Sunday, March 20, 2016

Catatan PKPA Pemerintahan #3

[Sumber Gambar: cbw.ge]
Pada catatan ini, saya akan membahas mengenai kedeputian I Badan POM, yaitu Kedeputian Bidang Pengawasan Produk Terapetik (PT) dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Aktif (NAPZA). Penjelasan mengenai kedeputian ini diperoleh dari Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.21.4231 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan, juga perdasarkan SK KBPOM tahun 2001 tersebut yang tidak mengalami perubahan.

Deputi Bidang Pengawasan PT dan NAPZA mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan di bidang pengawasan PT dan NAPZA. Deputi ini terdiri dari:
  1. Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi.
  2. Direktorat Standardisasi PT dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT).
  3. Direktorat Pengawasan Produksi PT dan PKRT.
  4. Direktorat Pengawasan Distribusi PT dan PKRT.
  5. Direktorat Pengawasan NAPZA
  6. Kelompok Jabatan Fungsional.
Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi mempunyai tugas penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang penilaian obat dan produk biologi. Dalam melaksanakan tugasnya, direkotrat ini menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang penilaian obat baru. 
  2. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang penilaian obat copy dan produk biologi.
  3. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang evaluasi produk terapetik penggunaan khusus.
  4. Penyusunan rencana dan program penilaian obat dan produk biologi.
  5. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di bidang penilaian obat dan produk biologi.
  6. Evaluasi dan penyusunan laporan penilaian obat dan produk biologi.
  7. Pelaksanaan tugas lain sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Deputi Bidang Pengawasan PT dan NAPZA.
Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi terdiri dari:
  1. Subdirektorat Penilaian Obat Baru.
  2. Subdirektorat Penilaian Obat Copy dan Produk Biologi.
  3. Subdirektorat Evaluasi Uji Klinik dan PT Penggunaan Khusus.
Di bawah ini adalah gambar struktur organisasi Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi.
[Sumber Gambar: Slide PPT Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi BPOM, 2016]
Subdirektorat Penilaian Obat Baru mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi, dan pelaksanaan penilaian obat baru. Dalam melaksanakan tugasnya, Subdirektorat ini menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyusunan rencana dan program penilaian obat baru.
  2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, sertaa pelaksanaan penilaian Obat Baru Jalur I dan Obat Baru Jalur III.
  3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan penilaian Obat Baru Jalur II.
  4. Evaluasi dan penyusunan laporan penilaian obat baru.
Subdirektorat Penilaian Obat Baru terdiri dari (1) Seksi Penilaian Obat Baru Jalur I dan III, dan (2) Seksi Penilaian Obat Baru Jalur II. 

Subdirektorat Penilaian Obat Copy dan Produk Biologi mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria, prosedur, valuasi serta pelaksanaan penilaian obat copy, produk biologi, dan reevaluasi obat. Dalam melaksanakan tugasnya, subdirektorat ini menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyusunan rencana dan program penilaian obat copy, produk biologi, dan reevaluasi obat.
  2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan penilaian obat copy.
  3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan penilaian produk biologi.
  4. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan reevaluasi obat.
  5. Evaluasi dan penyusunan laporan penilaian obat copy, produk biologi, dan reevaluasi obat.
Subdirektorat Penilaian Obat Copy dan Produk Biologi terdiri dari (1) Seksi Penilaian Obat Copy, (2) Seksi Penilaian Produk Biologi, dan (3) Seksi Reevaluasi Obat.

Subdirektorat Evaluasi Uji Klinik dan Produk Terapetik Penggunaan Khusus mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan evaluasi produk terapetik penggunaan khusus. Dalam melaksanakan tugasnya, subdirektorat ini menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyusunan rencana dan program evaluasi produk terapetik penggunaan khusus.
  2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan evaluasi produk dan uji klinik.
  3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan evaluasi produk terapetik penggunaan khusus.
  4. Evaluasi dan penyusunan laporan evaluasi produk terapetik penggunaan khusus.
  5. Pelaksanaan urusan tata operasional di lingkungan Direktorat.
Subdirektorat Evaluasi Produk Terapetik Penggunaan Khusus terdiri dari (1) Seksi Evaluasi Produk dan Uji Klinik, (2) Seksi Evaluasi Produk Terapetik Penggunaan Khusus, dan (3) Seksi Tata Operasional.

Pengawasan obat dan makanan pada umumnya dilakukan baik pre market maupun post marketPre market artinya sebelum diedarkan, sementara post market artinya setelah diedarkan. Pengawasan pre market meliputi pemastian khasiat, keamanan, mutu (termasuk pemenuhan CPOB) dan kebenaran informasi produk obat yang akan beredar. Sementara pengawasan post market meliputi pemantauan keamanan dari konsistensi jaminan mutu obat yang beredar. Dalam hal ini, Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi berperan dalam pengawasan pre-market, yaitu melalui mekanisme registrasi. Penjelasan mengenai mekanisme registrasi, dapat dibaca melalui Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK 03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat. dan Peraturan Kepala Badan POM RI No. 3 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan POM No. HK.03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011. Mekanisme registrasi ini, juga telah banyak di bahas pada catatan saya di post ini ketika saya mendapat mata kuliah Registrasi.

Keputusan registrasi dari Badan POM dapat berupa persetujuan registrasi atau penolakan registrasi. Persetujuan registrasi dapat berupa pemberitahuan persetujuan (approvable lettter), persetujuan izin edar, persetujuan impor khusus ekspor, persetujuan khusus ekspor, persetujuan perubahan, atau persetujuan notifikasi. Masa berlaku izin edar adalah 5 tahun, kecuali untuk obat berdasarkan perjanjian atau penunjukkan dengan masa kerjasama kurang dari 5 (lima) tahun, jadi masa berlakunya disesuaikan dengan masa berlaku kerjasama pada dokumen perjanjian.

