Monday, July 25, 2016

Catatan Obat Gangguan Kardiovaskuler #4

[Sumber Gambar: pennmedicine.org]

Salah satu gangguan kardiovaskuler adalah hipertensi. Pada post kali ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan hipertensi. Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistemik (sistol atau diastol) lebih dari 140/90. Hipertensi sistolik menunjukkan peningkatan tekanan sistol meskipun tanpa peningkatan tekanan diastol. Hipertensi umumnya didiagnosis ketika tekanan diastol meningkat konsisten lebih tinggi dari 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah kronik meningkatkan risiko kerusakan ginjal, jantung, dan otak. Tekanan darah dikontrol oleh sistem saraf dan hormonal secara terintegrasi yang akan memodulasi volume darah, curah jantung, dan resistensi pembuluh perifer. 

Hipertensi diklasifikasikan menjadi hipertensi esensial (primer) dan sekunder. Hipertensi primer adlaah hipertensi yang terjadi peningkatan tekanan darah secara idiopatik (istilah medis yang digunakan untuk menjelaskan kondisi yang belum terungkap jelas penyebabnya). Prevalensinya 90-95% pada usia di atas 40 tahun. Beberapa faktor risiko yang dikaitkan dengan hipertensi primer adalah usia, genetik, obesitas, merokok, konsumsi alkohol, kadar garam yang tinggi dalam makanan, dan kurang aktivitas fisik. 

Berdasarkan sumber ini, dijelaskan penjelasan faktor risiko hipertensi primer. Terkait dengan faktor usia, risiko hipertensi meningkat seiring bertambahnya usia. Faktor genetik/keturunan, orang dengan anggota keluarga yang mengidap hipertensi memiliki risiko tinggi untuk mengalami kondisi yang sama. Obesitas/kelebihan berat badan, berat badan yang berlebih membutuhkan oksigen dan nutrisi yang lebih banyak, sehingga volume darah dibutuhkan lebih banyak, volume darah yang meningkat inilah yang dapat menyebabkan tekanan darah. Merokok juga merupakan faktor risiko hipertensi karena rokok dapat meningkatkan tekanan darah sekaligus menyempitkan dinding arteri. Konsumsi alkohol dapat menjadi penyebab karena kandungan alkohol dalam minuman keras dapat memicu kerusakan pada organ jantung. Kadar garam yang tinggi dalam makanan dapat menyebabkan penumpukkan cairan dalam tubuh sehingga dapat meningkatkan volume darah. Sementara kurang aktivitas fisik menjadi salah satu faktor risiko karena orang yang jarang berolahraga cenderung memiliki detak jantung yang lebih cepat, sehingga jantung akan bekerja lebih keras. Kerja jantung yang lebih keras akan meningkatkan tekanan darah.

Sementara hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya diketahui. Prevalensinya sekitar 5-10%, biasanya penyebabnya adalah renovaskuler (peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh aktivasi sistem angiotensin aldosteron), penyebab lainnya adalah penyakit endokrin. Tingkat keparahan hipertensi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 


Apabila hipertensi tidak memperoleh penanganan yang tepat, maka dapat terjadi komplikasi munculnya gangguan lain seperti pada pembuluh darah dapat terjadi aterosklerosis; pada jantung dapat terjadi hipertropi, iskemia, gagal jantung; serta pada ginjal juga dapat terjadi iskemia, penurunan laju filtrasi glomerulus, dan gagal ginjal. Oleh karena itulah, sebelum memburuk, pasien hipertensi harus segera diberi penanganan. 

Terkait dengan salah satu penyebab hipertensi sekunder adalah penyakit endokrin. Dalam hal ini yang berkaitan adalah ketika terjadi peningkatan kadar lipid dalam darah atau hiperlipidemia. Pada hiperlipidemia, hipertensi disebabkan oleh aterosklerosis. Pada saat sel endotel pembuluh darah mengalami kerusakan, terjadi peningkatan permeabilitas. Dengan adanya hiperlipidemia, small-dense-LDL akan masuk ke otot polos dan akan terjadi aterosklerosis. Selain itu, rusaknya sel endotel juga akan menyebabkan inflamasi yang dapat menyebabkan deposit platelet, makrofag, dan jaringan parut. Lama kelamaan dapat terjadi penebalan dinding arteri sehingga akan mengurangi kelenturan pembuluh darah dan akhirnya terjadi hipertensi.

