Saturday, September 27, 2014

Catatan Kimia Zat Toksik #3

Di pertemuan ketiga ini, dosen saya memulai kuliah dengan sebuah pertanyaan, "Mengapa bahan alam ada juga yang bersifat toksik?". Beberapa mahasiswa menjawab dengan sudut pandang mereka masing-masing. Jawaban yang tepat adalah bahwa pada dasarnya bahan alam yang awalnya tidak bersifat toksik, ketika mengalami proses metabolisme dalam tubuh, dapat mengalami berubahan modifikasi pada struktur senyawanya menjadi senyawa yang bersifat toksik. Lebih jelas terkait dengan mekanisnya sebenarnya sudah dijelaskan pada pertemuan yang lalu, silakan dibaca di sini

Di pertemuan ketiga, materinya melanjutkan yang kemarin terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi efek toksik, yang dalam catatan ini yang dibahas adalah interaksi kimia sebagai salah satu faktornya. Terkait interaksi kimia, ada berbagai macam jenis interaksi kimia antara lain:
  1. Aditif
  2. Sinergistik
  3. Potensiasi
  4. Antagonisme kimia
  5. Antagonisme fungsional
  6. Antagonisme kompetitif
  7. Antagonisme nonkompetitif
Aditif merupakan, interaksi kimia antara dua atau lebih senyawa toksik yang menghasilkan efek toksik yang saling menambahkan (efek toksiknya menjadi lebih besar, yaitu 1+1 = 2). Misalnya suatu senyawa dengan dosis tertentu apabila digunakan secara tunggal tidak mencapai efek toksik, namun ketika dikonsumsi bersama senyawa dengan efek yang sama, menjadi meningkatkan efek toksiknya sehingga bisa mencapai toksisitasnya. Contohnya adalah senyawa organofosfat, yang dikonsumsi secara tunggal dengan dosis biasanya tidak toksik, ketika digunakan bersama dengan senyawa organofosfat yang lain dengan dosis biasanya juga menjadi toksik.

Sinergistik merupakan interaksi dengan konsep yang sama seperti aditif, hanya saja, efek toksik yang ditimbulkan dapat lebih besar, karena 1+1 > 2. Contohnya adalah efek toksik yang dihasilkan akibat interaksi CCl4 dengan etanol pada hepar. Etanol dalam interaksi tersebut bertindak dalam meningkatkan absorpsi dari CCl4, etanol sendiri sudah bersifat toksik pada hati, adanya CCl4, menyebabkan etanol meningkatkan absorpsinya sehingga menyebabkan kadar CCl4 yang toksik semakin meningkat dalam tubuh sehingga efek toksik kombinasi menjadi lebih besar. 

Potensiasi merupakan interaksi kimia yang menyebabkan suatu senyawa dengan efek yang berbeda tapi mampu membuat senyawa yang lain berpotensi menimbulkan efek toksik. Contohnya adalah CCl4 dengan isopropanol. Adanya isopropanol menyebabkan CCl4 berpotensi menimbulkan hepatitis. 

Antagonisme kimia, merupakan interaksi kimia antara dua senyawa yang menghasilkan suatu efek yang  saling berlawanan sehingga akibatnya jika dua senyawa toksik berinteraksi dan menghasilkan antagonisme kimia ini, maka efek toksiknya menjadi saling ditiadakan sehingga tidak jadi memberikan efek toksik. Contohnya interaksi antara Dimerkaprol dengan logam-logam toksik. Adanya interaksi menyebabkan logam-logam toksik menjadi terkelasi oleh Dimerkaprol sehingga efek toksiknya menjadi tiada atau menurun. Meskipun demikian, suatu senyawa yang tadinya tidak toksik, ketika berinteraksi dengan senyawa lainnya dapat juga menyebabkan efek toksik. Contohnya adalah interaksi antara enzim dengan suatu logam. Yang seharusnya enzim dapat berikatan dengan senyawa endogen untuk mempertahankan fisiologis tubuh, ketika berinteraksi dengan logam, enzim tersebut dapat terkompleks, sehingga tidak ada yang dapat berikatan dengan senyawa endogen. Akibatnya terjadi penumpukkan atau akumulasi senyawa endogen sehingga akhirnya menimbulkan efek toksik. Contohnya adalah interaksi antara enzim kolinesterase dengan senyawa organofosfat. Interaksi tersebut dapat terjadi akibat adanya ikatan kovalen atara gugus fosfat dengan gugus hidroksi enzim. Akibatnya senyawa endogennya yaitu asetilkolin mengalami penumpukkan dan menyebabkan efek toksik berupa stimulasi saraf kolinergik yang berlebihan dengan gejala kejang-kejang dan sekresi air liur yang berlebihan.