Approvable letter merupakan surat pemberitahuan persetujuan kepada industri farmasi untuk melakukan persiapan pembuatan obat dengan skala komersial atau persiapan pelaksanaan importasi obat sebelum diterbitkan persetujuan izin edar. Adanya approvable letter ini dilatar belakangi oleh hasil penilaian in-situ memberikan gambaran terjadi perubahan formula pada tahap eskalasi skala produksi komersial dibandingkan produk skala lab, lalu dokumen pengembangan produk, besar bets, dan formula berbeda, serta adanya carry over registrasi dalam proses evaluasi.

Tujuan adanya approvable letter antara lain:
  1. Menjamin obat yang beredar di pasaran yang diproduksi dengan bahan baku yang berkualitas (tidak substandar) dan tidak berbahaya.
  2. Dokumen yang diserahkan oleh pendaftar saat melakukan registrasi sama dengan dokumen yang diterapkan pendaftar dalam memproduksi obat skala komersial.
  3. Mempercepat evaluasi registrasi obat copy produksi dalam negeri.
Sementara manfaatnya bagi pendaftar antara lain:
  1. Melakukan persiapan produksi obat skala komersial seperti pencetakan kemasan dan lain-lain.
  2. Mengurangi pendaftaran variasi setelah diperolehnya persetujuan izin edar.
  3. Mempersingkat jangka waktu pendaftaran produk.
Approvable leetter bukan sebagai pengganti persetujuan izin edar. Approvable letter ini berlaku 2 tahun sejak surat diterbitkan. Persetujuan izin edar diterbitkan apabila hasil pembuatan obat skala komersial memenuhi persyaratan atau telah menyerahkan bukti importasi obat.

Mengenai evaluasi produk terapetik penggunaan khusus, hal ini didasarkan pada Permenkes No. 1010 Tahun 2008 tentang Registrasi Obat, pada pasal 2 disebutkan:
  1. Obat yang diedarkan di wilayah Indonesia, sebelumnya harus dilakukan registrasi untuk memperoleh Izin Edar.
  2. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk (a) Obat penggunaan khusus atas permintaan dokter, (b) Obat Donasi, (c) Obat untuk Uji Klinik, (d) Obat Sampel untuk Registrasi.
Pengadaan obatnya dilakukan melalui Special Access Scheme (SAS) yang melibatkan 2 institusi yaitu Kementrian Kesehatan dan Badan POM. SAS adalah mekanisme pemasukan obat yang tidak memiliki izin edar namun sangat diperlukan dalam kondisi tertentu ke dalam wilayah Indonesia melalui mekanisme jalur khusus untuk tujuan penelitian, pengembangan produk, dan penggunaan sendiri/pribadi. Dasar hukum SAS adalah:
  1. Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.3.00914 Tahun 2002 Tentang Pemasukan Obat Jalur Khusus.
  2. Peraturan Kepala Badan POM No. 39 Tahun 2013 Tentang "Standar Pelayanan Publik di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan" Anak Lampiran II.15.
Produk yang diurus pada jalur khusus, dibedakan institusi yang mengurusinya. Sejak tahun 2008, yang diurus melalui Kementrian Kesehatan antara lain:
  1. Obat penggunaan khusus untuk keperluan pribadi dengan dokter penanggung jawab.
  2. Obat penggunaan khusus untuk kebutuhan rumah sakit/program.
  3. SAS untuk Donasi (selain vaksin/produk biologi).
  4. Alat kesehatan.
 Sementara yang diurus melalui Badan POM antara lain:
  1. Obat/Bahan Baku Obat (BBO)/Baku Pembanding untuk pengembangan produk (dalam rangka registrasi) atau penelitian.
  2. Obat untuk uji ekivalensi dan uji klinik.
  3. Vaksin/Produk Biologi untuk penggunaan khusus, yaitu untuk keperluan pribadi dengan justifikasi dokter penanggung jawab, atau untuk kebutuhan program/donasi.
Vaksin/Produk Biologi untuk penggunaan terapi khusus adalah vaksin/produk biologi yang dibutuhkan pasien berdasarkan justifikasi ilmiah dokter dalam jumlah terbatas dengan kriteria:
  1. Untuk mengatasi penyakit yang mengancam jiwa atau serius, atau
  2. Produk yang tersedia tidak dapat mengatasi atau mengontrol kondisi pasien secara memadai, atau
  3. Produk tidak tersedia karena produksi/suplai peredaran produk yang sama (sejenis) yang mempunyai izin edar terhenti. 
Dokumen yang dipersyaratkan antara lain:
  1. Justifikasi dokter penanggung jawab untuk produk yang dibutuhkan oleh pasien.
  2. Informasi khasiat dan keamanan produk yang memadai, yang dapat menunjang aspek keamanan penggunaan obat.
  3. Informasi mutu produk yang akan didatangkan.
  4. Informasi jumlah kebutuhan pokok (tidak melebihi 12 bulan penggunaan formal).
  5. Informed consent dari pasien yang membutuhkan.
  6. Informasi status peredaran produk di negara lain.
  7. Invoice.
Mengenai uji klinik, peraturan uji klinik di Indonesia didasarkan pada Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik di Indonesia melalui Keputusan Kepala Badan POM No. 02002/SK/KBPOM/Tahun 2001 Tentang Tata Laksana Uji Klinik yang diadaptasi dari ICH-GCP (E6).
Direktorat Standardisasi Produk Terapetik dan Perbekalan Rumah Tangga mempunyai tugas penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengaturan dan standardisasi produk terapetik dan perbekalan rumah tangga. Dalam melaksanakan tugas, direktorat ini menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyusunan rencana dan program standardisasi PT dan PKRT.
  2. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di bidang standardiasi produk terapetik dan PKRT.
  3. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan teknis dan pembinaan di bidang pengaturan PT dan PKRT.
  4. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan teknis dan pembinaan di bidang standardisasi dan penilaian bioavailabilitas dan bioekivalensi obat.
  5. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan teknis, dan pembinaan di bidang bimbingan industri farmasi.
  6. Evaluasi dan penyusunan laporan di bidang standardisasi PT dan PKRT.
Direktorat Standardisasi PT dan PKRT terdiri dari:
  1. Subdirektorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT.
  2. Subdirektorat Standardisasi dan Penilaian Bio Availabilitas/Bio Equivalensi Obat.
  3. Subdirektorat Bimbingan Industri Farmasi.
Di bawah ini adalah gambar struktur organisasi Direktorat Standardiasi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga.
[Sumber Gambar: Slide PPT Direktorat Standardisasi PT dan PKRT BPOM, 2016]

Subdirektorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengaturan dan standardisasi PT dan PKRT. Dalam melaksanakan tugasnya, subdirektorat ini menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyusunan rencana dan program standardisasi dan pengaturan PT dan PKRT.
  2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan standardisasi PT dan PKRT.
  3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengaturan PT dan PKRT.
  4. Evaluasi dan penyusunan laporan standardisasi dan pengaturan PT dan PKRT.
Subdirektorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT terdiri dari (1) Seksi Standardisasi PT dan PKRT, dan (2) Seksi Pengaturan PT dan PKRT.

Standar atau pedoman yang saat ini sedang disusun antara lain:
  1. Farmakope Indonesia (FI) edisi V/Suplemen FI edisi V.
  2. Standar Obat Non Kompendial (SOB).
  3. Pedoman dan tanya jawab Uji Disolusi.
  4. Standar Pengawasan Mutu Obat (antiTB, antiMalaria, antiretroviral).
Regulasi yang saat ini disusun antara lain:
  1. Surat Keputusan (SK) Tim Pelaksana Penyusunan Suplemen Farmakope Indonesia edisi V.
  2. SK Pembentukkan Komite Sains Farmakope Indonesia.
  3. SK Pembentukkan Forum Komunikasi Tim Ahli.
  4. SK Pembentukkan Panitia Penyusun Suplemen Farmakope Indonesia.
  5. SK Pemberlakukan Suplemen Farmakope Indonesia.
Selain itu juga dilakukan penyusunan dan penyebaran Buletin Informasi Produk Terapetik ke Balai/Balai Besar POM, Rumah Sakit Pemerintah, dan Puskesmas, serta penyusunan kajian Good Pharmaceutical PracticesPharmacope International, dan WHO Technical Report Series.

Dasar hukum disusunnya Farmakope Indonesia adalah Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 105 bahwa "Sediaan Farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat Farmakope Indonesia atau baku standar lainnya". Di bawah ini adalah alur proses penyusunan Farmakope Indonesia.
[Sumber Gambar: Slide PPT Direktorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT BPOM, 2016]
Di bawah ini adalah skema perkembangan Farmakope Indonesia.
[Sumber Gambar: Slide PPT Direktorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT BPOM, 2016]
Pada saat sesi tanya jawab, ada yang bertanya, "Apa saja faktor yang menjadi penyebab lamanya penyusunan Farmakope Indonesia?". Kemudian dijelaskan, "Untuk tahun 1962 sampai 1972, terlihat diperlukan waktu sekitar 10 tahun agar bisa disusun edisi terbarunya, ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya yaitu belum terbentuknya komite penyusun, belum tersedia komputer sehingga penulisan dilakukan secara manual, dan sulitnya mengumpulkan staf ahlinya. Sementara penyebab lamanya penyusunan antara tahun 1995 sampai 2009 adalah karena terjadinya suatu kesalahan dalam penyusunan sehingga harus diketik ulang yang membutuhkan waktu, yang seharusnya  edisi terbaru itu diterbitkan setiap 5 tahun sekali."

Edisi-edisi yang terbaru, akan meliputi monografi hasil revisi dan monografi baru. Monografi hasil revisi, artinya pada edisi sebelumnya, monografi tersebut mengalami perubahan baik pada acuannya maupun pada parameter ujinya. Sementara monografi baru merupakan produk terapetik baru yang dipilih berdasarkan prioritas:
  1. Paling banyak digunakan.
  2. Memiliki risiko untuk dipalsukan/disalahgunakan.
  3. Merupakan produk terdaftar/obat esensial/obat program.
  4. Produk tidak termasuk kriteria di atas tetapi berdasarkan justifikasi ilmiah diperlukan monografinya (misalnya atas permintaan stake holders, universitas, laboratorium, dll).
Subdirektorat Standardisasi dan Penilaian Bio Availabilitas/Bio Equivalensi (BABE) Obat mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedurm serta pelaksanaan standardisasi dan penilaian BABE. Dalam melaksakan tugasnya, subdirektorat ini menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyusunan rencana dan program standardisasi dan penilaian BABE obat.
  2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan standardisasi BABE obat.
  3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan penilaian BABE obat.
  4. Evaluasi dan penyusunan laporan standardisasi BABE obat.
  5. Pelaksanaan urusan tata operasional di lingkungan Direktorat.
Subdirektorat ini terdiri dari (1) Seksi Standardisasi BABE Obat, (2) Seksi Penilaian BABE Obat, dan (3) Seksi Tata Operasional.

