Thursday, April 12, 2012

Malaikat itu Kak Aurum

Waktu liburan semester 1, saya sempat iseng-iseng mengikuti lomba kompetisi membuat cerpen. Ya, namanya juga amatiran, ga menang ya sudah biasa, hehe. Tetap semangat~

Berikut adalah cerpen yang saya buat dalam rangka mengikuti lomba cerpen yang diselenggarakan oleh rekatankata.com:


Suatu hari aku mendapat ajakan dari teman lamaku pergi ke Kober, sebuah tempat perbelanjaan sederhana di dekat universitasku yang harganya lumayan murah. Sudah lama kami tidak bertemu, dulu kita sering berangkat dan pulang sekolah bersama-sama, sekarang kami berada pada universitas yang berbeda, aku di Depok sementara dia di Surabaya. Tentunya aku terima ajakan darinya, aku sudah sangat rindu dengannya, dia adalah sahabat dekatku, Anika namanya. 

Aku ingat, kakak iparku pernah mengatakan kalau kak Laila memiliki kamera baru dan dia mengatakan kalau aku boleh meminjamnya. Kebetulan sekali aku ingin mendokumentasikan kebersamaan aku dengan Anika nanti ketika kami akhirnya bertemu kembali. Lantas aku ke rumah kak Laila dan mengatakan kalau aku ingin meminjam kameranya. Dia tidak langsung mengatakan kalau dia membolehkannya, dia hanya terus berputar-putar di dalam kamarnya mencari di mana kameranya, sementara aku hanya tetap berdiri di samping pintu kamarnya menunggu sampai kamera tersebut ditemukan tanpa mencurigai sesuatu apa pun. Setelah beberapa lama mencari, akhirnya dapat ditemukan. Kamera tersebut berada di atas meja, di mana sebenarnya bukan tempat yang sulit untuk menemukannya. Kemudian dia menyerahkannya kepadaku dan berkata dengan ketus, “Jangan dirusakin lagi ya kayak waktu itu!”. Sebuah perkataan yang tidak aku sangka dan aku tidak mengerti. Namun, beberapa detik kemudian aku ingat. Aku ingat peristiwa itu tapi bukan aku yang merusakkannya, melainkan anaknya sendiri, Tomi. Pada saat itu umur Tomi sekitar 5 tahun dan aku masih duduk di bangku SMP. Aku bertiga bersama Tomi dan ayahku pergi menginap di sebuah vila di Puncak, di sana ada beberapa bangku yang sangat tinggi, peristiwa tersebut terjadi ketika aku bersama Tomi duduk-duduk di bangku tersebut, tentunya kaki Tomi tidak dapat menyentuh lantai saking tingginya bangku tersebut. Sambil duduk-duduk Tomi  memainkan kameranya, kemudian tanpa sengaja kamera tersebut jatuh sehingga menyebabkan kamera tersebut rusak dan tidak dapat dinyalakan. Entah apa yang diucapkan oleh kak Laila barusan. Kemudian aku menyadari bahwa Tomi selama ini telah menceritakan hal yang salah kepada ibunya sehingga menyebabkan kak Laila menuduh aku yang merusakkannya. Misal pun aku yang merusakkannya kenapa kak Laila masih mengingat peristiwa itu dan belum juga memaafkan kesalahanku dari sekian lamanya peristiwa tersebut terjadi, padahal yang aku tahu selama ini kak Laila adalah orang yang pemaaf. Aku melihat sosok kak Laila yang berbeda pada saat itu, sosok seorang kakak yang kelihatannya sangat membenci adiknya, aku belum pernah melihat tatapan kak Laila sebegitu bencinya terhadapku. Tubuhku bergetar dan aku berkata dengan terbata-bata bahwa aku tidak jadi meminjamnya. Namun, pada akhirnya dia tetap meminjamkannya, serta-merta aku pergi keluar dari rumahnya karena tidak tahan ingin segera meluapkan seluruh perasaanku di kamarku tanpa ada orang yang tahu. 