Untuk informasi saja, senyawa organofosfat memiliki kecenderungan untuk berinteraksi lebih tinggi dengan 2-PAM (pralidoxim) sehingga apabila terdapat 2-PAM, ikatannya dengan kolinesterase akan dilepas, sehingga kolinesterase dapat tetap berikatan dengan asetilkolin.

Antagonisme fungsional, merupakan interaksi kimia yang menghasilkan efek yang berlawanan secara fungsinya. Misalnya suatu senyawa depresan dan stimulan SSP. Depresan tersebut biasanya menyebabkan depresi sehingga konsumen menjadi mengantuk, dengan diberikan stimulan SSP, maka efek mengantuk menjadi tiada. Biasanya depresan ini ada dalam obat batuk yang berkhasiat sebagai antihistamin sehingga efek sampingnya adalah depresi, dengan diberikan zat tambahan yaitu kafein yang memiliki khasiat sebagai stimulan SSP, maka efek mengantuk menjadi tiada. 

Antagonisme kompetitif, merupakan interaksi kimia antara dua senyawa yang memiliki reseptor yang sama sehingga menghasilkan efek yang saling meniadakan. Contohnya adalah interaksi antara nikotin dengan penghambat ganglionik. Keduanya memiliki reseptor yang sama. Ketika nikotin yang berikatan, maka efek nikotin adalah menstimulasi saraf kolinergik khsusunya pada ganglionik sehingga efek penghambat ganglionik tidak dapat bekerja sama sekali.

Antagonis non kompetitif, merupakan interaksi yang juga saling meniadakan efeknya, namun masing-masing memiliki reseptor yang berbeda pada sisi aktif yang berbeda pula. Misalnya interaksi antara atropin dengan antikolinesterasi (organofosfat), ketika organofosfat berinterkasi maka terjadi inaktivasi kolinesterase sehingga terjadi perangsangan yang berlebihan dari asetilkolin. Di sisi lain, atropin berikatan dengan reseptor yang berbeda dan memberikan efek yang dapat mengatasi asetilkolin yang berlebihan tersebut. Dengan demikian efeknya menjadi saling meniadakan.

Mekanisme kerja interaksi kimia dapat terjadi dengan beberapa cara, antara lain:
  1. Secara langsung. Contohnya seperti senyawa nitrat yang berinteraksi dengan mirkroba dalam usus senyawa tersebut dimodifikasi menjadi nitrit lalu dengan adanya asam lambung dan senyawa lain diperoleh nitrosamin yang mana jika kadarnya berlebihan dapat menyebabkan interaksi dengan hemoglobin sehingga ikatannya dengan oksigen menjadi terganggu.
  2. Menggser ikatan protein plasma. Contohnya adalah ikatan protein plasma dengan Tolbutamid dan golongan Sulfa, lebih lengkap telah dijelaskan di catatan sebelumnya bagian distribusi.
  3. Persaingan dalam sistem transport ginjal. Contohnya, ekskresi penisilin mengalami pengurangan akibat adanya probenesid.
  4. Ikatan kimia-reseptor (agonis/antagonis)
  5. Perubahan biotransformasi (induksi/inhibisi). Adanya suatu senyawa yang dapat menginduksi senyawa tertentu yang awalnya tidak toksik, apabila ada senyawa tersebut, maka enzim pemetabolisme dapat teraktivasi dan menyebabkan senyawa yang tadinya tidak toksik menjadi toksik. Contohnya adalah Kodein yang diinduksi metabolismenya oleh fenobarbital. Kodein dimetabolisme dapat dihasilkan senyawa morfin yang bersifat toksik. Dapat pula interaksi inhibisi menyebabkan efek toksik. Misalnya interaksi fenitoin yang diinhibisi metabolismenya oleh INH. Ketika enzim pemetabolismenya diinaktivasi oleh INH, maka fenitoin tidak termetabolisme menyebabkan kadarnya menjadi meningkat dan meningkatkan toksisitasnya.
Selanjutnya, selesai membahas seluruh faktor-faktor yang mempengaruhi efek toksik, materi beralih ke Teratogen.

