Saturday, October 12, 2013

Catatan OGSO #4

 
Pada pertemuan keempat, pada mata kuliah OGSO ini, kelompok 2 berkesempatan menyampaikan materi terkait nyeri. Yang dimaksud dengan nyeri adalah suatu mekanisme protektif (perlindungan) dari tubuh untuk menimbulkan kesadaran bahwa telah ada atau akan terjadi kerusakan jaringan. Respon dari adanya nyeri bisa berupa perilaku termotivasi seperti penarikan maupun pertahanan, bisa berupa reaksi emosi seperti menangis atau ketakutan, dan juga bisa berupa persepsi subjektif terhadap nyeri akibat pengalaman di masa lalu. 

Terkait dengan prevalensi (suatu ukuran seberapa sering suatu penyakit atau kondisi terdapat pada suatu kelompok orang) nyeri, dengan jumlah responden sebanyak 1009 orang dengan usia antara 18-84 tahun, 66% mengalami nyeri dengan durasi pendek sementara sisanya dilaporkan mengalami obvious pain (nyeri yang lebih berat sehingga menyebabkan penderitanya perlu menghentikan aktivitasnya). Nyeri yang paling sering terjadi berada di sekitar leher, pundak, lengan, punggung bagian bawah, dan kaki.

Nyeri bisa terjadi apabila terdapat rangsangan nyeri yang dapat sampai ke reseptor nyeri. Dalam hal ini, reseptor nyeri ada 3, yaitu reseptor nosiseptor mekanis, nosiseptor termal, dan nosiseptor polimodal. Reseptor nosiseptor mekanis merupakan reseptor yang akan memberikan respon dari rangsangan nyeri yang berupa hal mekanis seperti tusukan, benturan, maupun cubitan. Sementara reseptor nosiseptor termal merupakan reseptor yang akan berespon apabila rangsangannya berupa suhu yang berlebihan terutama panas. Lalu, reseptor nosiseptor polimodal merupakan reseptor yang akan memberikan respon apabila rangsangannya berupa zat yang bersifat iritatif atau merusak seperti zat kimia. Perlu diketahui bahwa setelah stimulus berikatan dengan reseptor, maka diiringi dengan pelepasan mediator nyeri seperti histamin, bradikinin, prostaglandin, dan leukotrien.

Berdasarkan jalur stimulus nyerinya, nyeri dapat dibedakan menjadi 2, yaitu nyeri cepat dan nyeri lambat. Nyeri cepat dapat terjadi karena stimulusnya merupakan rangsangan berupa nosiseptor mekanis maupun termal, selain itu juga dibawanya oleh saraf A-delta kecil yang bermielin, dan biasanya terlokalisasi. Sementara nyeri lambat dapat terjadi karena stimulusnya merupakan rangsangan berupa nosiseptor polimodal yang dibawa oleh saraf C kecil yang tidak bermielin, dan biasanya tidak atau kurang terlokalisasi.

Nyeri berdasarkan mekanismenya dibagi menjadi 3, yaitu nyeri fisiologis, nyeri inflamasi, dan nyeri neuropatik. Sementara nyeri berdasarkan kemunculan nyerinya dibagi menjadi 2, yaitu nyeri akut dan nyeri kronik.

Nyeri fisiologis merupakan nyeri yang tidak disebabkan oleh adanya kerusakan jaringan, melainkan adanya suatu hal seperti pukulan. Sementara nyeri inflamasi merupakan nyeri yang disebabkan oleh adanya kerusakan jaringan akibat stimulus yang sangat kuat, jaringan yang rusak inilah yang kemudian mengalami inflamasi, mengeluarkan mediator inflamasi yang kemudian juga dapat mengaktifasi atau mensensitisasi reseptor nosiseptor nyeri baik secara langsung maupun tidak langsung. Lalu, untuk nyeri neuropatik, nyeri neuropatik merupakan nyeri yang disebabkan oleh adanya kerusakan saraf, hal ini biasa terjadi oleh pasien yang biasanya mengalami gangguan metabolik.