Hal-hal yang dilakukan subdirektorat ini antara lain:
  1. Merumuskan/merevisi regulasi terkait Uji BABE, misalnya SK Obat Wajib Uji Ekivalensi atau Tata Laksana Uji bioekivalensi.
  2. Menyusun/merevisi pedoman/standar, seperti pedoman Uji BE, Standar Laboratorium Uji BABE, Buku Tanya Jawab Pedoman Uji BE, atau Metodologi Uji BE Spesifik Zat Aktif.
  3. Melakukan penilaian protokol, dengan memberikan Persetujuan Protokol Uji BE (PPUB).
  4. Melakukan penilaian laporan hasil Uji BABE Obat Copy/generik yang didaftarkan di Indonesia.
  5. Melakukan inspeksi, dengan menilai kemampuan laboratorim BE dalam melakukan uji BE dan verifikasi terhadap penerapan GCP dan GLP. Kemudian menerbitkan surat pengakuan Badan POM terhadap fasilitas laboratorium Uji BE yang memenuhi standar.
  6. Menyiapkan materi harmonisasi BABE ASEAN.
Subdirektorat Bimbingan Industri Farmasi mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria, dan prosedur, serta pelaksanaan bimbingan industri farmasi. Dalam melaksanakan tugasnya, subdirektorat ini menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyusunan rencana dan program bimbingan industri farmasi.
  2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebjakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan bimbingan pengembangan produksi.
  3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijkan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan bimbingan pengembangan ekspor.
  4. Evaluasi dan penyusunan laporan bimbingan industri farmasi.
Subdirektorat ini terdiri dari (1) Seksi Bimbingan Pengembangan Produksi dan (2) Seksi Bimbingan Pengembangan Ekspor.

Hal-hal yang dilakukan subdirektorat ini antara lain:
  1. Pemutakhiran regulasi/pedoman/standar/kriteria/kajian di Bidang Pengawasan PT (Perubahan Penggolongan Obat/PPO).
  2. Pemutakhiran Database Bahan Baku Obat (BBO).
  3. Analisis Klasifikasi Pos Tarif Produk Farmasi dan HS Code Produk Farmasi.
  4. Sosialisasi Kebijakan/Regulasi/Pedoman/Standar/Kriteria/Kajian Bidang Obat ke Stakeholder.
  5. Verifikasi Pelaksanaan Fasilitas Subsidi Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP).
Terkait kegiatan yang pertama, pada tahun 2015 rancangan Permenkes tentang perubahan penggolongan obat yang berisi 11 + 2 zat aktif diajukan perubahan golongannya dan sedang ditindak lanjuti oleh Binfar dan Kemenkes. 

Database Bahan Baku Obat (BBO) perlu disusun untuk skrining kualitas BBO dan supplier, serta sebagai acuan/rekomendasi untuk IF (Industri Farmasi) atau PBF (Pedagang Besar Farmasi) dalam pengadaan importasi BBO yang memenuhi syarat mutu. 

Analisis Klasifikasi Pos Tarif Produk Farmasi dan HS Code Produk Farmasi bertujuan untuk mendukung IF dengan memberikan proteksi, meningkatkan daya kompetitif IF dalam negeri untuk menghadapi globalisasi dan FTA, serta tetap memperluas akses obat dengan mutu yang tinggi dan harga yang terjangkau bagi masyarakat luas. Begitu pula adanya subsisi dari pemerintah terhadap bea masuk juga bertujuan dalam mendukung program pemerintah dalam pengadaan obat yang terjangkau oleh masyarakat luas, utamanya infus. Pada tahun 2015, hanya ada 2 industri farmasi penerima fasilitas BMDTP.

Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik (PT) dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) mempunyai tugas penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi  di bidang pengawasan produksi PT dan PKRT. Dalam melaksanakan tugasnya, direktorat ini menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyusunan rencana dan program pengawasan produksi PT dan PKRT.
  2. Koordinasi kegaiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di bidang pengawasan produksi PT dan PKRT.
  3. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan teknis dan pembinaan di bidang inspeksi dan sertifikasi produksi PT dan PKRT.
  4. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan teknis dan pembinaan di bidang harga obat.
  5. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan teknis dan pembinaan di bidang pengawasan bahan baku obat dan analisis penerapan cara pembuatan obat yang baik.
  6. Evaluasi dan penyusunan laporan di bidang pengawasan produksi PT dan PKRT.
 Direktorat Pengawasan Produksi PT dan PKRT terdiri dari:
  1. Subdirektorat Inspeksi dan Sertifikasi Produksi PT dan PKRT.
  2. Subdirektorat Harga Obat dan Farmakoekonomi.
  3. Subdirektorat Pengawasan Bahan Baku Obat dan Analisis Cara Pembuatan Obat Yang Baik.
Di bawah ini adalah gambar struktur organisasi direktorat ini.

[Sumber Gambar: Slide PPT Direktorat Pengawasan Produksi PT dan PKRT BPOM, 2016]
Subdirektorat Inspeksi dan Sertifikasi Produksi PT dan PKRT mempunyai tugas melaksanakan penyaian bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedomanm standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksaan inspeksi dan sertifikasi PT dan PKRT. Dalam melaksanakan tugasnya, subdirektorat ini menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyusunan rencana dan program inspeksi dan sertifikasi PT dan PKRT.
  2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan inspeksi sarana produksi PT dan PKRT. 
  3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan sertifikasi sarana produksi PT dan PKRT.
  4. Evaluasi dan penyusunan laporan inspeksi dan sertifikasi PT dan PKRT.
Subdirektorat ini  terdiri dari (1) Seksi Inspeksi Sarana Produksi PT dan PKRT dan (2) Seksi Sertifikasi Sarana Produksi PT dan PKRT.

