Wednesday, September 18, 2013

Catatan Semsol #1

Pada pertemuan pertama mata kuliah Teknologi Sediaan Setengah Padat dan Cair atau yang biasa disebut-sebut oleh mahasiswa farmasi pada umumnya dengan sebutan semsol, dibahas terkait pengantar sediaan setengah padat dan terkait organ pada tubuh manusia yang biasanya merupakan sasaran sediaan setengah padat ini, yaitu kulit.

Sebelumnya, dosennya, Ibu Silvi, menyebutkan beberapa literatur yang bisa mahasiswa pelajari berkaitan dengan mata kuliah ini, antara lain buku "Pharmaceutics: The Science Dosage Form Design" (Michael E. Aulton), buku "Pharmaceutical Dosage Forms and Drugs Delivery Systems, 7th Ed" (Howard C. Amsel Loyd V. Allend, et. al.), dan buku "Modern Pharmaceutics" (Gilbert).

Tentunya pada mata kuliah ini perlu diketahui macam-macam sediaan setengah padat/solid dan juga perbedaan definisinya, terkait hal tersebut dapat dilihat di FI atau di USP. Sekedar mengetahui saja atau kita juga sama-sama tahu bahwa contoh sediaan setengah padat antara lain krim, jel, salep, dan pasta. Berdasarkan FI 4, krim (cremos) adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Salep (unguenta) adalah sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir. Pasta adalah sediaan semipadat yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang ditujukan untuk pemakaian topikal. Sementara jel berdasarkan FI 4 didefinisikan sebagai sistem semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Dengan definisi-definisi tersebut kiranya belum banyak dapat memberikan gambaran perbedaan pada keempatnya, dibutuhkan pemahaman lebih lanjut agar dapat membedakannya. Pada catatan berikutnya akan terdapat penjelasannya.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan bentuk sediaan setengah padat antara lain konsentrasi obat yang dapat melalui kulit, jumlah obat yang dapat berada di atas kulit, kemampuan penyimpanan obat dalam pembuatan sediaan semisolid (setengah padat), dan penerimaan pasien terhadap formula yang dibuat.

Terkait pengembangan sediaan semisolid, perlu diketahui bagian kulit mana yang akan dijadikan sasaran obatnya. Karena pembuatan sediaan ini tergantung dari bagian kulit mana yang dimaksud, tentunya bagian kulit di tubuh manusia berbeda-beda anatomi dan fisiologinya, kulit di wajah dengan telapak kaki jelas berbeda, jadi sediaan semisolidnya juga akan berbeda komposisi dan mekanisme kerjanya.

Kulit terdiri dari 3 bagian utama yaitu epidermis, dermis, dan subkutan (hipodermis). Epidermis merupakan bagian terluar dari kulit yang terpapar lingkungan secara langsung. Epidermis terdiri dari 5 lapisan, yaitu stratum corneum, stratum lucidium, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale.


Jika akan dibuat suatu sediaan semisolid yang memiliki efek terapi pada kulit, maka zat aktif pada sediaan tersebut harus dapat menembus barier anatominya. Misalnya, apabila ingin dapat bekerja di bagian stratum corneum-nya, maka zat aktif perlu dapat menembus atau sampai pada lapisan tersebut. Caranya adalah dengan mengetahui komposisi senyawa-senyawa pada lapisan tersebut yang dalam hal ini diketahui tesrdapat kolesterol ester, trigliserida, asam lemak, seramida, glukosil seramida, dan sebagainya, maka selanjutnya caranya adalah dengan  mengetahui sifat fisikokimia dari senyawa-senyawa tersebut, lalu dari hal tersebut bisa diformulasikan sediaannya sedemikian rupa agar dapat menembus pada bagian tersebut.

Sementara bagian dermis, biasanya terdiri dari kolagen, retikulum, dan elastin. Sebelumnya sekedar diketahui bahwa kulit berfungsi untuk melindungi tubuh dan sebagai regulator.

Pada intinya, karena stratum corneum merupakan lapisan paling luar pada tubuh manusia, maka sediaan semisolid dibuat paling utama agar dapat melakukan penetrasi pada lapisan terluar tersebut terlebih dahulu karena jika terhadap lapisan terluar saja tidak dapat ditembus tentunya apabila sasarannya adalah lapisan yang lebih dalam dari itu, tetap tidak akan bisa sampai zat aktifnya.