Bedanya nyeri akut dengan nyeri kronis berdasarkan durasinya adalah, untuk yang nyeri akut, biasanya berlangsung kurang dari 6 bulan, sementara nyeri kronis biasanya terjadi lebih dari 6 bulan. Nyeri akibat kecelakan dan nyeri pascabedah merupakan contoh nyeri akut. Sementara contoh nyeri kronik adalah nyeri akibat kanker.

Ada lagi yang menggolongkan nyeri menjadi 2 saja, yaitu nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang disebabkan oleh stimulus noksius seperti trauma, penyakit, atau proses radang yang kemudian bisa dibedakan kembali menjadi 2, yaitu nyeri viseral dan nyeri somatik. Nyeri viseral merupakan nyeri yang berasal dari rangsangan pada organ viseral seperti usus besar atau pankreas, sementara nyeri somatik merupakan nyeri nosiseptif yang berasal dari jaringan seperti kulit, otot, tulang atau sendi. Lalu nyeri neuropatik, sebagaimana dengan definisi yang sudah disebutkan sebelumnya, nyeri neuropatik merupakan nyeri yang disebabkan oleh adanya kerusakan atau gangguan pada sistem saraf. 

Mekanisme terjadinya nyeri nosiseptif dimulai dari adanya stimulus noksius yang kemudian mengalir melalui serat saraf nyeri aferen, rangsangan dapat berupa rangsangan mekanis, termal, atau kimiawi yang kemudian menimbulkan potensial aksi yang diaktivasi oleh adanya pelepasan bradikinin, ion K+, prostaglandin, histamin, dan leukotrien. Rangsangan terebut akan dihantarkan ke dorsal horn yang ada di sumsum tulang belakan melalui dorsal root ganglion. Dari sini akan ada yang menuju talamus atau ada yang langsung melakukan reticular formation berupa peningkatan kewaspadaan. Ketika di talamus, akan terjadi pembentukkan persepsi nyeri yang kemudian dilanjutkan ke tingkatan otak yang lebih tinggi yaitu di korteks somatosensori untuk terjadi adanya lokalisasi nyeri tersebut. Selain itu, ketika di talamus, nyeri juga dibawa ke hipotalamus yaitu di sistem limbiknya untuk diberikan respon berupa perilaku dan perasaan terhadap nyeri tersebut. Selain dari talamus, stimulus yang tadi membentuk reticular formation juga dapat sampai ke hipotalamus ini.


Jadi dalam mekanisme terjadinya nyeri ini terdapat 4 proses yang terlibat, yaitu transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.  Transduksi merupakan perubahan rangsangan nyeri menjadi suatu aktivitas listrik yang akan diterima oleh ujung-ujung saraf. Transmisi merupakan penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses transduksi sepanjang jalur nyeri. Modulasi merupakan modifikasi terhadap rangsangan. modifikasi ini dapat berupa augmentasi (peningkatan) maupun inhibisi (penghambatan). Sementara persepsi merupakan proses terakhir saat stimulasi tersebut mencapai korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran yang selanjutnya diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut. Persepsi terhadap nyeri ini bergantung pada saat modulasi sehingga pada akhirnya akan ada nosisepsi tanpa nyeri, nosisepsi dengan nyeri, dan ada nyeri tanpa nosisepsi. Untuk memperjelas terkait nosisepsi, nosisepsi adalah proses penyampaian informasi dari adanya stimulus noksius di perifer ke sistem saraf pusat.

