak bersabar.  Suara klaksonnya membuat polusi suara. Saya juga benci keributan, sama juga jika saya tidak suka dengan keributan maka saya tidak boleh membuat keributan dengan cara menahan diri untuk tidak mengklakson. Ya pada akhirnya, yang lebih bisa menilai apakah saya dapat mengontrol emosi dengan baik atau tidak, adalah orang lain di sekitar saya, bukan saya. 

Konsentrasi 93%. Jelas ini dibutuhkan untuk setiap pelajar, saya pelajar, dan seluruh pelajar di mana pun saya rasa memiliki konsentrasi yang baik. Tanpa konsentrasi, pelajar tidak akan pernah naik tingkat. Tidak hanya pelajar, seorang gamer pun harus berkonsentrasi untuk bisa memenangkan permainannya. Intinya, tiap orang di dunia pasti berkonsentrasi pada satu hal untuk mencapai tujuan tertentu. Mungkin yang membedakannya adalah seberapa banyak seseorang itu menghabiskan waktunya dalam kehidupannya untuk berkonsentrasi. Ketika seseorang berkonsentrasi artinya seseorang itu serius terhadap sesuatu. Entah kehidupan saya yang begitu kaku atau bagaimana, first impression orang baru terhadap saya, bahwa saya adalah orang yang serius. Sesungguhnya ini menjadi salah satu kelemahan saya. Saya tidak bisa membedakan kapan saya boleh tidak serius, saya khawatir ketika tidak serius malah akan menjadi masalah, sehingga terkadang keseriusan saya terbawa ketika berkomunikasi. Tapi kalau sudah dekat dengan saya, saya juga suka bercanda, saya senang bergembira. Ya, begitulah. Kompleks.

Kontrol atas keinginan. Dulu ketika masih anak-anak, saya paling tidak bisa ditolak keinginannya. Pokoknya bapak atau ibu harus memenuhi keinginan saya bagaimana pun caranya. Namun, ketika saya sudah beranjak lebih besar, ketika kelas 4 SD, bapak saya mengajarkan saya untuk memperjuangkan apa yang diinginkan dengan berusaha. Bapak dan ibu saya tidak lagi begitu saja memenuhinya, saya harus melaksanakan sesuatu dengan benar-benar dulu baru bisa memperolehnya. Pelajaran ini begitu berharga, hingga kini saya 'ketagihan' untuk bekerja keras agar bisa mencapai keinginan dan cita-cita saya.

Mengenai empati, 100% itu angka yang sempurna, sebagai seorang introvert, tidak mudah untuk mengekspresikan sikap empati saya terhadap orang lain. Saya tidak mudah memeluk seorang teman yang sedang sedih atau tidak mudah menyatakan rasa duka cita kepada orang lain yang sedang berduka. Saya hanya bisa diam dan berusaha melakukan hal lain di belakang yang sekiranya bisa membantunya. Ini salah satu diagnosis vonvon yang menurut saya, salah perhitungan, ehehe.

Oh, ya,
Romantisme 0%. Jahat sekali mendiagnosis bahwa saya tidak romantis sama sekali. Atau maksudnya tidak ada nilainya ya? "0" atau kosong jadinya. Benar juga sih. Tentunya yang bisa menilai romantisme adalah pasangan sendiri. Berhubung memang belum ada pasangan dan belum pernah punya pasangan *abaikan*, ya siapa juga yang bisa menilai. Biarlah nanti dia di masa depan yang menilai. 

Sampai di romantisme, berakhir pulalah esai singkat diagnosis mental saya ala vonvon. Jangan dijadikan sebagai acuan atau sumber referensi #eh. Jangan percaya kepada saya, nanti musyrik, percaya hanya pada Allah. Kalau penasaran dan iseng (ga ada kerjaan) pengen tau juga seperti apa diagnosis mental Anda ala vonvon, bisa ke sini. Terima kasih sudah berkunjung, sampai jumpaa!
Posted on by Nurul Fajry Maulida | 2 comments

2 comments:

If you want to be notified that I've answered your comment, please leave your email address. Your comment will be moderated, it will appear after being approved. Thanks.
(Jika Anda ingin diberitahu bahwa saya telah menjawab komentar Anda, tolong berikan alamat email Anda. Komentar anda akan dimoderasi, akan muncul setelah disetujui. Terima kasih.)