Hari pertemuanku dengan Anika akhirnya tiba, sebelumnya kami telah berjanji akan bertemu di depan Kober. Aku tiba terlebih dahulu, beberapa saat kemudian Anika tiba, tidak aku sangka kalau Anika datang bersama dengan orang lain, aku kira hanya aku dan Anika saja yang akan menghabiskan waktu di Kober bersama.
“Liyana kenalin, ini mas aku,” kata Anika.
Aku hanya mengangguk dan menyambut salam darinya. Aku baru ingat, Anika pernah bercerita kepadaku bahwa dia anak tunggal, tetapi di rumahnya tinggal pula sepupunya yang biasa dia panggil “mas”. Dan berdasarkan cerita-ceritanya tentang masnya, sepertinya memang benar dia dekat sekali dengan masnya itu.
“Dia mau bayarin semuanya yang mau aku beli di sini, soalnya dia udah janji kalo aku pulang dari Surabaya dia mau traktir,” bisik Anika kepadaku.
Aku hanya bisa ikut senang, dalam hati aku berpikir, dia saja yang tidak memiliki kakak tetapi hubungannya dengan masnya itu dekat sekali seperti hubungan antara kakak dan adik, sementara aku yang memiliki empat kakak, tidak ada satu pun yang benar-benar dekat kepadaku dan memperlakukanku seperti apa yang dilakukan oleh masnya terhadap Anika. Inilah hidup, di dunia ini memang tidak ada yang sempurna, semuanya saling melengkapi.
Tetapi semakin jauh aku mengingat hubunganku dengan kakak-kakakku semakin sedih aku rasanya. Sepertinya kakak-kakakku tidak ingin membagi kebahagiannya kepada adiknya, setiap kali mereka akan berbelanja ke mall, mereka pergi dengan diam-diam, mungkin supaya kepergian mereka tidak aku ketahui sehingga aku tidak meminta untuk diajak bersama mereka karena mereka takut kalau aku ikut, aku akan meminta dibelikan sesuatu oleh mereka.
Aku yang sekarang adalah orang yang sungguh menyedihkan. Jika dulu ketika kedua orang tuaku belum pensiun, mereka masih dapat memenuhi keinginan kecilku, tetapi sekarang mereka hanya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hariku. Keinginanku untuk mencicipi burger saja tidak pernah kesampaian sejak mereka pensiun, dan keinginanku untuk pergi jalan-jalan ke Dufan pun cuma impian sejak kecil. Sementara bang Raihan dalam sebulan sudah dua kali pergi ke Dufan bersama pacarnya, dan tentunya tiap bulan kakak-kakakku yang sudah menikah yaitu kak Laila, Kak Rozi, dan Kak Riza, bersama dengan keluarga kecilnyanya selalu pergi ke mall untuk belanja bulanan, tetapi mereka tidak pernah mengingat adiknya, setidaknya sekali-sekali mengajak adiknya ikut ke Dufan atau membelikan satu bungkus burger untuk adiknya yang sedang berada di rumah karena tidak diajak ke mall oleh mereka. Tidak pernah aku mendengar ada kakak yang mengatakan kepadaku bahwa dia akan membelikan apa pun yang ingin aku beli. Aku merasa seakan-akan aku tidak memiliki kakak, ke manakah keempat kakak-kakakku itu yang seharusnya juga mengasihi dan menyayangi adiknya disamping mengasihi dan menyayangi keluarga kecilnya atau pacarnya.