Jadi, tujuan terapi hipertensi adalah penurunan tekanan darah yang tinggi di mana secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi volume darah, curah jantung, dan resistensi perifer.

Target obat antihipertensi antara lain:
  1. Saraf simpatis, yang melepaskan vasokonstriktor.
  2. Ginjal, yang turut berkontribusi dalam regulasi volume darah.
  3. Jantung, yang mempengaruhi curah jantung.
  4. Arteriol, yang mempengaruhi resistensi pembuluh perifer.
  5. Sel endotel, yang mengatur sistem agen hipotensif (NO).
Penanganan pasien hipertensi dapat diberikan terapi nonfarmakologi dan farmakologi. Terapi nonfarmakologi berupa pengendalian berat badan, banyak beraktivitas, mengatur konsumsi garam, berhenti merokok, mengurangi konsumsi alkohol, dan mengatasi gangguan lipoprotein. 

Terapi farmakologi berupa konsumsi obat yang berperan sebagai vasodilator dan/atau penurun CO/curah jantung. Vasodilator adalah obat yang bekerja dengan cara (1)  merelaksasi otot polos vaskular. Bekerja pada (2) kanal kalsium bergantung voltasi (voltage-dependent calcium channel) pada membran plasma, bekerja pula pada (3) kanal kalsium pada retikulum sarkoplasma. Bekerja di (4) GPCRs (G Protein Coupled Reseptor atau reseptor yang tergandeng protein G). GPCRs ini adalah protein yang tertanam di permukaan sel tepatnya pada membran sel. Protein ini menerima sinyal kimia dari luar sel dan lulus sinyal ke dalam sel sehingga sel dapat merespon sinyal. Selain itu, bekerja pula dalam (5) penghambatan Rho kinase. Terapi yang bertujuan untuk menurunkan CO memiliki target yaitu agar terjadi penurunan volume darah, pada umumnya melalui pemberian pengaruh terhadap reseptor adrenergik pada sel otot jantung. 

Vasodilator ada 2 macam, yaitu vasodilator langsung dan tidak langsung. Vasodilator langsung dapat berupa (1) antagonis kalsium, (2) agonis kanal kalium, dan (3) rho kinase inhibitor. Sementara vasodilator tidak langsung dapat berupa yang bekerja dengan cara menghambat sistem saraf simpatis yaitu antagonis alfa-adrenoseptor atau yang dengan cara menghambat sistem renin angiotensin seperti (1) antagonis beta, (2) renin inhibitor, (3) ACE inhibitor, (4) antagonis reseptor AT1, dan (5) antagonis reseptor aldosteron. 

Obat yang bekerja sebagai antagonis kalsium, mekanisme kerjanya yaitu dengan memblok influks kalsium ke dalam sel melalui kanal kalsium. Obat golongan ini mempengaruhi sel miokard jantung dan sel otot polos pembuluh darah sehingga mengurangi kemampuan kontraksi miokard, pembentukkan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung, dan tonus vaskuler sistemik atau koroner. Obat golongan ini terbagi menjadi 3 kelas yaitu:
  1. Fenilalkilamin, contohnya verapamil.
  2. Dihidropiridin, contohnya nifedipin, amlodipin.
  3. Benzotiazepin, contohnya diltiazem.
Berdasarkan PIONAS, pemilihan obat-obatan golongan antagonis kalsium berbeda-beda berdasarkan perbedaan lokasi kerjanya sehingga efek terapetiknya tidak sama, dengan variasi yang lebih luas daripada golongan beta bloker. Verapamil dan diltiazem bekerja pada kanal kalsium di otot jantung, sementara nifedipin dan amlodipin bekerja di otot polos. Verapamil dan diltiazem biasanya harus dihindari pada penderita gagal jantung karena dapat menekan fungsi jantung sehingga mengakibatkan perburukan klinis.

Verapamil merupakan antagonis kalsium dengan kerja inotropik negatif yang poten, mengurangi curah jantung, memperlambat denyut jantung, dan mengganggu konduksi AV. Dengan demikian verapamil dapat mencetuskan gagal jantung, memperburuk kondisi gangguan konduksi, dan menyebabkan hipotensi pada dosis tinggi. Oleh karena itu pula, obat ini tidak boleh diberikan bersama dengan beta bloker. Efek samping utamanya berupa konstipasi.

