Friday, September 19, 2014

Catatan SPO #3

Sedikit mengulang pada pertemuan kemarin, kembali dibahas sedikit tentang sistem floating, swelling, bioadhesivei, dan high density.

Pada sistem floating, bulk density-nya lebih rendah daripada cairan dalam saluran pencernaan sehingga dapat mengembang. Pada bioadhesive, yang perlu diperhatikan adalah polimer yagg digunakan tidak boleh sembarangan, harus yang bersifat lengket agar dapat melekat pada membran mukosa tubuh. Berikut adalah visualisasinya:


Ikatan yang terdapat pada bioadhesive dengan membran mukosa adalah ikatan hidrogen dan van der wals

Swelling merupakan sediaan yang dapat mengembang sehingga dapat tertahan di dalam lambung, tidak masuk ke dalam pilorus. Sementara High Density System berkaitan dengan berat jenis sehingga memerlukan eksipien yang berat, dengan demikian diharapkan dapat mengendap. Contoh eksipien yang dapat digunakan antara lain Barium Sulfat, Zink Oksida, Besi, dan Titanium Dioksida. Terkait dengan hal ini, sudah jarang yang menggunakan eksipien ini, karena adanya kemungkinan berinteraksi dengan zat aktif. Jika eksipien dapat berinteraksi dengan eksipien apa gunanya? Padahal definisi dari eksipien itu sendiri merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam zat aktif tetapi tidak dapat beriteraksi dengan zat aktif. 

Adanya keempat macam sistem ini, diperoleh dari mempelajari sifat fisiologi dari saluran cerna itu sendiri, salah satunya adalah mengenai aktivitas kontraktil lambung pada saat puasa. Lambung dan duodenum menunjukkan pola siklik aktivitas kontraktil yang mana terdiri dari beberapa fase, yaitu:
Fase I  : diam, tidak terjadi kontraksi.
Fase II : kontraksi secara berseling dengan amplitudo kecil.
Fase III: Konraksi maksimal 10-15 menit.
Selama kontraksi, pilorus mengalami relaksasi.

Fase III ini akan berulang secara terus menerus sampai lambung kosong. Apabila lambung diisi secara penuh maka lambung akan terasa tidak nyaman akibat adanya peningkatan kontraksi yang tajam. Bagi orang yang sensitif, adanya kontraksi sedikit dapat menyebabkan rasa nyeri. Terkait dengan obat-obat dengan konsep floating, diupayakan digunakan saat lambung tidak kosong, karena obat tersebut memerlukan cairan lambung agar dapat mengapung. Obat dengan mekanisme floating ini dapat mengapung dan tidak akan pernah masuk ke bawah ke dalam pilorus seumpama bola pingpong yang mengapung di atas air dalam wadah yang jika ditambah aliran air dari atas bola pingpong, bola pingpong tersebut hanya akan berputar-putar saja. 

Pada saat fase III, diameter pilorus akan mencapai 10 mm. Oleh karena itu, untuk obat dengan mekanisme swelling harus memiliki diameter lebih dari 10 mm, atau diameter pengembangannya lebih dari 10 mm. 

Masih terkait dengan waktu pengosongan lambung, suatu parameter, yaitu ukuran partikel, ternyata tidak begitu mempengaruhi waktu pengosongan lambung. Terdapat suatu percobaan menggunakan pellet ukuran 1 mm dan pellet ukuran 9-10 mm. Ternyata ditunjukkan bahwa pellet yang berukuran 1 mm, sebanyak 50% nya telah meninggalkan lambung dalam waktu 2-3 jam. Berbeda dengan pellet yang berukuran 7-10 mm, 50% nya baru dapat meninggalkan waktu 1 jam lebih lama yaitu sekitar 3-4 jam. Dengan demikian, makin besar ukuran obatnya akan semakin lama bertahan dalam lambung. Ibaratnya sebuah pintu, siswa-siswa berbadan kecil yang bergerombol akan lebih mudah keluar lewat pintu dibandingkan dengan siswa-siswa berbadan besar yang bergerombol keluar lewat pintu yang sama.

Ukuran pilorus sekitar 12 mm, pada keadaan kenyang sfyngter kadang tertutup. Jadi untuk obat dengan sistem swelling diameternya dapat 10 mm agar diharapkan pengembangannya bisa melebihi 12 mm. Contohnya saja pada suatu percobaan, metformin memiliki diameter 12 mm, kemudian di dalam lambung dapat mengembang hingga 18 mm, hal tersebut dicobakan kepada volunteer yang mengkonsumsi 1000 kalori dengan 50% lemak, didapatkan waktu retensi tablet tersebut di dalam lambung sekitar 12,6 jam. Terdapat percobaan lain menggunakan tablet yang sangat besar dan bersifat nondisintegrating, waktu retensinya dapat mencapai 20 jam. Sesungguhnya tidak perlu khawatir akan ada akumulasi obat dalam lambung, karena ketika obat sudah lepas, maka akan terbentuk pori-pori. Pada dasarnya adanya pori akan menyebabkan obat menjadi rapuh dan akan hancur secara alami, lalu tereliminasi keluar dari lambung.

Untuk obat dengan sistem floating, eksipien yang biasa digunakan antara lain Poliakrilat, Poliakrilamid, Metakrilat, Metakrilat Hidroksipropil, dan Polihidroksietil. Yang penting harus berbentuk hidrogel sehingga dapat mengembang dan menmbengkak dan runtuh pada kekuatan mekanik yang lemah. Dengan pengetahuan ini, selain digunakan sebagai obat, sistem ini juga dimanfaatkan untuk diet.