“Liyana, yang ini bagus ga?” tanya Anika.
“Apa?” tanyaku balik kepadanya.
“Yang ini bagus ga?”
“Oh, bagus-bagus. Aku juga mau beli!”
Semenjak kami menghabiskan waktu berbelanja di Kober, aku tidak lupa untuk menyempatkan berfoto dengan Anika. Aku sudah berniat tidak menggunakan kamera kak Laila, kameranya aku tinggal di meja kamarku, aku takut nanti rusak dan aku pasti akan dimarahi. Aku mengandalkan handphone 3,2 Mp untuk berfoto dengannya setidaknya ada dokumentasi bersama dirinya. 

Sudah sore dan kita sudah puas berbelanja di Kober artinya sudah saatnya pula kami berpisah. Anika pulang menggunakan motor bersama masnya, sementara aku masih menunggu angkutan umum tiba. Sudah semakin gelap dan angkutan umum ke arah rumahku belum juga muncul. Aku berbaju ungu dan berjilbab ungu pada saat itu, tidak aku sangka ada sebuah mobil berhenti di hadapan aku, kemudian seseorang turun dari mobil itu dan mendorongku naik ke dalam mobilnya. Tidak ada seorang pun pada saat itu dan aku juga tidak sempat berteriak meminta tolong karena sudah dibius terlebih dahulu. 

Ketika terbangun, aku tidak dapat bergerak dan tidak pula dapat berteriak karena tubuhku diikat oleh tali dan mulutku ditutup dengan lakban hitam. Ketika setengah kesadaranku mulai kembali tersebut, aku menangkap sedikit percakapan dari para penculik itu.
“Halo, iya bos, ini artisnya udah diculik,” kata salah seorang penculik tersebut.
“Dasar bodoh, bukan dia orangnya!” teriak bosnya melalui handphone.
“Loh kok salah bos, kan bos bilang, kalo orangnya pake baju ungu jilbab ungu.”
“Buktinya artis itu masih tampil di TV semalam!”
“Bos sih ga ngasih liat fotonya, jadi salah tangkep kan!”
“Loh kok jadi kamu yang marah sama saya, seharusnya kalian udah taulah siapa oranngnya, artis terkenal gitu.”
“Ya maklum bos, kita jarang nonton TV.”
“Huh payah, yasudah, buang aja dia ke laut!”
“Oke bos!”
Penculik itu menghampiriku dan menggiringku ke arah pintu. Aku tidak mengira bahwa aku sedang berada di dalam helikopter. Tanpa dibuka ikatannya dan dilepaskan lakban hitamnya terlebih dahulu serta tanpa perasaan dia langsung mendorongku dari ketinggian tersebut ke arah laut. Aku sudah tidak sempat memikirkan betapa kasar, jahat, dan kejamnya para penculik itu terhadapku, aku hanya berpikir mungkin ini merupakan akhir dari hidupku, tanpa berpikir panjang lagi aku langsung berteriak di dalam hati mengucapkan kalimat syahadat.
“Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah!”
“Ya Allah, lindungilah keluarga hamba, panjangkanlah umur kedua orang tua hamba dalam keberkahan. Bila memang ini akhir dari hidupku, hamba minta ampun terhadap segala dosa yang hamba pernah perbuat. Sungguh hamba tidak sanggup terbakar dalam panasnya neraka dan hamba pun tidak layak masuk ke dalam surga-Mu ya Allah.” Aku berdo’a sebelum aku benar-benar menyentuh air kemudian di makan hewan laut atau kehabisan napas di dalam laut. Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk menyelamatkan diri, walaupun aku bisa berenang tetapi dalam kondisi masih terikat seperti ini, aku tidak mungkin bisa melakukannya.
“ALLAHU AKBAR!” teriakku dalam hati ketika aku sudah tenggelam ke dalam birunya laut, kemudian menabrak batu karang, dan seketika itu juga aku tidak sadarkan diri.
  