Teratogen adalah zat atau sesuatu yang dapat menyebabkan atau meningkatkan kejadiaan cacat bawaan atau congenital defects (CD). Cacat bawaan adalah ketidaknormalan bayi baru lahir (neonatus) baik secara morfologi maupun biokimia, yang disebabkan karena adanya gangguan perkembangan normal, baik embrio maupun fetus dalam rahim (uterus) menyebabkan ketidaknormalan. Malformasi bawaan (congenital defects) adalah ketidaknormalan anatomi bayi baru lahir, jadi ini yang dimaksud cacat secara morfologi.

Kejadian cacat bawaan telah dicatat ratusan tahun yang lalu, di antaranya oleh:
  1. Murphy, tahun 1928, tercatat 14 bayi dari 320 wanita hamil yang menjalani radiasi di awal kehamilan mengalami lingkar kepala kecil dan cacat mental. Oleh karena itu, saat ini, untuk wanita yang sedang hamil tidak diperbolehkan dirontgen.
  2. Hale, 1933, diketahui adanya bayi babi yang mengalami anoftalmia atau tidak memiliki mata akibat induknya mengalami kekurangan vitamin A apda sebelum dan bulan ke-1 kehamilan. Penemuan ini, membuat ibu-ibu yang sedang hamil atau yang akan hamil untuk menjaga gizinya agar jangan sampai kekurangan vitamin yang dibutuhkan oleh perkembangan janin.
  3. Warkenji dan Schraffenberger, 1944, tercatat adanya janin akibat kekurangan gizi, sehingga untuk ibu hamil diminta untuk menjaga pola makannya, jangan sampai malas makan karena akibatnya dapat melahirkan bayi yang cacat. 
  4. Gregg, 1941, dicatat adanya bayi yang mengalami kebutaan, ketulian, bahkan kematian akibat ibunya yang menderita penyakit rubela. Oleh karena itu, penting untuk menjaga kesehatan bagi ibu hamil, jangan sampai terinfeksi.
  5. Lanz dan Knapp, 1962. Kurang lebih 1000 bayi mengalami fokomelia atau cacat anggota badan yang lahir dari ibu yang menggunakan talidomid sebagai obat mual di awal kehamilan. Kejadian cacat inilah yang penting bagi perkembangan ilmu kefarmasian karena kejadian tersebut diakibatkan oleh penggunaan obat-obatan. Oleh karena itu, sejak kejadian tersebut, setiap obat-obatan perlu untuk diuji potensi teratogeniknya. Meskipun bayi dalam kandugan diselimuti oleh sawar plasenta, namun sesungguhnya tidak sepenuhnya sawar plasenta tesebut melindungi embrio atau fetus dari zat kimia atau obat yang digunakan oleh ibu. 
Cacat bawaan merupakan malapetaka seumur hidup bagi anak itu dan bisa juga untuk keturunannya sehingga perlu untuk dicegah. Semua obat, zat makanan, pestisida, bahan pencemar lingkungan dan zat kimia lain, harus diuji teratogeniknya. Pemberian obat pada wanita hamil, khususnya pada trimester pertama hendaknya dihindari. Jika terpaska harus minum obat, diberikan obat yang benar-benar terbukti tidak memiliki efek teratogenik.