Nifedipin merelaksasi otot polos vaskular sehingga mendilatasi arteri koroner dan perider. Obat ini lebih berpengaruh terhadap pembuluh darah dan kurang berpengaruh terhadap miokardium dibanding verapamil. Nifedipin jarang menimbulkan gagal jantung. Nifedipin memiliki kerja pendek sehingga tidak dianjurkan untuk pengobatan jangka panjang. Berbeda dengan nifedipin, amlodipin dan felodipin memiliki masa kerja yang lebih panjang sehingga dapat diberikan sehari sekali. Efek sampingnya adalah muka merah dan sakit kepala, serta edema pergelangan kaki.

Diltiazem dengan sediaan kerja panjang juga digunakan untuk terapi hipertensi. Senyawa ini dapat digunakan untuk pasien yang karena suatu sebab tidak dapat diberikan beta bloker. Efek inotropik negatifnya lebih ringan dibanding verapamil. Meskipun demikian, karena risiko bradikardi, tetap diperlukan kehati-hatian bila digunakan bersama beta bloker. 

Mekanisme kerja agonis kalium adalah melalui relaksasi otot polos dengan adanya peningkatan permeabilitas membran secara selektif terhadap ion K+ akibat aktivasi kanal K-ATP. Contoh obat golongan ini adlah Cromakalim dan minoksidil. Minoksidil sangat poten dengan durasi kerja yang lama. Salah satu sifat minoksidil adalah dapat menyebabkan retensi natrium dan air sehingga perlu dikombinasi dengan diuretik. 

Rho kinase adalah efektor dari small GTPase Rho dan termasuk ke dalam ACG family of kinases. Rho kinase ini memiliki peran dalam berbagai hal regulasi, yang berhubungan dengan persoalan ini adalah peranannya dalam kontraksi sel sehingga dengan adanya penghambatan Rho kinase terjadi pula penghambatan pada kontraksi, dan diharapkan selanjutnya dapat menurunkan tekanan darah. Contoh obat golongan ini adalah Fasudil.


Antagonis alfa-adrenoseptor bekerja dengan memblok reseptor alfa pada membran vaskuler, contohnya doxazosin dan prazosin. Efeknya berupa penuruann tekanan darah melalui relaksasi otot polos. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan cepat setelah dosis pertama, sehingga harus hati-hati pada pemberian pertama. 

Antagonis beta bekerja dengan cara memblok reseptor beta adrenoseptor di jantung, pembuluh darah perifer, bronkus, pankreas, dan hati. Contoh obatnya adalah propanolol dan atenolol. Beberapa beta bloker seperti oksirenolol, pindolol, dan asebutolol cenderung kurang menimbulkan bradikardi dibandingkan beta bloker lainnya dan mungkin kurang menimbulkan rasa dingin pada kaki dan tangan. Beberapa beta bloker ada yang larut dalam lemak dan ada yang larut dalam air. Yang paling larut dalam air adalah atenolol, nadolol, dan sotalol sehingga beta bloker tersebut sukar larut ke dalam otak, jadi kurang menimbulkan gangguan tidur dan mimpi buruk. Beta bloker larut air tersebut disekresi oleh ginjal sehingga diperlukan pengurangan dosis pada gangguan ginjal. 

Beta bloker harus dihindari pada pasien gagal jantung tidak stabil yang memburuk. Sementara untuk pasien gagal jantung stabil perlu diberikan secara hati-hati. Beta bloker dapat mencetuskan asma sehingga harus dihindarkan pemberiannya pada pasien dengan riwayat asma atau bronkospasme. Beta bloker dapat menyebabkan efek lelah, rasa dingin di kaki dan tangan, dan gangguan tidur atau mimpi buruk. Untuk pengobatan rutin hipertensi tanpa komplikasi, pemberian beta bloker sebaiknya dihindarkan dari pasien dengan diabetes.

Renin inhibitor bekerja dengan menurunkan aktivitas renin plasma. Contoh obatnya adalah enalkiren.