Sepertinya aku sudah berada di alam lain, kulihat ada sesosok pria berdiri di depanku, mungkin dia malaikat. Tetapi tubuhku tidak dapat aku gerakkan, aku terbaring lemah di atas alas empuk, aku mengira-ngira apa yang akan dilakukan oleh malaikat tersebut terhadapku. Dia tersenyum ke arahku dan menghampiriku.
“Bagaimana, sudah baikan?” tanya malaikat itu.
“Tubuhku kaku sekali, mau dibawa ke mana aku?” aku bertanya.
“Tetaplah di sini sampai kondisimu menjadi lebih baik, aku akan merawatmu.”
“Terima kasih malaikat, kau baik sekali terhadapku.”
“Bukan, aku bukan malaikat, aku manusia sepertimu.”
“Oh, jadi aku masih hidup?”
“Tentu, kamu masih hidup, sudahlah istirahat saja dulu.”
“Baik,” jawabku.

Setelah beberapa hari dirawat olehnya, kondisiku sudah mulai membaik, aku sudah dapat berdiri walau masih agak terpincang-pincang. Hari itu adalah hari pertama aku keluar dari bilik kecil tersebut, sudah berhari-hari aku mengeram di sana.
“Wah kau sudah bisa berdiri,” sambut kak Aurum dari kejauhan. Kelihatannya dia habis mengumpulkan kayu bakar untuk menyalakan api. Aku berusaha menghampirinya tetapi tubuhku tidak cukup kuat untuk melakukan itu. Jadi, aku hanya menunggu dia sampai dia yang menghampiriku.
“Sini, biar aku saja yang menyalakannya, jadi kakak bisa mengerjakan hal yang lainnya.”
“Ah sudahlah, aku saja, kamu duduk saja di sini.”
“Aku saja Kakak, aku tahu, aku bisa menyalakannya.”
“Sudahlah jangan bohong, berjalan pun kau masih tertatih-tatih, bagaimana mau menyalakan api.”
“Hehe, iya kak. Baiklah, aku duduk saja di sini.” 