Subdirektorat Harga Obat dan Farmakoekonomi mempunyai tuga melaksanakan penyiapan bahan permusan kebijakan teknis dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pemantauan dan analisis harg obat dan farmakoekonomi. Dalam melaksanakan tugasnya, subdirektorat ini menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyusunan rencana dan program pemantauan dan analisis harga obat dan farmakoekonomi.
  2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pemantauan dan analisis harga obat.
  3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan farmakoekonomi.
  4. Evaluasi dan penyusunan laporan pemantauan dan analisis harga obat dan farmakoekonomi.
Subdirektorat Harga Obat dan Farmakoekonomi terdiri dari (1) Seksi Pemantauan dan Analisis Harga Obat dan (2) Seksi Farmakoekonomi.

Subdirektorat Pengawasan Bahan Baku Obat dan Analisis Cara Pembuatan Obat Yang Baik mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengawasan bahan baku obat dan analisis cara pembuatan obat yang baik.  Dalam melaksanakan tugasnya, subdirektorat ini menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyusunan rencana dan program pengawasan bahan baku obat dan analisis cara pembuatan obat yang baik.
  2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengawasan bahan baku obat.
  3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosdur, serta pelaksanaan analisis penerapan cara pembuatan obat yang baik. 
  4. Evaluasi dan penyusunan laporan pengawasan bahan baku obat dan analisis cara pembuatan obat yang baik.
  5. Pelaksanaan urusan tata operasional di lingkungan Direktorat.
Subdirektorat ini terdiri dari (1)  Seksi Pengawasan Bahan Baku Obat, (2) Seksi Analisis Penerapan Cara Pembuatan Obat Yang Baik, dan (3) Seksi Tata Operasional.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan direktorat ini antara lain:
  1. Melakukan inspeksi CPOB (Cara Pembuatan Obat Yang Baik)/CPBAOB (Cara Pembuatan Bahan Baku Aktif Obat Yang Baik).
  2. Melakukan pengawasan BBO (Bahan Baku Obat), Produk Darah, Produk Farmasi RS, dan Stemcell.
  3. Pengawasan post market melalui sampling  dan pengujian.
Perlu diketahui bahwa ada dua jenis inspeksi CPOB, yaitu inspeksi pre market dan inspeksi post market. Inspeksi pre market meliputi pengurusan perizinan dan sertifikasi (diberikan setelah melakukan pemenuhian CPOB sebelum fasilitas digunakan). Perizinan dan sertifikasi ini diurus/diberikan kepada industri yang baru berdiri, pindah lokasi industri, atau adanya penambahan fasilitas produksi baru. Pemenuhan CPOB juga diperlukan sebelum mendapatkan nomor registrasi obat impor dalam rangka pengawasan obat impor. 

Inspeksi post market dilakukan berupa pemeriksaan rutin sarana Industri Farmasi dalam rangka konsistensi penerapan CPOB, kemudian dilakukan follow up inspection untuk melihat perbaikan yang telah dilakukan berdasarkan inspeksi sebelumnya. Secara singkat, berikut adalah tahapan yang dilakukan direktorat ini dalam melakukan inspeksi penerapan CPOB maupun CPBAOB:
  1. Perencaan inspeksi.
  2. Persiapan inspeksi CPOB/CPBAOB.
  3. Pelaksanaan inspeksi CPOB/CPBAOB.
  4. Pelaporan inspeksi.
  5. Tindak lanjut inspeksi CPOB/CPBAOB. 
Tindak lanjut inspeksi dapat berupa:
  1. Perbaikan terhadap hasil inspeksi.
  2. Peringatan.
  3. Peringatan keras.
  4. Larangan produksi.
  5. Penghentian sementara kegiatan produksi.
  6. Pencabutan sertifikat CPOB/CPBAOB.
  7. Rekomendasi pembekuan izin industri farmasi.
  8. Rekomendasi pencabutan izin industri farmasi.       
Hal ini semua dilakukan demi keselamatan pasien/konsumen.

Pada kegiatan pengawasaan BBO, produk darah, produk farmasi RS, dan stemcell, dilakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. BBO: asistensi regulatori untuk industri BBO dan sertifikasi CPBAOB.
  2. Produk darah: revisi pedoman terkait produk darah dan asistensi regulatori UTD (Unit Transfusi Darah).
  3. Produk Farmasi RS: penyusunan pedoman CPOB di rumah sakit dan asistensi regulatori RS.
  4. Stemcell: sertifikasi laboratorium pengolahan sel punca.  
Pengawasan post market melalui sampling dan pengujian bertujuan untuk:
  1. Melindungi masyarakat dari penggunaan obat yang tidak memenuhi syarat mutu, keamanan, dan khasiat.
  2. Menjamin konsistensi mutu obat pasca pemasaran.
  3. Untuk mendeteksi dini kemungkinan adanya obat palsu/obat ilegal/tidak terdaftar di pasaran.
  4. Melihat tren dan sebaran obat ilegal termasuk palsu di wilayah Indonesia.
  5. Menjamin pendaan obat beredar sesuai dengan yang disetujui.
  6. Menjamin rokok beredar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.        
Obat-obat yang tidak stabil/mudah rusak, obat-obat yang membutuhkan perlakuan khusus (cold chain product), pemenuhan CDOB pada jalur distribusi obat, dan tren penyalahgunaan obat adlaah hal-hal yang dapat menjadi pertimbangan dalam penentuan kriteria obat yang disampling. Tindak lanjut pengawasan post market ini apabila ditemukan produk yang tidak memenuhi syarat maka akan dilakukan penarikan terhadap produk tersebut.