Sementara mekanisme terjadinya nyeri neuropatik berawal dari adanya impuls yang berasal dari adanya kerusakan atau disfungsi sistem saraf baik perifer maupun pusat, kemudian terjadi pemrosesan input sensorik yang abnormal oleh sistem saraf perifer atau saraf pusat. Kerusakan saraf atau rangsangan yang terus menerus dapat menimbulkan rangsangan saraf secara spontan berupa rangsangan nyeri saraf otonom sehingga dapat meningkatkan pelepasan bahan-bahan dari saraf dorsal horn secara progresif. Penyebabkan daapt diakibatkan oleh trauma, radang, penyakit metabolik seperti diabetes melitus, infeksi misalnya Herpes zooster, tumor, toksin, dan penyakit neurologis primer.

Gejala nyeri secara umum antara lain adanya rasa panas seperti terbakar, menyengat, pedih, nyeri yang merambat, nyeri yang hilang timbul, tajam menusuk, dan pusing. Terkait nyeri terdapat gejala-gejala yang muncul tetapi tidak spesifik seperti depresi, kelelahan, insomnia, rasa marah, ketakutan, dan kecemasan. Sementara gejala-gejala nyeri untuk yang lebih spesifik seperti pada nyeri akut, nyeri kronik, nyeri nosiseptik, dan nyeri neuropatik akan dijelaskan di bawah ini.

Gejala nyeri akut biasanya akan terjadi hipertensi (peningkatan tekanan darah), takikardia (denyut jantung yang lebih cepat), diaforesis (keringat berlebihan), midriatik (pelebaran atau dilatasi pupil mata), dan pallor (kulit pucat akibat kekurangan darah). Gejala nyeri kronik antara lain akan terdapat masalah psikologis, ketergantungan, toleransi terhadap analgesik, gangguan pola tidur, dan kepekaan terhadap perubahan lingkungan. Gejala nyeri nosiseptik antara lain nyeri seperti dipukul dan ada rasa tidak nyaman yang terlokalisasi. Sementara gejala nyeri neuropatik antara lain tidak dapat dijelaskan dengan baik, nyeri seperti membakar, pedih, terasa seperti tersengat listrik, dan menusuk. Perasaan terkait nyeri akan selalu bersifat subjektif sehingga penilaian terkait jenis nyeri perlu didapatkan dari informasi pasien secara langsung dengan menanyakan riwayat penyakitnya.

Mengenai algoritma terapi nyeri dapat dibedakan berdasarkan tingkatan rasa nyerinya yaitu nyeri ringan, nyeri sedang, dan nyeri berat. Untuk ketiga jenis nyeri tersebut, paling pertama adalah memeriksa frekuensi atau lama sakit, waktu timbul, dan penyebab nyerinya secara teratur untuk mengetahui apakah nyerinya ringan, sedang, atau berat. Untuk yang ringan seperti nyeri tulang, dapat digunakan obat AINS secara teratur. Apabila satu obat sampai dosis maksimal tercapai, lanjutkan pemakaian. Jika nyeri masih berlanjut terus menerus atau sering kambuh, dapat digunakan dosis pencegahan atau sebelum nyeri muncul atau disebut dosis RTC (Round the Clock). Contoh obat nyeri ringan antara lain golongan obat analgesik nonoipioid yaitu parasetamol dan golongan obat AINS seperti ibuprofen dan naproxen.

Untuk nyeri sedang, penatalaksanaan harus didahulukan dibanding dengan terapi lain, gunakan satu obat sampai dosis maksimal tercapai, pertimbangkan terapi tambahan apabila memungkinkan. Contoh obat untuk nyeri sedang antara lain parasetamol, obat golongan AINS, kombinasi obat dengan opioid, dan obat nyeri dengan tambahan obat antidepresan trisiklik, antikonvulsan, dan steroid.

Untuk obat nyeri berat, obat morfin menjadi pilihan, gunakan semua terapi tambahan utuk meminimalkan kenaikan dosis, kontrol dosis lebih tinggi daripada dosis pemeliharannya, dapat ditambahkan antikonvulsan atau antidepresan trisiklik, apapun laporan tentang nyeri yang baru muncul, harus dikaji ulang. Contoh obat nyeri berat antara lain obat golongan opioid analgesik, AINS, obat nyeri dikombinasi dengan tambahan seperti obat antidepresan trisiklik dan antikonvulsan, serta steroid.