ACE inhibitor bekerja dengan cara menghambat enzim konversi angiotensin sehingga tidak terjadi konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. ACEI mengandung sulfhidril dengan tapak aktif mengandung atom zink pada ACE. Contoh obatnya antara lain captopril, enalapril, lisinopril, ramipril, perindopril, dan trandolapril. Efek farmakologinya yaitu menghambat efek angiotensin I, mempengaruhi resistensi vaskular tanpa efek terhadap kontraktilitas otot jantung. ACEI merupakan terapi awal yang sesuai untuk hipertensi pada pasien kaukasian berusia muda, tetapi pasien yang berumur lebih dari 55 tahun memberikan respon yang kurang baik. Pada pasien dengan stenosis arteri ginjal bilateral yang berat atau stenosis arteri ginjal unilateral berat (hanya satu ginjal yang berfungsi), penghambat ACE mengurangi atau meniadakan filtrasi glomerulus sehingga menyebabkan gagal ginjal yang berat dan progresif. Karena itu penghambat ACE dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki penyakit renovaskuler kritis tersebut. 


Mekanisme kerja antagonis reseptor AT1 adalah menghambat efek kerja dari reseptor AT1 yang dapat menyebabkan vasokonstriksi. Contoh obatnya antara lain losartan, candesartan, valsartan, dan irbesartan. Sifatnya mirip dengan ACEI, tetapi golongan ini tidak menghambat pemecahan bradikinin dan kinin-kinin lainnya, sehingga tidak menimbulkan batuk kering persisten yang biasanya mengganggu terapi ACEI. Oleh karena itu, obat golongan ini adalah alternatif ACEI yang berguna.


(Golongan obat yang bekerja dengan menurunkan curah jantung adalah obat golongan diuretik. Diuretik dapat meningkatkan eksreksi Natrium dan air dan menurunkan reabsorpsi keduanya. Diuretik ada 3 tipe, yaitu tiazid, diuretik kuat, dan diuretik hemat kalium. Diuretik tiazid adalah diuretik yang paling umum digunakan sebagai antihipertensi, bekerja di membran luminal tubulus distal. Penggunaan jangka panjangnya dapat menyebabkan hipokalemia. Contoh obatnya adalah bendroflumetiazid dan hidroklorotiazid (HCT). Diuretik kuat merupakan diuretik yang efeknya paling kuat, bekerja pada bagian lengkung henle, contoh obatnya adalah furosemid. Diuretik kuat juga dapat menyebabkan hipokalemia. Sementara diuretik hemat kalium merupakan diuretik yang mengatami efek samping hipokalemia, contohnya adalah triamteren, amiloride, dan spironolakton. 

Algoritme penatalaksanaan terapi hipertensi adalah sebagai berikut:


Apabila hipertensi masih belum parah, dapat hanya dilakukan perubahan gaya hidup saja. Target yang harus dicapai adalah tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg, sementara untuk pasien DM atau penyakit kronik lain, targetnya adalah kurang dari 130/80 mmHg. Apabila dengan adanya perubahan gaya hidup masih belum mencapai target, maka perlu mengkonsumsi obat. Apabila tidak terdapat indikasi darurat, penanganan untuk hipertensi tingkat 1 adalah dengan menggunakan obat golongan tiazid (tipe diuretik paling banyak digunakan), dapat pula mempertimbangkan obat golongan ACEI, ARB (Angitensin Reseptor Blocker/penghambat reseptor angiotensin), BB (beta bloker), CCB (Calcium Channel Blocker, penghambat kanal kalsium), atau kombinasinya. Untuk hipertensi tingkat 2, digunakan 2 kombinasi obat biasanya diuretik tiazid dan ACEI atau ARB, atau BB, atau CCB. Sementara penatalaksanaan antihipertensi untuk yang memiliki kondisi indikasi darurat, dapat dipertimbangkan obat antihipertensi yang sesuai di antara diuretik, ACEI, ARB, BB, atau CCB, sesuai dengan kebutuhan. Apabila tujuan terapi tetap tidak tercapai maka dosis dapat ditingkatkan atau ditambah obat tambahan hingga dapat mencapai target tekanan darah. Pertimbangkan konsultasi dengan dokter spesialis hipertensi. 

Sekian. Semua materi diperoleh dari handout saat kuliah dan tambahan dari hasil mencari dari sumber di internet. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Catatan ini ditujukan untuk meningkatkan pemahaman saja, jangan dijadikan sebagai referensi, cari referensi lain yang lebih valid. Semoga bermanfaat. Terima kasih sudah berkunjung :)

0 comments:

Post a Comment

If you want to be notified that I've answered your comment, please leave your email address. Your comment will be moderated, it will appear after being approved. Thanks.
(Jika Anda ingin diberitahu bahwa saya telah menjawab komentar Anda, tolong berikan alamat email Anda. Komentar anda akan dimoderasi, akan muncul setelah disetujui. Terima kasih.)