Beberapa hari kemudian, aku sudah dapat berjalan dengan lancar. Aku sudah dapat membantu kak Aurum mencari ikan di laut, membantunya mengumpulkan kayu bakar, membantunya berburu, membantunya mencari buah-buahan di dalam hutan, serta mengumpulkan dedaunan yang bisa dimakan. Sungguh merupakan pengalaman yang menyenangkan yang belum pernah aku alami sebelumnya.
“Kak Aurum, jika kau bersedia, jika nanti akhirnya aku dapat kembali ke rumah, pulanglah bersamaku, jadilah kakakku, aku yakin kedua orang tuaku bersedia mengangkatmu sebagai anaknya. Kau sungguh baik dan sayang kepadaku, walaupun aku memiliki empat orang kakak, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang begitu sayang kepadaku sepertimu,” rengekku memohon kepada kak Aurum.
“Liyana, aku sudah berjanji kepada diriku sendiri kalau aku tidak akan meninggalkan pulau ini. Ada begitu banyak kenangan aku bersama keluargaku di sini,” kata kak Aurum.
“Jadi kau memiliki keluarga?” tanyaku.
“Iya, keluargaku merupakan satu-satunya yang menghuni pulau ini, kami bahagia tinggal di sini. Suatu hari, tsunami menghantam pulau ini. Seluruh anggota keluargaku: ayah, ibu, kakak, dan adikku meninggal seketika, hanya aku yang selamat. Kau seharusnya bersyukur Liyana. Kamu masih memiliki keluarga, walaupun seperti yang kau bilang bahwa kakak-kakakmu itu tidak menyayangimu setidaknya mereka masih memperhatikan kebutuhan sehari-harimu. Jika pun mereka tidak menyayangimu, kamu harus berusaha agar mereka menyayangimu dengan menyayangi mereka terlebih dahulu. Seperti jika kamu ingin dihormati orang lain maka hormatilah orang lain terlebih dahulu.”
“Iya kak, kau benar,” kataku.
Perkataan kak Aurum memang benar, seharusnya memang aku yang menyayangi mereka terlebih dahulu jika ingin disayangi oleh mereka.
“Terima kasih banyak nasehatnya Kak, semoga Kakak selalu dilindungi oleh Allah, diberi kesehatan, dan dijauhi dari marabahaya,” kataku sambil tersenyum lebar kepadanya. Namun, raut wajahku kembali sedih.
“Lalu kenapa kau masih sedih sekarang?” tanya kak Aurum.
“Tiga hari lagi kedua orang tuaku akan pulang dari tanah suci, aku ingin sekali menyambut kepulangan mereka seandainya bisa.”
“Sayang sekali, pulau ini sangat jauh dari kota dan jarang ada yang melintasi pulau ini. Kamu berdo’a saja semoga ada keajaiban yang datang kepadamu sehingga kamu bisa pulang.”
“Iya, semoga saja. Kak Aurum, ngomong-ngomong bagaimana ceritanya kakak bisa menyelamatkan aku?” tanyaku.
“Oh, tentang hal itu. Jadi begini, ketika kakak sedang berada di tepi pantai, kakak melihatmu dijatuhkan ke arah laut dari helikopter oleh seseorang. Kakak menyadari bahwa area tempat kejatuhanmu tersebut sangat berbahaya karena ada banyak sekali karang. Tanpa berpikir panjang, kakak langsung bergegas untuk menyelamatkanmu. Belum tiba kakak di tempat kejatuhanmu, air laut yang mengenai kakak sudah berubah warnanya menjadi merah dan pastinya air laut tersebut telah bercampur dengan darahmu. Kamu sudah tidak sadarkan diri saat kakak tiba untuk menyelamatkanmu ....” Kak Aurum berhenti bercerita sambil menarik napasnya.
“Lalu?” tanyaku dengan penuh penasaran.
“Lalu kakak membawamu segera ke tepi pantai. Sesampainya di tepi pantai, kakak langsung memeriksa apakah kamu masih hidup atau sudah mati. Kakak tidak menyangka dengan kondisimu yang sangat menyedihkan itu, berlumuran darah dan masih terikat oleh tali, ternyata detak jantungmu masih terdengar. Segera kakak membawamu ke dalam bilik kecil itu dan merawatmu.”
“Berapa hari aku tidak sadarkan diri Kak?” tanyaku lagi.
“Sekitar tiga hari, dan ketika akhirnya kau sadarkan diri, kau malah menganggapku sebagai malaikat,” kata kak Aurum sambil tertawa kecil, “memangnya, apa yang kau pikirkan selama tidurmu itu?”
“Aku hanya mengira aku sudah mati dan telah memasuki alam lain ...,” kataku dengan serius, kemudian aku melanjutkannya dengan berkata, “Dan aku sungguh berterima kasih kepadamu karena telah menyelamatkanku. Aku pasti akan membalas budi baikmu selama ini.”
“Ah, tidak usah seperti itu, kakak ikhlas menyelamatkan dan merawatmu,” kata kak Aurum. Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya.