Obat-obat untuk nyeri ada 2 golongan utama yaitu obat nonopioid dan obat opioid. Obat golongan nonopioid bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase (COX) sehingga konversi asam arakhidonat membentuk prostaglandik terganggu lalu dapat mengurangi pembentukkan mediator nyeri. Obat golongan ini disebut juga sebagai analgetik perifer karena tidak mempengaruhi sistem saraf pusat sehingga tidak pula dapat menurunkan kesadaran serta ketagihan. Efek samping obat golongan nonopioid ini pada umumnya dapat menyebabkan gangguan pada lambung dan usus, kerusakan hati dan ginjal, dan reaksi alergi pada kulit. Efek samping ini timbul apa bila digunakan pada dosis yang tinggi dan pada waktu yang lama. Contoh obat golongan opioid antara lain asetaminofen, aspirin, diklofenak, etodolak, fenopren, ketoprofen, dan asam mefenamat.

Terkait dengan asprin, aspirin bekerja dengan menghambat COX-1 dan COX-2 secara nonselektif dan irreversibel, efek analgetiknya dicapai dengan menghambat rangsangan pada tingkat subkorteks. Indikasinya tentunya untuk meringankan rasa sakit akibat nyeri serta dapat menurunkan demam. Aspirin kontraindikasi dengan penderita tukak lambung dan dan pasien yang peka terhadap derivat asam salisilat. Selain itu, obat ini kontraindikasi dengan penderita asma, alergi, sedang terapi dengan antikoagulan, hemofilia, trompsitopenia, dan yang pernah mengalami perdarahan bahwwah kulit. Efek sampingnya antara lain iritasi lambung, perdarahan pada usus, dan pada dosis tinggi dapat menghasilkan zat yang mempengaruhi vitamin K sehingga memperpanjang waktu penggumpalan.

Obat golongan nonopioid yang lain, yaitu parasetamol atau asetaminofen, bekerja dengan cara menghambat COX-1 dan COX-2. Asetaminofen kontraindikasi untuk penderita yang hipersensitif terhadap parasetamol dan defisiensi G6PD, serta penderita yang mengalami gangguan hati karena asetaminofen pada dosis tinggi dan digunakan dalam jangka waktu yang lama dapat bersifat hepatotoksik sehingga pada penderita gangguan hati dapat memperparah kondisinya. Efek sampingnya yang lain antara lain demam rendah disertai mual, sakit perut, dan kehilangan nafsu makan. Efek samping berikutnya ada reaksi alergi seperti gatal-gatal, kesulitan bernafas, pembengkakkan wajah, bibir, lidah, atau tenggorokan. Efek samping selanjutnya dapat menyebabkan tremor, jumlah urin menurun dan gelap, tinja berwarna hitam atau berdarah, ikterus, nefrotoksik, dan kardiotoksik.

Terkait dengan interaksi obatnya antara lain:
  1. Asetaminofen dengan antikonvulsan seperti barbiturat, carbamazepin, dan fenitoin, dapat menyebabkan peningkatan konversi asetaminofen untuk metabolit hepatotoksik dan peningkatan risiko hepatotoksisitas.
  2. Asetaminofen dengan astikoagulan oral seperti warfarin dapat meningkatkan efek warfarin.
  3. Asetaminofen dengan aspirin dapat menyebabkan tidak adanya penghambatan efek antiplatelet asprin.
  4. Asetaminofen dengan isoniazid dapat menyebabkan peningkatan risiko hepatotoksisitas.
  5. Asetaminofen dengan fenotiasin dapat menyebabkan peningkatan risiko hipotermia berat.
  6. Asetaminofen dengan metoklopramida dan domperidon dapat meningkatkan absorpsi asetaminofen.
  7. Asetaminofen dengan alkohol dapat meningkatkan risiko hepatotoksisitas.
Asetaminofen dibandingkan dengan aspirin, ternyata aspirin memiliki efek antiinfalamasi yang lebih baik (++++) dibandingkan asetaminofen (++).