Berikut adalah etiologi cacat bawaan:


Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Penyebab dari cacat bawaan antara lain mutasi genetik, penyimpangan kromosom dan pengaruh luar baik eksogen maupun multifaktorial. Adanya mutasi genetik dan penyimpangan kromosom dapat menyebabkan terganggunya informasi genetik pada perkembangan normal, sehingga apabila terjadi mutasi genentik terjadi perkembangan abnormal berupa gangguan dominan maupun resesif (contohnya akan dijelaskan setelah ini), sementara pada penyimpangan kromosom dapat menyebabkan gangguan perkembangan abnormal berupa sindrom kelainan kromosom.

Sementara penyebab yang berasal dari luar, untuk yang pengaruh eksogen dapat menyebabkan gangguan perkembangan normal berupa organogenesis biasanya terjadi pada trimester pertama (saat perkembangan organ). Untuk yang penyebab dari multifaktorial dapat mempengaruhi perkembangan normal yaitu fetus yang biasanya terjadi setelah trimester pertama. Keempat penyebab di atas pada akhirnya agar berujung kecacatan pada neonatus.

Mutasi Genetik dan Penyimpangan Kromosom.
Cacat bawaan yang disebabkan oleh mutasi genetik pada sel benih dan penyimpangan kromosom terjadi sebanyak 25% dari kejadian cacat. Mutasi genetik dapat berupa mutasi yang dominan maupun resesif. Jika dominan maka akan diekspresikan secara langsung. Sementara untuk yang resesif, akan diekspresikan setelah keadaannya homozigot, contohnya adalah penyakit hemofilia dan talasemia. Hemofilia merupakan gangguan berupa sulitnya darah membeku sementara talaseima adalah adanya darah merah yang tidak normal sehingga masa hidup darah merah tersebut menjadi pendek.

Terkait dengan penyimpangan kromosom, diketahui bahwa manusia terdiri dari 46 kromosom yaitu 22 pasang otosom dan 2 kromosom seks yaitu XX (wanita) dan XY (pria). Penyimpangan dapat terjadi misalnya akibat adanya penambahan atau pengurangan kromosom. Kecacatan yang diakibatkan adanya penyimpangan kromosom ini antara lain:

  1. Sindrom Turner, terjadi pada wanita akibat kekurangan satu kromosom X sehingga kromosom seksnya menjadi XO. Terjadi degenerasi ovarium dan gangguan ciri seks sekunder. 
  2. Sindrom Kinefelter, terjadi pada pria, akibat kelebihan kromosom X sehingga kromosom seksnya menjadi XXY. Terjadi gangguan pertumbuhan alat kelamin dan kemandulan. 
  3. Sindrom Down, merupakan trisomi kromosom 21, artinya pada kromosom 21 lebih 1 kromosom. Akibatnya terjadi defisiensi mental, mata juling, tengkorak pendek-lebar, tangan lebar-jari pendek (mongolisme).
  4. Sindrom Prader Will, terjadi kehilangan kromosom 15 (terkait dengan rasa lapar) sehingga penderita mengalami kesulitan mengatasi rasa lapar akibat hipotalamus yang tidak berfungsi. Tubuh menjadi gemuk, biasanya jantung akan bekerja lebih keras, akibatnya menyebabkan rasa letih pada jantung, dan masa hidupnya menjadi tidak lama. 
Terkait dengan pengaruh eksogen berupa lingkungan, penyebab ini merupakan kejadian kecacatan pada 10% yang tercatat. Pada kasus ini, gennya normal, tetapi ekspresinya terganggu. Contohnya antara lain:
  1. Akibat adanya kuman penyebab infeksi, tanpa adanya kuman, neonatus dapat tumbuh dengan sehat, namun ketika ada, maka dapat terjadi gangguan. Misalnya penyakit yang disebabkan oleh virus seperti Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex, dan HIV/AIDS yang memang telah positif diidentifikasi sebagai penyebab malformasi. Contoh lainnya adalah seorang ibu hamil yang terkena parasit Toxoplasma gondii yang mana dapat menyebabkan hydrocephalus dan ocular defects. Contoh lainnya lagi adalah sifilis yang dapat menyebabkan kecacatan pendengaran dan keterbelakangan mental. Diperkirakan sekarang hingga 65% anak yang dilahirkan ibu dengan AIDS dan kebanyakan penyakit berkembang menyebabkan retarded growth, mircocephaly, dan craniofacial dysmorphia
  2. Akibat radiasi. Sudah ada pengujian yang menemukan bawah pada dosis kecil sinar X sekitar 5 R pada tikus hamil dapat menyebabkan gangguan saraf dan skeletal yang bervariasi pada fetus, dan bahkan pada dosis yang lebih kecil dapat menyebabkan mutasi pada sel yang mana selanjutnya tetap dapat menyebabkan cacat bawaan. Dosis maksimum yang aman untuk manusia masih belum diketahui, yang jelas diketahui adalah pada dosis 25 R dapat menyebabkan kerusakan pada SSP. Direkomendasikan untuk ibu hamil untuk tidak mengkonsumsi lebih dari 0,5 R dosis selama periode kehamilan.
  3. Senyawa teratogen. Banyak senyawa teratogen yang toksik pada embrio. Senyawa-senyawa teratogen tersebut antara lain organofosfat (seperti malation), agen antitumor, metilmerkuri, dan antimetabolit (antagonis asam folat) yang mengganggu metabolisme osidatif atau sintesis glikoprotein. Contoh lainnya adalah Dietilbestrol, insidensinya rendah, terkait dengan malformasi congenital dari sistem reproduktif dan peningkatan risiko karsinoma di vagina dan serviks. Contoh lainnya lagi asam retionat, talidomid, dan asam valproat dengan mekanismenya tersendiri.
Selain tiga hal yang disebutkan di atas, sudah ada juga zat teratogen lainnya yang ditemukan dalam uji menggunakan hewan coba yang tentunya tetap perlu diwaspadai dalam penggunaannya untuk manusia. Zat-zat teratogen tersebut antara lain:
  1. Antagonis vitamin
  2. Kelebihan atau kekurangan hormon kortikoid, tiroksin, vasopresin, insulin, andogen, dan estrogen.
  3. Zat toksik alam, seperti aflatoksin B, okratoksin A, ergotamin, dan nikotin.
  4. Kekurangan/kelebihan gizi dalam makanan, seperti vitamin A, D, C, nikotinamid, Zn, Mn, Mg, dan Co.
  5. Zat warna azo seperti biru triptan, biru evans, dan biru niagara. 
  6. Antibiotik seperti daktinomisin, penisilin, streptomisin, dan tetrasiklin.
  7. Obat golongan sulfonamida seperti sulfanilamida, antidiabetika, sulfonilurea dan turunannya, difenilhindantoin, hidroksiurea, imipramin, meklizin, pilokarpin, kinin, reserpin, talidomid, triparanol, alkaloid veratrum, dan alkaloid vinka.
Sulfonilurea menjadi zat teratogen karena senyawa ini dapat bersaingan dengan PABA yang mana dibutuhkan dalam pembentukkan asam folat meskipun asam folat dapat diperoleh dari makanan. 

Demikian yang dapat saya sampaikan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Terima kasih sudah berkunjung :D

0 comments:

Post a Comment

If you want to be notified that I've answered your comment, please leave your email address. Your comment will be moderated, it will appear after being approved. Thanks.
(Jika Anda ingin diberitahu bahwa saya telah menjawab komentar Anda, tolong berikan alamat email Anda. Komentar anda akan dimoderasi, akan muncul setelah disetujui. Terima kasih.)