Ketika seperti biasa di pagi hari kami pergi ke pantai untuk mencari ikan di laut, kami melihat ada sebuah kapal datang mendekat dengan beberapa orang marinir ada di dalamnya. Aku bersama kak Aurum melambai-lambaikan tangan ke arah mereka--semoga saja mereka dapat menolongku dan membawaku pulang ke rumah--mereka semakin dekat ke arah perahu kecil kami. Kemudian salah seorang marinir bertanya kepada kami, “Apakah kalian pernah menemukan ada sesosok mayat wanita di sekitar sini?”
“Memangnya ada kejadian apa Pak?” tanya kak Aurum.
“Beberapa hari yang lalu, ada seorang wanita dijatuhkan dari helikopter ke arah laut oleh dua orang penculik dan kami tidak yakin wanita tersebut masih hidup. Oleh karena itu, kami datang ke sini setidaknya dapat menemukan mayatnya ...,”
“Aku pasti wanita yang dimaksud itu,” kataku memotong pembicaraannya.
“Maksudmu?” tanya marinir itu.
“Namaku Liyana, aku bisa berada di sini karena telah diselamatkan oleh kak Aurum setelah aku dijatuhkan dari helikopter ke arah laut oleh para penjahat yang tidak memiliki perasaan itu,” jawabku dengan sungguh-sungguh.
“Oh, iya benar, mayat yang kita cari itu bernama Liyana,” sambung salah seorang marinir lainnya.
“Tapi aku masih hidup!” teriakku.
“Maaf, maksud saya, wanita yang kita cari itu bernama Liyana.”
“Liyana, sebaiknya kamu segera naik ke kapal kami, kita akan ke kota dan membawamu pulang, sebelum cuacanya menjadi lebih buruk,” kata Marinir itu.
“Tapi kak Aurum?” aku menoleh ke arah kak Aurum.
“Sudahlah, pergi saja, aku tidak apa-apa di sini. Bukankah ini keinginanmu?”
Aku mengangguk saja dan mengikuti perintah marinir itu.
“Kak Aurum, selamat tinggal! Aku sangat menyayangimu. Suatu hari nanti aku akan kembali ke sini. Jaga dirimu baik-baik, ya!” teriakku dari dalam kapal yang semakin menjauhi perahu kecil itu.