Obat golongan opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium. Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, derivat semisintetik alkaloid opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai morfin.
Ada 3 macam reseptor opioid yaitu Mu (μ), k (kappa), dan delta (δ). Reseptor mu akan memberikan respon berupa analgesia supraspinal, depresi fisik dan pernafasan, miosis, dan penurunan motilitas GI. Reseptok k akan memberikan respon berupa sedasi dan miosis. Sementara reseptor delta memberikan respon berupa disforia dan halusinasi.

Obat golongan opioid dapat dibedakan berdasarkan kerjanya pada reseptor, ada yang agonis penuh, agonis parsial, campuran agonis dan antagonis, serta antagonis. Sementara berdasarkan rumus bangunnya, golongan opioid dibedakan menjadi derivat fenantren, fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan benzomorfan.

Obat golongan opioid yang termasuk jenis fenantren antara lain morfin, hidromorfan, dan oksimorfan yang bersifat agonis kuat; kodein, oksikodon, dan hidrokodon yang bersifat agonis parsial; nalbufin dan beprenorfin yang bersifat agonis-antagonis; nalorfin, naloksom, dan naltrekson yang bersifat antagonis.

Yang termasuk jenis fenilheptilamin antara lain metadon yang bersifat agonis kuat, dan propoksifen yang bersifat agonis parsial. Yang termasuk jenis fenilpiperidin antara lain memeridin dan fentanil yang bersifat agonis kuat; dan difenoksilat yang berisfat agonis parsial. Yang termasuk jenis morfin antara lain levorfanol yang bersifat agonis kuat dan butorfanol yang bersifat agonis-antagonis. Sementara yang termasuk benzomorfan antara lain pentazosin yang bersifat antagonis-agonis.

Dalam hal ini ada 3 contoh obat opioid agonis yang akan dijelaskan terkait dengan mekanisme kerja, indikasi, efek samping, dan kontraindikasinya yaitu obat morfin, meperidin, dan metadon.

Morfin merupakan zat aktif utama yang ditemukan pada opium dari tanaman Papaver somniverum, bekerja secara langsung pada sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit. Morfin ini dapat diberikan secara oral, parenteral, maupun rektal. Morfin bekerja dengan cara mengurangi nyeri dan menimbulkan euforia dengan berikatan para reseptor opioid di otak, yaitu reseptor mu1 dan mu 2, kappa, dan delta. Agonis para reseptor opioid dapat mengurangi pelepasan transmitter sehingga dapat menghambat saraf mentransmisi rangsangan nyeri. Adanya penghambatan pada transmisi ini menyebabkan morfin memiliki efek analgetik yang kuat. Aktivitas morfin pada reseptor opioid yang berbeda dapat memunculkan aktivitas yang berbeda. Jika berikatan di reseptor mu 1 dapat memberikan efek analgesia, sementara pada reseptor kappa selain analgesia juga dapat menimbukan efek disforia. Disforia merupakan gangguan afektif berua rasa kemurungan dan ketidaknyamanan. Sementara apabila berikatan dengan reseptor mu 2, efek yang ditimbulkan lebih banyak selain analgesia, dapat menimbulkan efek depresi respiratori, euforia, penurunan motilitas GI, dan ketergantungan fisik. Oleh karena itu efek samping dari penggunakan morfin antara lain depresi pernafasan, sedatif, euforia, dan disforia. Selain itu dapat menyebabkan mual, muntah, tidak dapat berkonsentrasi, dilatasi vena dan arteriol sehingga menyebabkan hipotensi ortostatik, dan menyebabkan konstipasi. Kelemahan dari obat morfin ini adalah dapat menimbulkan efek adiksi dengan tanda-tanda habituasi dan ketergantungan fisik akibat adanya toleransi. Obat morfin memiliki kontraindikasi dengan alkohol atau depresan sistem saraf pusat lainnya sehingga dapat menimbulkan adanya penguatan depresi nafas dan potensi berbahaya lainnya yang kemungkinan bersifat letal.