Untuk informasi saja, Indonesia melalui BPOM telah tergabung ke dalam PIC/S (Pharmaceutical Inspection Cooperation Scheme).  Indonesia telah menjadi anggota sejak 1 Juli 2012, sebagai anggota yang ke 41. Manfaat menjadi angota PIC/S antara lain:
  1. Meningkatnya peluang industri farmasi lokal untuk ekspor ke negara anggota PIC/S.
  2. Meningkatnya peluang industri farmasi lokal untuk ekspor ke negara lain.
  3. Sebagai indikator bahwa negara tersebut memiliki inspektorat GMP yang diakui secara internasional.
Dengan adanya Direktorat Pengawasan Produksi PT dan PKRT dalam melaksanakan pengawasan CPOB dan CPBAP maka dapat:
  1. Meningkatkan akses terhadap obat yang aman, berkualitas, dan efektif.
  2. Meningkatkan daya saing Industri Farmasi, baik di dalam negeri maupun di tingkat internasional.
  3. Meningkatkan peluang ekspor.
  4. Meningkatkan level kepercayaan publik/konsumen terhadap Industri Farmasi. 
Direktorat Pengawasan Distribusi PT dan PKRT mempunyai tugas penyiapan perumusan ebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengawasan distribusi PT dan PKRT. Dalam melaksanakan tugasnya, direktorat ini menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyusunan rencana dan program pengawasan distribusi PT dan PKRT.
  2. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di bidang pengawasan distribusi PT dan PKRT.
  3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan inspeksi dan sertifikasi distribusi PT dan PKRT.
  4. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengawasan promosi dan penandaan PT danPKRT.
  5. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan surveilan dan analisis risiko PT dan PKRT.
  6. Evaluasi dan penyusunan laporan pengawasan distribusi PT dan PKRT.
  7. Pelaksanaan urusan tata operasional di lingkungan Direktorat.
Direktorat ini terdiri dari:
  1.  Subdirektorat Inspeksi dan Sertifikasi Distribusi PT dan PKRT.
  2. Subdirektorat Pengawasan Promosi dan Penandaan PT dan PKRT.
  3. Subdirektorat Surveilan dan Analisis Risiko PT dan PKRT.
Subdirektorat Inspeksi dan Sertifikasi Distribusi PT dan PKRT mempunyai tugas melaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan inspeksi dan sertifikasi distribui PT dan PKRT, dan penanggulangan produk ilegal. Dalam melaksanakan tugasnya, subdirektorat ini menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyusunan rencana dan program inspeksi dan sertifikasi sarana distribusi PT dan PKRT, dan penanggulangan produk ilegal.
  2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan inspeksi sarana distribusi PT dan PKRT dan penanggulangan produk ilegal.
  3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan sertifikasi sarana distribusi PT dan PKRT.
  4. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan penanggulangan produk ilegal.
  5. Evaluasi dan penyusunan laporan inspeksi dan sertifikasi sarana distribusi PT dan PKRT, dan penanggulangan produk ilegal.
Subdirektorat ini terdiri dari (1) Seksi Inspeksi Sarana Distribusi PT dan PKRT, (2) Seksi Sertifikasi Sarana Distribusi PT dan PKRT, dan (3) Seksi Penanggulangan Produk Ilegal.

Salah satu tugas subdirektorat ini adalah mengawasi penerapan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) pada sarana distribusi melalui kegiatan inspeksi dan sertifikasi. Penerapan CDOB ini telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan POM No. HK.03.1.34.11.12.7542 yang disahkan pada 23 November 2012 dan berlaku untuk obat dan bahan obat. CDOB ini berupa pemastian mutu pada rantai distribusi obat dan/atau bahan obat yang meliputi proses dari pengadaan, penyimpanan, penyaluran, hingga pengembalian. CDOB merupakan standar distribusi obat yang diterapkan untuk memastikan bahwa kualitas produk yang dicapai melalui CPOB dipertahankan sepanjang jalur distribusi. 

Aspek-aspek CDOB yang terdapat pada peraturan Kepala Badan POM tersebut antara lain:
  1. Manajemen Mutu.
  2. Organisasi Manajemen dan Personalia.
  3. Bangunan dan Peralatan.
  4. Operasional.
  5. Inspeksi Diri.
  6. Penanganan Keluhan, Kembalian, Diduga Palsu, Recall.
  7. Transportasi.
  8. Sarana Distribusi Berdasarkan Kontrak.
  9. Dokumentasi.
  10. Anex I Bahan Obat. 
  11. Anex II Produk Rantai Dingin.
  12. Anex III Narkotika dan Psikotropika.            
Subdirektorat Pengawasan Promosi dan Penandaan PT dan PKRT mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur serta pelaksanaan pengawasan promosi dan penandaan PT dan PKRT. Dalam melaksanakan tugasnya, direktorat ini menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyusunan rencana dan program pengawasan promosi dan penandaan PT dan PKRT.
  2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengawasan promosi PT dan PKRT.
  3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengawasan penandaan PT dan PKRT.
  4. Evaluasi dan penyusunan laporan pengawasan promosi dan penandaan PT dan PKRT.
  5. Pelaksanaan urusan tata operasional di lingkungan Direktorat.
Subdirektorat ini terdiri dari (1) Seksi Pengawasan Promosi PT dan PKRT, (2) Seksi Pengawasan Penandaan PT dan PKRT, dan (3) Seksi Tata Operasional. 