Sesampainya di rumah, aku langsung disambut dengan penuh kehangatan dan kerinduan oleh kakak-kakakku, sepintas aku melihat wajah mereka, seperti menandakan adanya ketidakpercayaan bahwa aku masih hidup. Marinir yang mengantarkanku pulang ke rumah, langsung bergegas kembali ke kantor untuk mengatasi masalah lainnya, tidak lupa aku berterima kasih kepadanya terlebih dahulu.
“Liyana!” sambut kak Raihan sambil memelukku, “Kukira kau sudah mati, Alhamdulillah, ternyata kau masih hidup.” Aku hanya tersenyum mendengarnya.
Kak Riza kemudian juga menghampiriku, memelukku, dan mengatakan betapa rindunya ia terhadapku. Lain dengan kak Rozi, dia tetap saja menjaga wibawanya, dia hanya memelukku dan tidak mengatakan apapun, tampaknya dia juga merindukanku karena kulihat matanya agak sedikit berkaca-kaca.
Aku belum sempat mengatakan apapun lalu kak Laila mucul dari luar, sedikit berlari menghampiriku, langsung meraih bahuku, dan memelukku. Dia terus saja meminta maaf kepadaku, dia mengatakan bahwa dia sungguh-sungguh meminta maaf karena telah menuduhku yang merusakkan kameranya, dia tidak tahu kalau ternyata anaknya sendirilah yang merusakkannya. Tampaknya kak Laila merasa sangat bersalah terhadapku, padahal aku rasa kejadian yang aku alami ini tidak ada hubungannya dengan kamera itu, lagipula aku sudah memaafkannya sebelum peristiwa penculikan itu terjadi.
Sepertinya sudah saatnya aku berbicara karena tampaknya kakak-kakakku sangat ingin mengetahui bagaimana aku bisa selamat, “Kakak-kakakku, kalian harus mengetahui betapa sayangnya aku kepada kalian, aku sangat senang bisa bertemu dengan kalian lagi. Kalian juga harus tahu betapa aku sangat membutuhkan pertolongan kalian pada saat peristiwa yang mengejamkan itu terjadi, untungnya ada kak Aurum yang menyelematkanku.”
“Siapa kak Aurum itu?” tanya kak Raihan.
Sebelum aku menjawab pertanyaan kak Raihan, kak Laila menyuruh kami untuk melanjutkan perbincangan di ruang keluarga, sambil duduk-duduk, minum minuman dingin, dan makan makanan ringan yang segera disediakan oleh kak Laila. Langsung saja aku menceritakan kepada mereka banyak hal tentang apa saja yang telah terjadi kepadaku selama itu sejak penculikan, penyelamatan, perawatan, dan kegiatan sehari-hariku bersama kak Aurum. Mereka mendengarkannya dengan penuh antusias.
Aku juga penasaran bagaimana ceritanya marinir itu bisa menemukanku. Kemudian mereka bergantian menceritakannya kepadaku. Katanya, sejak aku tidak juga pulang ke rumah setelah pergi bersama Anika ke Kober, kakak-kakakku panik dan menelpon teman-temanku menanyakan apakah aku bersama mereka atau tidak. Lalu Tomi menjelaskan bahwa kemungkinan, aku pergi dari rumah karena tidak senang telah diperlakukan yang tidak menyenangkan dari ibunya. Tomi mengetahui bahwa aku menangis di kamarku setelah aku keluar dari rumahnya, dan kemudian Tomi mengatakan kepada ibunya bahwa bukan akulah yang merusakkannya melainkan dirinya sendiri. Dia berkata bohong pada saat itu  karena takut dimarahi oleh ibunya sehingga hal ini membuat kak Laila merasa bersalah. Kakak-kakakku langsung saja melapor ke kantor polisi mengenai berita kehilanganku, Anika juga diajak untuk menjadi saksi. Ketika Anika ditanya-tanya oleh polisi, akhirnya diketahui bahwa aku membawa barang belanjaan, dan barang belanjaan yang ditemukan oleh seseorang di depan Kober itu sama persis dengan yang dibawa aku. Lalu orang yang menemumakan barang belanjaanku tersebut dipanggil ke kantor polisi untuk menjadi saksi. Ternyata orang itu artis terkenal, dia juga mengenakan baju ungu dan jilbab ungu pada saat itu. Kemudian disimpulkan bahwa aku terlibat dalam kasus salah penculikan. Artis itu menjelaskan bahwa belakangan ini dia memang sedang dikejar-kejar oleh orang-orang suruhan mantan manajernya, katanya dia mau dijual kepada orang besar. Kemudian para penculik itu berhasil ditangkap dan dimintai keterangan mengenai kasus salah penculikan itu, dan akhirnya mereka memberi tahu di mana lokasi tempat aku dijatuhkan. Keesokan harinya, marinir mencari di sekitar lokasi yang telah ditunjukkan, dan akhirnya mereka berhasil menemukanku. Sungguh aku tidak mengira perjalanan hidupku bakal diwarnai oleh pengalaman-pengalaman seperti ini. Aku tidak merasa menyesal karena dengan begitu aku bisa bertemu dengan malaikat itu, kak Aurum.

Keesokkan harinya adalah hari yang sudah aku nanti-nantikan, sebuah hari ketika kedua orang tuaku akhirnya pulang dari tanah suci. Aku bersama kakak-kakakku berangkat menuju bandara untuk menyambut mereka. Tidak begitu lama menunggu akhirnya aku melihat ayah dan ibu turun dari pesawat. Kemudian kami menghampirinya.
“Ayah! Ibu!” teriakku memanggil mereka.
“Bagaimana kabarmu Nak, kau baik-baik saja?” tanya ibuku.
“Aku baik-baik saja Bu,” jawabku.
“Tetapi sepertinya kamu habis ada masalah, ada hal apa yang menyebabkan keningmu terluka?” tanya ayahku.
“Hehe, nanti saja aku ceritakan.”
Posted on by Nurul Fajry Maulida | No comments

0 comments:

Post a Comment

If you want to be notified that I've answered your comment, please leave your email address. Your comment will be moderated, it will appear after being approved. Thanks.
(Jika Anda ingin diberitahu bahwa saya telah menjawab komentar Anda, tolong berikan alamat email Anda. Komentar anda akan dimoderasi, akan muncul setelah disetujui. Terima kasih.)