Meperidin merupakan obat golongan opioid yang kurang poten dan lebih singkat kerjanya dibandingkan dengan morfin. Meperidin bekerja dengan mekanisme kerja yang sama dengan morfin. Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaannya juga kurang lebih sama seperti morfin. Namun untuk kontraindikasinya yang beda dari morfin, meperidin tidak boleh dikombinasikan dengan penghambat monoamin oksidase karena dapat menyebabkan depresi atau eksitasi pernafasan berat, delerium hiperpireksia (tidak sadar akibat panas tinggi), serta konvulsi. Selain itu, tidak dianjurkan untuk penderita gagal ginjal karena dapat menimbulkan tremor, mioklonus atau seizure (kejang). Meperidin tersedia dalam bentuk tablet, ampul, dan vial.

Metadon merupakan senyawa sintetik mirip morfin yang mana memiliki lama kerja yang panjang sehingga mekanisme kerjanya juga mirip seperti morfin. Metadon dapat diberikan secara peroral, IM, maupun SC. Efek analgetiknya sama kuat dengan morfin.

Sementara akan dijelaskan pula terkait obat-obatan yang termasuk golongan opioid agonis-antagonis, yaitu pentasozin, butorfanol, nalbufin, dan buprenorfin.

Obat golongan opioid agonis-antagonis selain dapat meredakan nyeri, juga mempunyai efek depresi nafas dan respon psikomimetik seperti halusinasi dan disforia. Pentasozin merupakan obat yang dapat memberikan gejala putu obat pada pasien yang telah mengalami ketergantungan, pentasozin merupakan obat pilihan ketika untuk nyeri sedang sampai berat. Butorfanol, nalbufin, dan buprenorfin merupakan obat pilihan kedua untuk nyeri sedang sampai berat dan juga dapat menimbulkan ketergantungan pada pasien yang mengalami ketergantungan. Terkait dengan kontraindikasi dan efek samping, sama seperti dengan morfin.

Sementara salah satu jenis obat golongan antagonis yaitu Nalokson, bekerja dengan cara terikat secara kompetitif ke reseptor opioid sehingga tidak menghasilkan efek analgesik. Dengan demikian, nalokson diberikan untuk pasien yang mengalami keracunan obat opioid. Jadi nalokson ini digunakan untuk mengatasi overdosis dan depresi pernafasan. Nalokson tersedia dalam bentuk injeksi.

Selain obat-obat yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat pula obat yang dapat bekerja secara sentral, yaitu tramadol yang merupakan analgesik yang dapat mempengaruhi mekanisme re-uptake monoamin sehingga dapat pula digunakan untuk pengobatan nyeri. Tramadol dapat diberikan secara peroral, rektal, intravena, dan intramuskular.

Demikian yang dapat saya sampaikan. Mohon maaf apabila terdapat kekurangan. Tulisan ini hanya merupakan catatan kuliah, jadi mohon tidak menjadikannya sebagai literatur. Terima kasih atas pengertiannya dan terima kasih sudah berkunjung :D

0 comments:

Post a Comment

If you want to be notified that I've answered your comment, please leave your email address. Your comment will be moderated, it will appear after being approved. Thanks.
(Jika Anda ingin diberitahu bahwa saya telah menjawab komentar Anda, tolong berikan alamat email Anda. Komentar anda akan dimoderasi, akan muncul setelah disetujui. Terima kasih.)