Salah satu yang diawasi oleh subdirektorat ini adalah iklan obat. Iklan obat adalah informasi mengenai obat jadi yang memiliki izin edar, dilakukan oleh industri farmasi pemilik NIE (Nomor Izin Edar) yang disampaikan melalui media dengan tujuan untuk meningkatkan peresepan, pendistribusian, penjualan, atau penggunaan obat. Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh BPOM dilakukan baik sebelum beredar maupun sesudah beredar. Sebelum diedarkan, rancangan iklan yang dibuat, dinilai oleh BPOM dan tim independen (Farmakologi, Psikologi, Komunikasi, dll). Sementara sesudah beredar, pengawasan dilakukan leh Badan POM dan Balai Besar/Balai POM seluruh Indonesia. 

Penandaan adalah keterangan lengkap mengenai obat, efikasi, keamanan, cara penggunaannya serta informasi lain yang dianggap perlu untuk dicantumkan pada etiket, brosur, dan kotak yang disertakan pada obat, sesuai persetujuan izin edar. Tujuan pengawasan pada penandaan ini adalah agar kebenaran informasi penandaan pada kemasan PT dan PKRT tidak menyimpang dari yang disetujuai, serta pengawasan juga dilakukan terhadap pelaksanaan pencantuman HET dan nama generik. Pengawasan pada penandaan juga dilakukan saat sebelum beredar dan sesudah beredar. Sebelum diedarkan, kemasan yang akan diedarkan dikirim ke BPOM oleh Industri Farmasi, lalu akan dievaluasi kesesuaiannya dengan yang disetujui. Apabila disetujui, maka kemasan siap untuk diedarkan dan disosialisasikan ke Balai Besar/Balai POM seluruh Indonesia. Sementara pengawasan sesudah diedarkan, juga dilakukan oleh Badan POM bersama Balai Besar/Balai POM seluruh Indonesia. Tindak lanjut apabila terjadi pelanggaran dapat berupa peringatan, peringatan keras, atau sanksi. 

Subdirektorat Suveilan dan Analisis Risiko PT dan PKRT mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan surveilan dan analisis risiko PT dan PKRT. Dalam melaksanakan tugasnya, subdirektorat ini menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyusunan rencana dan program surveilan dan analisis risiko PT dan PKRT.
  2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan surveilan PT dan PKRT.
  3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan analisis risiko PT dan PKRT.
  4. Evaluasi dan penyusunan laporan surveilan dan analisis risiko PT dan PKRT.
Subdirektorat ini terdiri dari (1) Seksi Surveilan PT dan PKRT dan (2) Seksi Analisis Risiko PT dan PKRT.

Adanya subdirektorat ini dilatarbelakangi bahwa setiap pasien itu unik, obat yang tepat untuk saya belum tentu tepat untuk orang lain atau bahkan bisa menjadi pilihan yang buruk untuk orang lain. Selain itu, tidak ada satu produk pun yang 100% aman. Uji preklinik maupun klinik belum sepenuhnya mengungkapkan ESO (Efek Samping Obat) utamanya ESO yang jarang, ESO setelah penggunaan jangka lama, dan penggunaan pada kelompok tertentu. Penetrasi penggunaan obat di masyarakat tidak dapat diprediksi. Data prevalensi dan insidensi belum tersedia, serta terdapat potensi masalah penggunaan obat di masyarakat terkait kesesuaian indikasi, durasi/dosis, dan faktor risiko. Oleh karena itulah aktivitas surveilan/farmakovigilans diperlukan untuk menjamin bahwa obat beredar tetap aman. 

Tujuan surveilan/farmakovigilans antara lain:
  1. Deteksi dini ESO yang belum dikenal.
  2. Deteksi kemungkinan interaksi obat.
  3. Deteksi adanya peningkatan frekuensi ESO yang telah diketahui.
  4. Identifikasi faktor risiko dan kemungkinan mekanisme terjadinya ESO tersebut.
  5. Penilaian keamaan jangka panjang.
  6. Studi kelompok dengan faktor risiko (anak-anak, orang tua, wanita hamil).
  7. Analisis risk/benefit sehingga dapat dilakukan risk control yang tepat.       
  8. Memperoleh profil keamanan obat dengan basis populasi Indonesia.  
Saat ini pelaporan ESO melalui form kuning dilakukan oleh tenaga kesehatan namun masih dengan sifat sukarela (volunteer), sementara pelaporan ESO melalui form CIOMS ini wajib dilakukan oleh Industri Farmasi.