Mekanisme sistem floating ini ada yang bekerja dengan cara mengembang, ada yang dengan bulk density yang rendah, dan ada pula yang dengan menggunakan matriks hidrofilik. Terkait dengan matriks, biasanya matriks yang digunakan adalah selulosa-eter polimer khususnya hidroksipropil metilselulosa, eksipien ini bisa mengapung selama 3-4 jam. Eksipien tidak hanya itu, kata dosen saya, berdasarkan penelitian yang dilakukan bersama dengan mahasiswanya, ternyata eksipien golongan alginat derivat pati lebih baik karena dapat mengapung sampai 20 jam.

Apabila mengkonsumsi obat dengan sistem floating, perlu untuk diperhatikan ketersediaan cairan, jangan sampai menggunakannya pada saat lambung kosong, lalu jika kosong obat mau mengapung di mana? Jadi sebagai apoteker, perlu untuk memberikan informasi kepada pasien bahwa dalam menggunakannya harus disertai dengan banyak minum agar tersedia cairan yang cukup. Obat dengan sistem floating ini perlu untuk memiliki lag time secepat mungkin. Lag time adalah waktu yang dibutuhkan untuk obat sistem floating ini untuk mengapung. Tetapi, pengapungannya harus lama.

Agar dapat mengapung, maka sediaan obat harus dapat mengembang. Cara pengembangannya secara umum ada dua yaitu dengan non effervescent system dan effervescent system. Dengan non effervescent system artinya pengembangan obat tidak menggunakan effervescent mix sama sekali, yang digunakan adalah matriks dengan bobot jenis lebih kecil dari air, contohnya Poliakrilat. Eksipien ini dapat menyebabkan obat mengapung, namun kelemahannya adalah dapat mengiritasi lambung. Jadi, eksipien ini ketika terkena cairan lambung akan segera mengembang lalu mengapung.

Sementara dengan menggunakan effervescent system, digunakan effervescent mix yang terdiri dari natrium bikarbonat, asam sitrat, dan asam tartrat. Kata dosen, berdasarkan penelitiannya, ternyata dengan adanya natrium bikarbonat saja sudah cukup menyebabkan obat dapat mengapung, tidak perlu ditambahkan asam sitrat dan asam tartart lagi, karena di dalam lambung sudah ada asam, maka pembentukkan karbon dioksida sudah dapat terjadi. Akibatnya lagi jika ditambah asam sitrat, pembentukkan karbon dioksida akan menyebabkan karbon dioksida terlepas sehingga hasil mekanismenya akan sama seperti tablet effervescent yang mana justru bukannya menyebabkan mengapung malah turun ke bawah seperti gambar di bawah ini.

sumber gambar: blog.thehealthcounter.com

Yang diperlukan dalam obat sistem floating ini adalah, karbon dioksida yang dibentuk, diperangkap oleh matriks agar tidak keluar, dengan demikian akan seperti ban yang terisi gas yang dapat mengapung di atas air, jika gasnya keluar, tentu ban tidak dapat mengapung melainkan tenggelam.

Berikut adalah contoh obat-obatan yang menggunakan sistem floating:
  1. Obat yang memiliki penyerapan sempit di saluran cerna seperti L-Dopa, dan Riboflavin.
  2. Obat yang tidak stabil dalam lingkungan usus, contohnya Metronidazol.
  3. Obat yang kelarutannya rendah pada pH tinggi, misalnya Diazepam/Klordiazepoksid (paling sering digunakan dalam penelitian).
Kemudian, mengenai obat dengan sistem mucoadhesive. Sistem ini menggunakan sistem bioadesif di mana terdapat 2 materil yang mana salah satu darinya berasal dari sistem biologis alami yang secara bersama-sama memperpanjang waktu huni obat melalui gaya antarmuka. Dengan demikian, salah satu fungsi dari mucoadhesive adalah untuk meningkatkan penyerapan obat dengan cara memperpanjang waktu huni obat. 

Bioadhesif ini bukan hanya untuk sistem gastroretentif saja, tetapi juga untuk membran lainnya, misalnya pada mata. Di dalam mata juga terdapat membran mukosa, sehingga obat dengan sistem mucoadhesive ini juga dapat bekerja dengan cara menempel. Sediaan lain juga ada yang vaginal, buccal, sublingual dan lainnya, yang penting terdapat membran mukosa. 

Obat dapat menempel, karena pada membran mukosa sebagai salah satu material yang berasal dari sistem biologis alami terdiri dari membran mukosa, mukus, dan musin. Membran mukosa terdiri dari lapisan jaringan penghubung (lamina propia) yang selalu basah sehingga dapat digunakan untuk obat ini menempel, jika kering maka tidak terjadi penempelan. Mukus adlaah lapisan gel yang menempel pada lapisan mukosa sehingga makin mudah ditempeli. Adanya inilah yang memberikan sifat adhesi. Komponen dari mukus antara lain glikoprotein, karbohidrat, lipid, garam inorganik, dan air. Sementara musin adalah sekret dari mukus yang mana merupakan rantai oligosakarida yang memiliki ujung asam sialat yang berperan sebagai polielektrolit anionik yang dapat menetralkan HCl dan menahan kerja pepsin sehingga dapat melindungi membran sel epitel.  Musin tergolong menjadi dua, yaitu memran-bound mucin yang terikat oleh sel epitel dan mucin sekretori yang bebas dan tidak terikat. 

Demikian yang dapat saya sampaikan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat. Terima kasih sudah berkunjung :D

0 comments:

Post a Comment

If you want to be notified that I've answered your comment, please leave your email address. Your comment will be moderated, it will appear after being approved. Thanks.
(Jika Anda ingin diberitahu bahwa saya telah menjawab komentar Anda, tolong berikan alamat email Anda. Komentar anda akan dimoderasi, akan muncul setelah disetujui. Terima kasih.)