Penetrasi obat dipengaruhi oleh morfologi, perubahan tipe sel, dan proses dinamik.

Sebenarnya, zat aktif pada sediaan semisolid selain melalui stratum corneum sebagai jalur utama, juga dapat melewati kelenjar keringat. Namun karena pada tubuh manusia pada dasarnya tidak banyak kelenjar keringatnya, maka yang sudah pasti, di manapun zat aktif tersebut memulai aksinya, pasti akan bertemu lapisan stratum corneum, tapi belum tentu bertemu dengan kelenjar keringat.

Pada kulit terdapat lemak, terutama pada stratum corneum juga terdapat lemak. Adanya lemak ini menjadikan kulit jadi  sulit untuk ditembus.

Penetrasi melalui stratum corneum ini dibagi menjadi dua, yaitu absorpsi trans-epidermal dan trans appendageal. Absorpsi trans epidermal merupakan cara zat aktif melakukan penetrasi melewati lapisan epidermis, bisa secara trans-seluler maupun interseluler.


Kulit tidak hanya terdiri dari lemak (sebagaimana sebelumnya juga telah disebutkan), ada juga yang mengandung protein. Dengan demikian, penetrasi zat aktif terhadap kulit tidak semudah menntukan senyawa polar atau nonpolar. Jadi yang penting dalam hal ini adalah koefisien partisinya. Untuk sediaan ini, tentunya perlu dipilih yang memiliki koefisien partisi yang baik, yaitu yang memiliki perbandingan kelarutan pada senyawa polar dan nonpolar yang seimbang.