Panitia MESO (Monitoring ESO)/Farmakovigilans Nasional terdiri dari ahli farmakologi, dokter, dan apoteker dengan tugas (1) melakukan evaluasi terhadap laporan ESO dan kajian aspek keamanan, dan (2) menyusun rekomendasi untuk ditindaklanjuti. Keputusan/tindak lanjut regulatorinya dapat berupa:
  1. Pembatasan dosis.
  2. Pembatasan indikasi.
  3. Pembatasan distribusi.
  4. Perubahan labeling.
  5. Pembekuan izin edar dan penarikan produk.
  6. Pembatalan izin edar dan penarikan produk.   
Direktorat Pengawasan NAPZA mempunyai tugas penyiapan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis, dan evaluasi di bidang pengawasan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Dalam melaksanakan tugasnya, direktorat ini menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyusunan rencana dan program pengawasan NAPZA.
  2. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di bidang pengawasan NAPZA.
  3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan di bidang pengawasan narkotika. 
  4. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan di bidang pengawasan psikotropika.
  5. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan di bidang pengawasan prekursor.
  6. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan di bidang pengawasan rokok.
  7. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan di bidang pengawasan zat adiktif.
Direktorat ini terdiri dari:
  1. Subdirektorat Pengawasan Narkotika.
  2. Subdirektorat Pengawasan Psikotropika.
  3. Subdirektorat Pengawasan Prekursor.
  4. Subdirektorat Pengawasan Rokok.
Di bawah ini adalah struktur organisasi Direktorat Pengawasan NAPZA.
[Sumber Gambar: Slide PPT Direktorat Pengawasan NAPZA BPOM, 2016]
Sebelum ke penjelasan tiap subdirektoratnya, sangat penting untuk memahami definisi dari narkotika, psikotropika, dan prekursor, agar dapat memahami perbedaannya. Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menyebabkan ketergantungan. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1997, Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Sementara prekursor narkotika berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009 adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. 

Pengawasan terhadap NAPZA dilakukan secara komprehensif, mulai dari kegiatan impor, produksi, penyaluran, penyerahan, hingga penggunaan.

Subdirektorat Pengawasan Narkotika mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengawasan narkotika. Dalam melaksanakan tugasnya, subdirektorat ini menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyusunan rencana dan program pengawasan narkotika.
  2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan inspeksi narkotika.
  3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengaturan dan sertifikasi narkotika.
  4. Evaluasi dan penyusunan laporan pengawasan narkotika.
  5. Pelaksanaan urusan tata operasional di lingkungan Direktorat.
Subdirektorat ini terdiri dari (1) Seksi Inspeksi Narkotika, (2) Seksi Pengaturan dan Sertifikasi Narkotika, dan (3) Seksi Tata Operasional.

Subdirektorat Pengawasan Psikotropika mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengawasan psikotropika.  Dalam melaksanakan tugasnya, subdirektorat ini menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyusunan rencana dan program pengawasan psikotropika.
  2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan inspeksi psikotropika. 
  3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengaturan dan sertifikasi psikotropika.
  4. Evaluasi dan penyusunan laporan pengawasan psikotropika. 
Subdirektorat ini terdiri dari (1) Seksi Inspeksi Psikotropika dan (2) Seksi Pengaturan dan Sertifikasi Psikotropika.

Subdirektorat Pengawasan Prekursor mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengawasan prekursor. Dalam menjalan tugasnya, subdirektorat ini menyelenggarakan fungsi:
  1. Penyusunan rencana dan program pengawasan prekursor.
  2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan inspeksi prekursor.
  3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengaturan dan sertifikasi prekursor.
  4. Evaluasi dan penyusunan laporan pengawasan prekursor.
Subdirektorat ini terdiri dari (1) Seksi Inspeksi Prekursor, dan (2) Seksi Pengaturan dan Sertifikasi Prekursor. 

Subdirektorat Pengawasan Rokok mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengawasan rokok. Dalam melaksanakan tugasnya, subdirektorat ini menyelenggarkaan fungsi:
  1. Penyusunan rencana dan program pengawasan rokok.
  2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengawasan produk rokok.
  3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengawasan iklan dan promosi rokok.
  4. Evaluasi dan penyusunan laporan pengawasan rokok.
Subdirektorat ini terdiri dari (1) Seksi Pengawasan Produk Rokok, dan (2) Seksi Pengawasan Iklan dan Promosi Rokok. 

Ruang lingkup pengawasan oleh subdirektorat ini adalah pengawasan terhadap kebenaran kandungan kadar nikotin dan tar, pencantuman peringatan kesehtan dan informasi kesehatan pada kemasan produk tembakau, pencantuman peringatan kesehtan pada iklan produk tembakau, maupun persyaratan iklan lainnya. Apabila terjadi pelanggaran, maka sanksi administratifnya dapat berupa:
  1. Teguran lisan.
  2. Teguran tertulis.
  3. Penarikan produk.
  4. Rekomendasi penghentian sementara kegiatan.
  5. Rekomendasi penindakan kepada instansi terkait.  
Tindak lanjut dalam penerapan sanksi d dan e dalam 30 hari harus dilaksanakan oleh instansi penerima rekomendasi (masih tahap pembahasan dengan Kementrian Perindustrian, Perdagangan, Bea Cukai terkait rekomendasi pengawasan BPOM). 

Tindak lanjut juga dapat berupa sanksi pidana. Pada Pasal 199, UU N0. 36 Tahun 2009, "Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehtan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)". 

Strategi perkuatan pengawasan produk tembakau oleh BPOM dilakukan melalui:
  1. Pemantapan regulasi dan standar terkait pengawasan produk tembakau.
  2. Penguatan sistem, sarana, dan prasarana laboratorium pengujian rokok.
  3. Penguatan pengawasan iklan dan produk tembakau.
  4. Pemberdayaan masyrakat dalam rangka pengawasan iklan dan produk tembakau.
  5. Penguatan kerja sama lintas sektor.
Demikian. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung :D

0 comments:

Post a Comment

If you want to be notified that I've answered your comment, please leave your email address. Your comment will be moderated, it will appear after being approved. Thanks.
(Jika Anda ingin diberitahu bahwa saya telah menjawab komentar Anda, tolong berikan alamat email Anda. Komentar anda akan dimoderasi, akan muncul setelah disetujui. Terima kasih.)