Sunday, September 15, 2013

Catatan Praktikum Teksol #2

 
Akibat suatu hal, di minggu kedua, saya tidak dapat hadir pada kelas yang seharusnya. Saya harus izin di kelas pagi tersebut, dan karena pada kelas praktikum ini tidak boleh ada absen, maka saya ganti waktunya tetap pada hari yang sama namun pada waktu siangnya.

Minggu kedua ini agendanya adalah pengenalan alat. Dosen pada pertemuan tersebut adalah kak Nia, tetapi juga ada Pak Eri sama Mas Indra yang juga banyak memberikan penjelasan terkait alat dan penggunaannya.

Sebelumnya, pada praktikum teksol ini perlu disiapan kertas roti (diperlukan sebagai wadah ketika menggunakan ayakan), sarung tangan (agar ketika memegang bahan menjadi lebih bersih), kelereng (untuk membantu proses pengocokkan), wadah plastik (tempat memasukkan bahan untuk pengocokkan), head cover (mencegah rambut mengkontaminasi bahan), masker, dan tisu gulung.

Pada pertemuan tersebut, di awal kami diajari terkait proses-proses saat pembuatan tablet dengan cara granulasi kering. Pertama-tama semua bahan perlu diayak. Setelah itu, bahan boleh dicampur  sesuai dengan formulasi yang sudah dibuat. Cara pencampurannya dengan bahan-bahan lain jangan digerus, karena apabila digerus maka granul yang terbentuk akan menjadi serbuk kembali. Kemudian baru dapat dislugging. Slugging merupakan proses kompresi menggunakan mesin tablet.

Sementara pembuatan tablet dengan cara basah dilakukan dengan cara sebagai berikut, bahan-bahan dicampurkan melalui proses milling, kemudian dikompakkan dengan cara dikepal. Setelah itu kepalan-kepalan tersebut apabila dilakukan dengan cara manual, digeruskan di atas ayakan, agar dihasilkan granul-granul yang siap dicetak. Sementara apabila menggunakan mesin, kepalan tadi tinggal dimasukkan ke dalam alat dan akan keluar granul-granul dengan ukuran yang sesuai dengan mesh ayakan.

Selain itu, pada pertemuan tersebut, juga dikenalkan dengan salah satu bahan yang biasa digunakan sebagai binder (pengikat), yaitu povidon. Apabila menggunakan granulasi kering, yang biasa digunakan adalah povidon serbuk, sementara apabila menggunakan granulasi basah, yang biasa digunakan adalah povidon cair. Antara povidon serbuk dan cair terdapat kelebihan dan kekurangan. Povidon serbuk apabila dibandingkan dengan povidon cair, apabila dalam proses pengerjaan dibutuhkan binder 3%, maka dapat dimasukkan sesuai dengan kebutuhan, sementara apabila povidon cair, apabila dibutuhkan binder 3%, maka dibuat povidon cair dengan menggunakan air sedemikian rupa hingga kadarnya menjadi 3%, namun ketika telah dicampurkan dengan bahan lain dan ternyata kebasahannya sudah cukup sehingga perlu dihentikan pemberian povidonnya agar tidak terlalu basah maka kadar yang dikehendaki yaitu 3% tidak dapat terpenuhi. Dengan demikian dalam hal ini, apabila menggunakan binder yang cair, ketika melarutkan binder dalam bentuk serbuknya, gunakan pelarut secukupnya, jangan terlalu banyak, yang penting basah. Di lain sisi, terkait homogenitas, apabila menggunakan povidon serbuk, karena memang warnanya yang sama dengan bahan-bahan lain yang dicampurkan pada umumnya, maka kehomogenitasannya sulit terlihat, sementara apabila menggunakan povidon cair yang berwarna kuning dan dalam wujud cair, berbeda dengan bahan-bahan lainnya maka kehomogenitasannya dapat terlihat.

Ketika melakukan pengayakan terhadap bahan-bahan, kami diingatkan Pak Eri untuk mengayak menggunakan ayakan yang mesh 8 terlebih dahulu, baru setelah itu dapat menggunakan ayakan yang sesuai dengan formulasi. Terkait mesh, mesh merupakan nomor pada ayakan yang menunjukkan jumlah lubang pada tiap 1 inchi liniernya. Semakin besar nomornya, maka makin banyak jumlah lubangnya dan makin kecil ukuran granul yang dihasilkan. Misalnya saja ayakan dengan mesh 16, biasa digunakan untuk membentuk tablet dengan bobot 700-500 mg, ayakan dengan mesh 18, untuk tablet dengan bobot 300-200, dan ayakan dengan mesh 100-200 untuk tablet dengan bobot 100-200 mg.

Memilih bahan tambahan untuk zat aktif yang akan dibentuk tablet, jangan terlalu banyak, cari bahan yang memiliki multi fungsi, misalnya selain dapat digunakan sebagai binder, bisa juga sebagai filler, dan glidan.

Setiap proses pembuatan tablet terdapat IPC-nya (In Process Control). Misalnya setelah dibentuk granul, sebelum dikompresi, perlu untuk diuji kadar airnya, setelah sudah sesuai, baru dapat dicetak. Setelah dicetak, diuji keseragaman bobot, keregasan dan waktu hancurnya, untuk uji ini, lakukan ketika baru mencetak beberapa tablet saja, jangan sebelum dilakukan uji sudah dicetak sekitar ratusan tablet, karena kalau tidak sesuai diketahui dari hasil uji, tablet yang sudah dicetak lainnya menjadi sia-sia. Terkait dengan uji kekerasan, sebenarnya tidak ada parameter pastinya, pada intinya apabila uji yang official seperti beberapa uji yang disebutkan sebelumnya telah sesuai, maka sudah cukup evaluasi tabletnya dan dapat dipasarkan.

Demikian yang dapat saya sampaikan. Ini hanya sekedar catatan yang tentunya terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, mohon dimaafkan. Setidaknya sedikit banyak terdapat manfaat. Terima kasih sudah berkunjung :)

2 comments:

  1. Mohon maaf kak saya izin bertanya. Pada bagian pengayakan, kakak bmenyebutkan bahwa semakin kecil nomornya, maka makin banyak jumlah lubangnya dan makin kecil ukuran granul yang dihasilkan. Apakah tidak terbalik bahwa semakin besar nomornya maka semakin banyak jumlah lubangnya dan semakin kecil ukuran granul mengingat pengertian mesh itu sendiri jumlah lubang tiap 1 inch? Mohon maaf kak sebelumnya. Terima kasih

    ReplyDelete
  2. Wah iya benar, saya salah memberikan penjelasan. Terima kasih sudah dikoreksi. Tulisan saya di atas sudah diedit yaa, sesuai dengan koreksi kamu. Terima kasih yaa, sudah memperhatikan :D

    ReplyDelete

If you want to be notified that I've answered your comment, please leave your email address. Your comment will be moderated, it will appear after being approved. Thanks.
(Jika Anda ingin diberitahu bahwa saya telah menjawab komentar Anda, tolong berikan alamat email Anda. Komentar anda akan dimoderasi, akan muncul setelah disetujui. Terima kasih.)