Terkait penetrasi obat ke dalam tubuh, apabila sasarannya adalah sirkulasi sistemik, maka disebut dengan absorpsi perkutan. Jadi diharapkan obat atau zat aktif dapat sampai hingga ke pembuluh darah. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan, antara lain:
  1. Harga koefisien partisi obat. Cara untuk merubah koefisien partisi suatu zat aktif bisa dengan memodifikasi gugus-gugusnya.
  2. Kondisi pH sediaan. Hal ini terkait dengan pengaruh disosiasinya yang menjadi suatu hal yang sangat penting untuk zat aktif yang sangat dipengaruhi oleh pH. Misalnya saja Asam Diklofenak yang pH di bawah 5 saja tidak dapat larut. Dalam hal ini penanganannya adalah dengan mengambil bentuk garamnya yaitu Natrium Diklofenak, namun sebenarnya kelarutannya juga tidak terlalu baik, setidaknya jauh lebih baik dibandingkan bentuk asamnya. Terkait ini bisa juga dilakukan pengaturan pada pH sediaannya.
  3. Konsentrasi obat. Jika konsentrasi makin tinggi maka absorpsinya tentu akan meningkat. Tetapi perlu diketahui bahwa dalam hal ini, kulit memiliki batasan atau titik jenuhnya, seberapa banyak pun ditambahkan konsentrasinya tidak akan mempengaruhi kemampuan absorpsinya. Jadi terdapat titik kejenuhan. 
  4. Profil pelepasan obat dari pembawanya. Sediaan atau basis pada dasarnya membawa zat aktif. Jadi dibuat sedemikian rupa agar zat aktifnya dapat lepas meninggalkan zat aktifnya. Afinitas zat aktif terhadap pembawanya dalam hal ini menjadi penting sehingga kelarutan zat aktif dalam pembawa menjadi salah satu yang perlu diperhatikan.
  5. Komposisi sistem tempat pemberian obat. Pada dasarnya struktur kulit pada seluruh bagian tubuh sama, namun komposisinya yang terkadang membedakan, sehingga dalam hal ini perlu diperhatikan komposisinya terkait dengan permeabilitas lapisan kulit tersebut.
  6. Adanya efek depo (berkumpul pada lapisan tandu (stratum corneum)). Bukan tidak mungkin sediaan yang dibuat tidak dapat melepaskan zat aktifnya. Apabila formulasinya kurang baik, maka zat aktif dapat mengalami ikatan dengan lapisan tanduk tersebut yang kemudian bersifat irreversibel.
  7. Peningkatan suhu kulit dapat menyebabkan perubahan difusi, berkaitan dengan diiringi adanya peningkatan kelarutan zat aktif. Misalnya saja ketika sehabis berolahraga, terjadi peningkatan suhu, sehingga ketika menggunakan sediaan semisolid ini, zat aktif akan lebih dapat terabsorpsi. 
  8. Vasodilatasi juga dapat meningkatkan absorpsi.
  9. Faktor pembawa. Misalnya apabila pembawa tersebut dapat meningkatkan kelembapan kulit maka akan dapat memudahkan zat aktif melakukan penetrasi.
  10. Waktu kontak zat aktif terhadap kulit. Tentunya makin lama berkontak, maka akan makin banyak yang terabsorpsi, sehingga apabila misalnya menggunakan sediaan krim, baru beberapa detik kemudian dihapus, maka akan tidak banyak yang diabsorpsi dan makin sulit mencapai efek terapinya.
  11. Bentuk sediaan. Misalnya, sediaan semisolid ini dibentuk dalam sediaan plester, maka akan lebih banyak zat aktif yang terabsorpsi apabila dibandingkan dengan zat aktif sama namun tanpa dikemas dalam bentuk plester, karena penggunaan plester dapat mencegah menghilangnya zat-zat aktif ke udara.
Di bawah ini merupakan beberapa sifat-sifat berdasarkan faktor biologi dan fisikokimia kulit yang dapat mempengaruhi absorpsi perkutan.
Faktor biologinya antara lain:
  1. Usia kulit. Usia kulit bayi dengan orang dewasa tentu berbeda. Pada bayi, kulit masih mengalami perkembangan sehingga absorpsi menjadi lebih cepat. Namun saat ini, akibat polusi, seseorang yang masih muda bisa memiliki kulit yang sudah tua. Jadi usia kulit bisa jadi tidak sama dengan usia biologisnya.
  2. Kondisi kulit. Kebanyakan kosmetika yang merupakan sediaan semisolid digunakan untuk kulit yang normal. Jadi telah diatur zatnya untuk dapat melakukan penetrasi pada kulit yang normal. Tetapi apabila dibandingkan dengan kulit yang luka, maka absorpsi menjadi lebih cepat karena stratum corneum-nya telah robek.
  3. Lokasi pemberian. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lokasi pemberian di wajah, siku, atau telapak kaki akan berbeda mekanisme kerjanya.
  4. Metabolisme kulit. Kulit mengalami pergantian kulit sehingga kondisi ini juga perlu mendapat perhatian. Selain itu, kulit juga dapat memetabolisme hormon. Oleh karena itu hati-hati dalam penggunaan kosmetik karena dikhawatirkan terdapat zat yang bersifat karsinogenik sehingga dengan sifatnya yang ini dapat memicu terjadinya kanker.
  5. Efek sirkulasi, contohnya vasodilatasi.
  6. Perbedaan spesies. Tentunya berbeda anatomi kulit manusia apabila dibandingkan dengan spesies lain, sehingga percobaan suatu sediaan pada uji preklinik, perlu untuk sampai uji klinik baru bisa benar-benar dibuktikan keefektifan dan keamanannya pada manusia.
Sementara faktor kimianya antara lain:
  1. Interaksi kulit dengan obat. Sediaan semisolid yang pembawanya dapat memberikan kelembapan maka dapat meningkatkan absorpsinya.
  2. Interaksi kulit dengan pembawa. Misalnya apabila pembawa dapat memperikan efek temperatur maka dapat meningkatkan absorpsi pada kulit, contoh pembawa yang dimaksud antara lain etanol dan metanol.
  3. Interaksi obat dengan pembawa. Jika afinitas obat dengan pembahwa terlalu kuat, maka obat menjadi sulit untuk dilepas, sehingga penetrasi menjadi terhambat.
  4. Interaksi antara obat, pembawa, dan kulit akan sangat kompleks sehingga perlu untuk diperhatikan.
Demikian yang dapat saya sampaikan. Ini hanya sekedar catatan yang ditulis berdasarkan penangkapan saya saat kuliah di kelas. Jadi harap tidak menggunakan ini sebagai literatur tetapi untuk membantu pemahaman saja. Tentunya catatan ini tidak luput dari kesalahan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat. Terima kasih sudah berkunjung :)

1 comment:

  1. I am sure this article has touched all the internet users, its really really fastidious article on building up new web site.

    ReplyDelete

If you want to be notified that I've answered your comment, please leave your email address. Your comment will be moderated, it will appear after being approved. Thanks.
(Jika Anda ingin diberitahu bahwa saya telah menjawab komentar Anda, tolong berikan alamat email Anda. Komentar anda akan dimoderasi, akan muncul setelah disetujui. Terima kasih.)